AHMAD ZARRUQ membagi manusia dalam tiga golongan. Pertama, golongan yang bersandar pada amal. Golongan ini mengabaikan karunia Allah, karena yang mengendap dalam benaknya hanyalah mengumpulkan amal. Bahwa tujuan hidup adalah seoptimal mungkin bekerja dan bekerja.
Dia menyebutnya maqom “Islam”, karena takut dan harapnya masih bertumpu pada amal. Sedang Ibnu Ajibah menyebutnya amal syariat, amal yang membereskan perkara lahir, atau sekadar bermakna beribadah kepada-Nya.
Kedua, golongan yang bersandar pada karunia Allah. Golongan ini berada dalam kedudukan “iman”, yakni menyadari karunia Allah dan tujuan hidupnya adalah melepaskan diri dari segala daya dan kekuatan. Golongan ini sepenuhnya menyadari selalu bersama qudrat Allah.
Ibnu Ajibah menjelaskan maqom ini sebagai amal tarekat, amal yang membereskan hati dan bermaksud menuju-Nya, tidak lagi sekadar untuk menggugurkan kewajiban beribadah kepada-Nya.
Ketiga, golongan yang bersandar pada pembagian dan ketentuan Allah yang sudah ditetapkan. Zarruq menyebut maqom “ihsan”, golongan yang menyadari adanya kendali Tuhan, sehingga yang menjadi perhatian hidupnya adalah semata fana dalam tauhid.
Pada golongan ini yang akan tampak adalah ketenangannya yang luar biasa. Senantiasa pasrah menetapi semua ketentuan Tuhan, tanpa protes. Ibnu Ajibah menandai golongan ini telah berkedudukan di ranah hakikat, yakni laku membereskan jiwa atau ruh, yang menyaksikan-Nya kapan pun dan di mana saja. “Ke mana saja engkau menghadap, di situlah wajah Allah” (Al-Baqarah: 115).
Nah, nyatalah kemudian bahwa sedianya kita tidak berhenti pada syariat. Karena, jika kita (merasa) amal ibadah masih sedikit, maka sedikit pula harapnya. Jika amalnya banyak, maka besar pula harapnya. Dengan kondisi demikian, bukankah tanpa sadar kita telah menyekutukan Tuhan? Sebab, sukses tidaknya keseharian hidup ini, kita sandarkan pada seberapa serius kita berusaha secara lahiriah. Kita bertumpu pada ungkapan, “usaha tidak akan mengkhianati hasil.”
Padahal Baginda Nabi bersabda, “Seseorang di antara kamu tidak akan masuk surga dengan amalnya.” Para sahabat bertanya, “Engkau juga tidak, Wahai Rasulullah?” Beliau Saw. menjawab, “Aku juga tidak, kecuali Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadaku.”
Oleh sebab itu, kebergantungan kepada Allah merupakan bukti makrifat kepada Allah. Adapun ciri bergantung kepada-Nya, harapan kepada Allah tidak berkurang tatkala jatuh dalam kegagalan, dan niscaya harapan tidak bertambah ketika meraih sukses. Senang susah tiada beda, toh semua berkat Dia yang Mahakehendak.
Singkatnya, laku syariat “Islam” adalah membereskan anggota badan dengan cara menjauhi larangan dan mematuhi perintah. Laku tarekat “iman” ialah membereskan hati dengan cara mengosongkannya dari kotoran-kotoran hati dan menghiasinya dengan keutamaan. Kemudian laku hakikat “ihsan” merupakan upaya mengasupi jiwa atau ruh, yakni menyadarkan diri dan merespon perintah-Nya yang ada di balik setiap yang ada.
“Ah, berat banget!” suara tiba-tiba mengemuka dari kedalaman hati.
Ya, memang, tapi tidak berarti tidak bisa. Sebab, barangsiapa telah sampai pada esensi Islam, tidak akan pernah merasa lelah untuk beramal. Barangsiapa telah sampai pada esensi iman, tidak akan beramal demi yang selain Dia. Dan, barangsiapa telah sampai pada esensi ihsan, tidak akan mampu berpaling kepada siapa pun selain Allah, sebab di mana saja, Allah-lah yang tampak dalam ujud perintah-perintah-Nya. Itulah esensi bertuhan, esensi mengabdi.
Tapi fakta lapangan, kita acap kali masih bingung ketika berhadapan, tetap harus melakukan usaha-usaha lahiriah (asbab), atau sebaliknya, kita terasing dari kondisi usaha-usaha lahiriah (tajrid) dan tidak menemukan jalan mesti usaha apa.
