KAMI bukan jenis manusia-manusia petualang. Kami adalah manusia rumahan. Maka, tak terbayangkan jika kemudian istri saya, Rahma, ikut. Biasanya untuk acara-acara beraroma sastra, Rahma enggan mengombyongi.
Jadilah, pukul 12.30, pada Sabtu 6 Desember 2025, kami bersepeda motor menerobos hujan deras mulai dari rumah, Ungaran, menuju Rumah Melur Seruni, Magelang. Kami bertualang.
Dengan motor sederhana ini, kami memilih rute Salatiga-Magelang. Pikir kami, dan atas saran tuan rumah pula, jalurnya lebih ramah buat berkendara sepeda motor. Maka, tangki bensin pun kami isi penuh, dengan harapan nantinya tidak bolak-balik mampir pom bensin, lantaran hujan tak kunjung reda.
Meski di tengah hujan, puji Tuhan perjalanan lancar. Kami benar-benar menikmati petualangan kecil ini. Kami mengobrol ngalor-ngidul guna menepis dingin, sekaligus kantuk, karena jam segitu merupakan jam tidur siang kami.
Mulailah, kami menaiki jalan Kopeng-Magelang. Memang sudah tak bersaing lagi dengan truk dan bus besar, tetapi serasa sama saja, karena tetap berjalan pelan, bahkan tersenda-sendat, saking menanjaknya. Malahan kami terpaksa berhenti di sebuah masjid di Getasan, bukan untuk shalat, melainkan mengademkan mesin motor. Pikir kami, dengan sejenak istirahat, mesin motor ini akan mengantar perjalanan tanpa nahas menuju lokasi acara.
Kurang lebih sejam kami istirahat di masjid. Berkirim kabar kepada Melur, akan datang telat. Walau dalam hati kecil, saya tidak ingin telat. Karena ini perdana buat saya, berkumpul dengan para penyair di PMK. Tapi bagaimana lagi, kondisi telah mengondisikan demikian. Maka, sempat tebersit rasa mangkel, “bisa-bisanya itu yang datang awal berswafoto, tidak tahu apa, saya juga kepingin!”
Dirasa cukup, kami lanjut perjalanan. Hujan tinggal rintik-rintik, sehingga kami mulai bisa menghayati berkendara di tengah rinai ini. Ya, belajar hidup dan terpaksa bertualang di alam yang jauh dari ekspektasi. Bayangkan, saya dan istri tinggal di Ungaran, secara geografi masih ramah bagi kendaraan motor tua. Tetapi di sini, daerah Ngablak, Magelang, jalanan berkelak-kelok dan curam. Belum lagi, kami sempat salah pilih jalan tidak mengarah Madyogondo. Kami melaju dengan enaknya menyusuri Jogoyasan, yang justru menjauh dari titik kumpul di rumah Melur.
Ketika menyusuri Jogoyasan, sempat terpikir untuk mengambil foto-foto daerah ini. Mengawetkan hamparan hijau lereng gunung Andong, yang jarang kami temui di sekitaran Ungaran. Tapi keinginan ini pun kami tepis, selagi belum jelas akan berapa lama hingga sampai tujuan.
Kami balik arah menjelang maghrib, dengan lampu kendaraan yang minim terang, maka remang-remang itu pun nyata di hadapan kami. Betul, motor kami ini tidak dilengkapi dengan lampu memadai. Kapan saja menjelang gelap, kami gendadaban. Biasanya kami mengekor di belakang sepeda motor atau mobil yang searah dengan perjalanan kami, tetapi saat itu Girirejo dan arah Pendem sepi. Maka, terpaksalah buka google map, yang sebelumnya enggan lantaran guyuran air dari langit itu masih deras.
Suara azan maghrib bersahutan begitu memasuki daerah Makam Mbah Mangli. Kami nekad terus menyisir jalanan yang kanan kiri berjajar warung kaki lima, hingga akhirnya tiba di gapura Madyogondo. Lega.
Tiba di rumah Melur, yang bersamaan dengan kedatangan Lukni yang sempat juga tersasar, malahan dia lebih parah.
Di rumah ini, berdinding artistik bata telah berkumpul para penyair. Rahma menyenggol lengan dan berbisik, “Lha emang Ayah penyair?”
Saya salami satu demi satu, dan hanya satu dua yang kenal, sisanya masih asing. Dan singkat cerita, dalam forum silaturahmi ini, saya benar-benar berasa peroleh kehormatan tak bertara. Satu per satu yang hadir mengenangkan yang telah kembali dengan membacakan puisi, mendendangkan tembang, dan geguritan. Pokoknya, speechless saya. Saya acung jempol buat ahlu bait, dan penggede PMK, yang sukses merajut acara ini. Saya bersua guru dan mentor teater, yang puluhan tahun hilang dari peredaran di benak saya.
Dan yang tak kalah sengit, seusai acara, tak terhitung tawa, peluh rindu, dan bertebaran kisah, yang senyatanya semakin mengenangkan saya pada beberapa sosok. Saya belanja banyak cerita “saru” dan seru dari seorang Didit, yang tak berubah semenjak saya kenal puluhan tahun silam: tetap brengsek plus menjengkelkan, tapi super baik. Ada Kelana, yang jadi idola istri saya dalam membawakan puisi, juga Wage, yang beberapa kali Rahma berbisik, “Itu Wage yang kerap diceritakan Om Dodo ya, Yah?”
Walhasil, di rumah Melur Seruni, serasa saya menemu sesuatu yang hilang dari ruang pikir dan ruang rasa di negeri ini. Lihat saja, hari ini, bangsa kita seperti jalan di tempat. Dengan segala potensi yang ada, tak kunjung menjadi bangsa besar.
Bandingkan rumah Melur, berdinding bata, tampak sederhana, tetapi berlatar gunung dan hijau pesawahan dengan pelbagai sayuran yang bikin ngiler. Rumah yang tak hanya melindungi dari dinginnya hujan, tetapi menjadi ruang riuh yang menampung berbagai suara. Yang menampung hak berceloteh, kebebasan berekspresi, nilai-nilai, dan seabreg denyut dari relung hati.
Memang Ngablak tak bisa dibandingkan dengan kota-kota. Sungguh, Ngablak tak sebesar Magelang, atau Semarang, Jepara, dan Kendal. Tetapi di sini, ruang hijau terbuka alami. Sementara di kota, masih berjibaku hendak menata pembangunan yang berbasis ruang terbuka hijau. Di sini kita tidak perlu risau dengan polusi udara, dengan pemanasan global, atau pun ruang bersantai sembari ngopi. Di sini masih jauh, dan semoga memang dijauhkan, dari kemaruk industri yang merusak bumi. Ya, semoga. []
Ungaran, 9 Desember 2025
Baca juga: Cukup Sekali Ini Saja
.jpeg)
0 Komentar