RASULULLAH SAW dan kaum Muslim telah mengalami banyak cobaan berat dari kaum musyrik. Peristiwa paling anyar adalah keburukan yang ditimpakan Bani Tsaqif dan penduduk Thaif kepada beliau ketika mengunjungi kota itu.
Orang-orang berbaris di kanan kiri jalan yang dilalui Nabi sambil mencaci maki dengan perkataan-perkataan keji. Mereka melemparkan batu dan kerikil ke arah kaki beliau. Meski sang Baginda sudah dalam keadaan terluka, mereka tetap melakukan perbuatan kejam itu. Hingga beliau terseok-seok dan merangkak. Mereka terus saja mengejek, menertawakan, dan mencaci maki.
Singkat cerita, Baginda Nabi dan Zaid sampai di kebun milik Utbah bin Rabi’ah dan Syaibah bin Rabi’ah, yang keduanya termasuk yang memusuhi beliau di kota Makkah. Seraya mengeringkan darah yang masih bercucuran, beliau berdoa.
Dan doa yang beliau panjatkan di kebun milik putra Rabiah jelas mengungkapkan perasaan banyak manusia: kelemahan dan kebutuhan terhadap pertolongan. Doa itu menggambarkan penghambaan manusia kepada Allah Swt. Dalam penyerahan dirinya ini pula tampak makna pengaduan kepada Allah Swt. dan hasratnya pada keselamatan dan pemeliharaan dari-Nya.
Bisa jadi, beliau merasa khawatir kalau-kalau apa yang dialaminya itu lantaran Allah murka kepadanya. Oleh karenanya, beliau berdoa, “Jikalau Engkau tidak murka kepadaku maka tidaklah mengapa, aku tidak peduli, melainkan kemurahan Engkau lebih lapang kepadaku itulah yang aku harapkan.”
Setelah itu, datanglah undangan Isra’ Mi’raj sebagai penghormatan dan pemuliaan Allah Swt. kepadanya sekaligus penyegaran tekad dan keteguhannya. Undangan ini juga datang sebagai bukti bahwa penderitaan yang dialaminya di Thaif itu bukan lantaran Allah mengabaikan dan membiarkannya atau murka kepadanya, melainkan sebagai sunnatullah yang berlaku bagi para kekasih-Nya. Sunnah yang berlaku dalam perjalanan dakwah Islam pada setiap zaman.
Berkaitan makna Isra’ ke Baitul Maqdis, dan Mi’raj hingga Sidratul Muntaha, menunjukkan kedudukan dan kesucian Baitul Maqdis di sisi Allah Swt. Fenomena ini juga menggambarkan hubungan yang sangat erat antara ajaran yang dibawa Isa putra Maryam dan ajaran Muhammad bin Abdullah, serta ikatan agama yang sama di antara para nabi, yang diturunkan Allah kepada mereka.
Peristiwa ini juga menunjukkan betapa kaum Muslim seharusnya selalu menjaga dan melindungi tanah Al-Quds dari keserakahan musuh-musuh agama. Jadi, Isra’ beliau itu seolah mengingatkan kaum Muslim saat ini untuk tidak menyerah dan mengalah, tidak gentar, dan pantang mundur menghadapi permusuhan Yahudi terhadap tanah suci ini, dan agar membersihkannya dari najis mereka, serta mengembalikannya kepada pemilik sah, kaum beriman.
Barangkali peristiwa Isra’ yang agung inilah yang mendorong Shalahuddin Al-Ayyubi melakukan segala upaya dan mengerahkan segala kekuatan untuk menghalau serbuan Pasukan Salib terhadap tanah suci, hingga berhasil mengusir mereka.
Nah, kembali soal Isra’ Mi’raj Baginda Nabi, yang kerap memicu polemik adalah keterlibatan jasmani dan ruhani Rasulullah Saw. Dan sebagian besar ulama bersepakat bahwa beliau menempuh Isra’ Mi’raj secara jasmani dan ruhani sekaligus.
Namun, saat ini marak penulis yang menggambarkan peristiwa itu terjadi secara ruhani saja. Seperti halnya Muhammad Abduh, Husain Haikal, dan lain-lain, yang seolah mengabaikan sosok Baginda Muhammad sebagai nabi dan rasul yang lekat dengan mukjizat. Mereka lebih asyik menyematkan beliau sebagai sosok “pemberani”, “jenius”, dan “panglima”, atau “suami ideal” dengan konsekuensi mengetengahkan gagasan bahwa Muhammad jauh dari segala mukjizat dan hal luar biasa yang tidak terjangkau akal.
Lantas Isra’ Mi’raj pun didekati dengan gaya rasional filosofis, sehingga siapa saja yang menghendaki bisa meniru laku “isra’ mi’raj” ini. Peristiwa agung yang mengguncang penduduk Makkah saat itu dimaknai pemikir kontemporer bukan sebagai mukjizat luar biasa yang dialami Nabi. Melainkan sekadar makna simbolik, atau bukan kejadian yang sesungguhnya.
Maka, Dr. Said Ramadhan, dan saya turut menyertai dalam barisan ini, membantah asumsi para rasionalis itu. Ia mengutip Ibnu Hajar, dalam syarah-nya terhadap Shahih Bukhari, “Peristiwa Isra’ Mi’raj dialami pada satu malam, dalam keadaan terjaga, dengan jasmani dan ruhaninya sekaligus.”
Dan lagian, sekiranya peristiwa itu tak melibatkan jasmani dan ruhani beliau sekaligus, tentunya masyarakat Quraisy bahkan sahabat beliau sendiri tidak terguncang. Namun, riwayat-riwayat shahih menunjukkan keheranan luar biasa dan ketidakpercayaan kaum Quraisy terhadap Isra’ Mi’raj. Sebab, jika peristiwa itu hanya seperti mimpi (hanya melibatkan aspek ruhani), kemudian Rasulullah menceritakannya kepada mereka, sudah pasti mereka tidak menyangkal. Sebab mereka paham bahwa mimpi tidak ada batasnya, bahkan mimpi semacam itu bisa dialami siapa saja, entah muslim, entah kafir, atau bahkan anak-anak.
Lagi pula, seandainya itu mimpi, tentu mereka tidak akan menantang Nabi untuk menyebutkan detail ciri-ciri Baitul Maqdis, gerbang-gerbang, hingga pilar-pilarnya.
Demikianlah. []

0 Komentar