Nah, merujuk pada tiga model golongan tersebut, sedianya kita berusaha menjalankan perintah-Nya dengan memperhatikan kondisi di mana Tuhan menempatkan kita. Lebih jelasnya, contoh seorang pria yang menjadi tulang punggung keluarga, punya istri dan beberapa anak, berarti Allah menempatkannya dalam kondisi “asbab”, harus berusaha.
Tuhan menghendaki sang pria itu tidak hidup hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk keluarga. Memberikan kehidupan yang sejahtera untuk keluarga. Mendidik anak-anak, baik secara fisik, kejiwaan, dan intelektual. Sehigga, kala si pria itu berpikir untuk berpaling dari usaha-usaha lahiriah, untuk menghidari kewajiban mencukupi keluarga, sama artinya ia berakhlak buruk. Berarti ia menuruti syahwatnya, meski samar. Ia mundur dari tekad yang luhur.
Kenapa samar? Bayangkan, sekira Allah berfirman, “Jalanmu merawat keluargamu dengan melakukan usaha-usaha lahiriah.” Jika kemudian sang pria membantah, “Tidak, aku pengin langsung mengetuk pintu-Mu saja,” sontak Allah menjawab, “Lupakan meloncat langsung mengetuk pintu-Ku! Jangan lari dari tanggungjawab! Tapi pergilah berdagang ke pasar! Pergilah bekerja! Karena itulah ladang ibadahmu.”
Lain cerita misal, sang pria belum memiliki tanggungan untuk mengurus istri, anak-anak, dan keluarga dekat, sedangkan ia berangkat dari keluarga mapan, maka pilihan Allah buat dia adalah mendalami agama, berkhidmat untuk syariat-Nya. Ia menjalani laku “tajrid”. Sebaliknya, jika sang pria itu justru memilih untuk bermalas-malas karena sudah mapan, lebih memilih untuk hanya menghabiskan hidup dengan makan, minum, bermain-main, dan tidur, sembari menunggu ajal, berarti ia sekelas binatang. Berarti terjadi kemunduran dari kehendak menjadi manusia yang mulia.
Ahmad Zarruq menandaskan, “Allah menuntut darimu untuk berada di tempat yang Dia tetapkan hingga Dia sendirilah yang mengeluarkanmu sebagaimana Dia memasukkanmu. Hal yang penting bukanlah bagaimana kau meninggalkan asbab, melainkan bagaimana kau ditinggalkan oleh asbab.”
Seturut itu, Ibnu Ajibah mengungkapkan, “Allah mencegah seseorang dari tajrid disebabkan ketamakan nafsunya terhadap tajrid. Karena jika nafsu tamak pada suatu perkara, maka perkara itu menjadi ringan untuknya. Perkara yang ringan untuk suatu nafsu berarti tidak ada kebaikan di dalamnya. Maka, jangan ber-tajrid saat kamu kuat, sampai kekuatan itu berlalu, jika kamu ingin menguasai nafsumu.”
Parameter gampangnya begini, kala kita ditempatkan pada wilayah asbab, kita bisa istikamah menetapi asbab, juga istikamah menegakkan berbagai kewajiban syariat. Maka, bersabarlah, pasrah dan penuh rida. Kemudian, kala kita ditempatkan pada tajrid, niscaya gampang menunaikan kewajiban dan berpaling dari makhluk, berpaling dari keinginan-keinginan sesaat. Maka, bersyukurlah, banyak beramal, dan tidak lalai.
Maka, akhirnya, jika tidak bisa istikamah pada satu sisi, segeralah berpindah pada kebalikannya. Sebab, sekali lagi tanda Allah menempatkan kita pada posisi, entah di asbab, entah pada tajrid, saat kita bisa istikamah dalam posisi itu. Jika masih berpindah-pindah, berarti belum ditempatkan pada posisi yang kokoh.
Ibnu Athaillah mengetengahkan, “Keinginanmu untuk melepaskan diri dari ketergantungan kepada usaha/kerjamu padahal Tuhan masih menghendaki agar engkau tetap berusaha/bekerja, adalah keinginan yang menyembunyikan hasrat diri. Dan, keinginanmu untuk berusaha/bekerja, pada saat Dia mulai membimbingmu untuk intim bersama-Nya, adalah tanda martabat jiwamu jatuh ke titik rendah.”
Demikian! []
Ungaran, 1 Desember 2025
Baca juga: Memuja Bayangan

0 Komentar