Yang Betul-Betul Hidup

JANGAN menunggu selesainya urusan dunia, jika ingin menapaki jalan Tuhan! Begitu pesan sang kiai dalam suatu pengajian ahad pagi.

Dan memang demikian semestinya. Perhatikan bahwa Allah telah menempatkan kita seperti ini pada saat ini: banyak kesibukan, banyak kerepotan, penuh onak, dan penuh duri. Tetapi itu semua tidak lantas bikin kita terputus hubungan dengan Tuhan. Jangan sampai melalaikan dzikir kita kepada-Nya.

Pastilah, rintangan-rintangan duniawi mengadang, tapi sedianya tak sampai menghalangi untuk ingat kepada-Nya. Atau, jangan menanti-nanti rampungnya perkara dunia, baru sadar mendekat atau mengingat-Nya.

Sebab urusan duniawi, apa pun itu, tidak akan selesai sampai kapan pun, selagi masih hidup. Ia akan terus memburu kita jika dituruti. Sibuk bekerja, ditagih utang, dicari-cari orang, menghabiskan waktu malam minggu, dan sebagainya.

Nah, kondisi apa pun kita ditempatkan Allah, seyogianya mendudukkan kita untuk terus mengingat-Nya. Merasa terus-menerus diawasi Allah. Bukan malah fokus pada saat dan sesuatu di mana kita ditempatkan. Pikiran dan perasaan mesti tertuju kepada Dzat yang menempatkan. Bagaimanapun sulitnya, Allah harus selalu tertempel di benak kita.

Bahwa kejadian-kejadian yang kita hadapi, suasana bahagia yang tengah menyelimuti, jangan sampai Allah gaib dari diri kita. Besar kecilnya masalah, tidak sampai menomorduakan Allah, bahkan menganggap-Nya tak penting-penting amat.

Jangan menunggu kosongnya gangguan-gangguan dunia karena yang demikian itu akan menghalangimu dari adanya berdzikir kepada-Nya dalam maqam yang Allah Swt. tempatkan untukmu.” (Al-Hikam, no. 23).

Artinya, kita berani mentalak penyakit “sebentar dulu, urusan ini belum selesai…”. Karena, sekali lagi, perkara-perkara duniawi tidak bakal rampung, akan selalu ada terusannya. Serasa sambung-menyambung tanpa putus.

Apalagi memang, “Diperindah bagi manusia untuk cinta kepada yang diinginkan, baik itu wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas dan perak, serta kuda yang bertanda, bintang ternak dan sawah lading. Itulah semua harta kehidupan dunia, dan di sisi Allah terdapat tempat kembali yang paling baik.” (Ali Imran: 14).

Meskipun, terhiaskan “senang-senang”, dan memang tak bisa ditampik, jangan sampai memutuskan dzikir kepada Allah. Sebab, Allah adalah tempat kembali yang paling nyaman, paling baik.

Maka, mengutip Ibnu Athaillah, bahwasanya berdzikir kepada Allah jangan menunggu selesainya persoalan-persoalan kita dengan istri/suami, terentasnya pendidikan anak-anak, setelah memiliki harta melimpah, memiliki mobil, dan seterusnya. Karena selama kita masih hidup, pasti ada godaan, pasti ada urusan.

“Jadi, apa pun yang kita kerjakan, apa pun profesi, jangan sampai memutuskan muraqabah kepada Allah.” ungkap Kiai Kharis. 

Apalagi kemudian, “Kau tak perlu merasa aneh akan carut-marut kehidupan dunia sepanjang kau masih ada di dalamnya. Memang demikianlah realitas dan sifat kehidupan di muka bumi.” (Al-Hikam, no. 24).

Ada pola bahwa hakikat duniawi itu tak menyenangkan, berasa akan selalu ada yang kurang. Seolah tegak menjulang bahwa tiada rumusan yang memuaskan untuk perkara duniawi.

Hal ini kian terjelaskan, “Kehidupan dunia ini hanya senda gurau dan main-main, dan bahwa kehidupan akhirat itulah yang betul-betul hidup kalau mereka mau menyadari.” (Al-Ankabut: 64).

Singkatnya, ada pilihan: fokus pada dunia atau mementingkan akhirat. Dunia, oleh agama, merupakan perkara remeh, hanya main-main, tidak sesungguhnya. Dunia itu maya, bukan nyata. Sementara akhirat itu yang sesungguhnya, “yang betul-betul hidup”. 

Maka, Syekh Athaillah menandaskan sekiranya kita tak perlu galau hanya untuk urusan dunia. Bahwa dunia perpolitikan carut-marut, dan tidak selaras dengan ekspektasi, adalah lumrah, usah disesali. Pun demikian peta Timur Tengah hari-hari ini, yang kian panas, hakikatnya “hanyalah senda gurau dan main-main”.  

Sebab kehidupan akhirat merupakan “yang betul-betul hidup”, maka harus diyakini bahwa akhirat lebih bergengsi, lebih bonafide. Akhirat lebih berbobot dan harus diperjuangkan, bukan sebaliknya, urusan dunia yang justru mati-matian kita pertaruhkan.

Kiai Kharis mengingatkan bahwa ada konsep yang bakal menyelamatkan kita dikancah kehidupan di muka bumi ini, yakni dunia adalah maya, akhirat yang nyata. Dunia ini sementara, akhirat bersifat abadi.  

Bahwa adanya kekeruhan, kekisruhan, keruwetan di dunia, jangan sampai membikin kita larut di dalamnya. Kita jangan merasa heran. Jika toh kita kaget dan menganggap nyata kehidupan, seumur-umur akan jadi orang kagetan. Sebab jati diri dunia memang demikian, penuh bising, dan jauh dari ekspektasi.

“Siapa yang bisa hidup tenang?” tanya Kiai Kharis. “Tidak bakal tenang. Punya uang seabrek pun tidak akan tenang. Sebab dunia adalah tempat ketidaktenangan.” lanjutnya.    

Sehingga, kembali ke awal bahwa rintangan-rintangan duniawi ini jangan sampai menghalangi kita untuk ingat kepada-Nya. Bahwa “Kehidupan dunia ini hanya senda gurau dan main-main, dan bahwa kehidupan akhirat itulah yang betul-betul hidup kalau mereka mau menyadari.

Alhasil, selagi masih hidup di kampung yang sesaat, sedianya kita berpantang jemu untuk berdzikir kepada Allah guna memperoleh kehidupan yang betul-betul hidup. 

Ungaran, 3 Desember 2025

Baca juga: Mencermati posisi

Posting Komentar

0 Komentar