Mengunjungi Thaif

SEGALA cobaan berat yang dialami Baginda Rasulullah Saw., khususnya dalam perjalanannya ke Thaif, merupakan bagian dari upaya tabligh-nya. 

Rasulullah Saw. diutus untuk menyampaikan kepada kita akidah yang benar tentang alam dan penciptanya, tentang hukum-hukum ibadah, akhlak, serta muamalah. Beliau datang untuk menyampaikan keharusan bersabar dan penguatan sabar.

Hai orang yang beriman, bersabarlah dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) ….” (Ali Imran: 200).

Nah, berdasarkan prinsip inilah, kita saksikan bahwa Rasulullah Saw. tak putus-putus menghadapi berbagai cobaan berat di jalan dakwah. Dan Rasulullah tidak hanya memberikan contoh nyata dalam urusan ibadah, tetapi juga dalam hal kesabaran. Seakan-akan Rasulullah bersabda kepada para juru dakwah sepeninggalnya, “Bersabarlah sebagaimana kalian melihatku bersabar!”

Karena memang, kehidupan beliau menggambarkan bahwa kesabaran dan mengatasi kesulitan merupakan prinsip Islam.

Tapi mungkin di antara orang-orang yang mencermati perjalanan Rasulullah Saw. ke Thaif ada yang keliru menyimpulkan bahwa beliau menemui jalan buntu sehingga berputus asa, sampai-sampai memanjatkan doa kepada Allah saat tiba di kebun putra Rabiah.

Padahal justru, sebenarnya Rasulullah Saw, menerima cobaan berat itu dengan ridha, menghadapi pelbagai kesulitan itu dengan sabar dan berharap pahalanya. Jika mau, Rasulullah Saw. sangat mampu untuk membalas penduduk Thaif yang menyakiti beliau. Karena saat itu, malaikat gunung menawari akan menimpakan gunung Akhsyabin ke atas orang-orang yang menyakiti. Namun, beliau menolaknya.

Sehingga jelas, Rasulullah Saw. ingin mengajarkan tentang seni bersabar dalam menghadapi segala penderitaan di jalan Allah Swt.

Kalau begitu, apa arti doa yang dipanjatkan Rasulullah dengan suara lantang itu? Apa maksud redaksi doanya yang menyiratkan putus asa dan jenuh karena perjuangan yang dilakukan tak juga membuahkan hasil, kecuali intimidasi dan siksaan?

Kira-kira begini, pengaduan dan keluhan seseorang kepada Allah adalah bentuk atau wujud penghambaan dirinya. Berdoa sungguh-sungguh kepada-Nya dan menghinakan diri di depan pintu-Nya adalah bentuk ibadah dan upaya mendekatkan diri kepada-Nya. Lagian, cobaan berat dan musibah itu juga mengandung banyak hikmah. Salah satu di antaranya, mengantarkan orang-orang yang mengalaminya ke depan pintu Allah dengan mengenakan baju penghambaan. 

Jadi, tidak ada pertentangan sama sekali antara kesabaran menghadapi penderitaan dan pengaduan kepada Allah Swt. Justru, sebenarnya Rasulullah Saw. mengajari kita kedua sikap ini sekaligus. Dengan kesabarannya yang hebat dalam menghadapi berbagai cobaan, beliau menuntun kita bersabar yang merupakan tugas kaum Muslim dan khususnya para juru dakwah. Dengan doa panjangnya yang sungguh-sungguh dan penyandaran dirinya kepada Allah, beliau mengajari tugas penghambaan beserta segala tuntutannya.

Perlu dicatat bahwa betapa pun luhurnya jiwa manusia, dia tidak akan pernah melampaui kedudukannya sebagai hamba. Manusia, dalam pangkal fitrahnya, sudah dibekali perasaan. Baik itu perasaan nikmat maupun perasaan sakit dan menderita. Dia pun dibekali kecenderungan pada kenikmatan dan menghindari rasa sakit.

Artinya, meskipun Rasulullah Saw. telah mempersiapkan diri untuk menerima segala bentuk penderitaan dan kesulitan di jalan Tuhannya, beliau tetap manusia biasa, yang merasakan sakitnya derita dan nyamannya nikmat.

Dan agar bisa meraih ridha Tuhann dan menunaikan penghambaan, Rasulullah Saw. lebih suka menghadapi penderitaan, seberat apa pun, daripada mendapatkan nikmat betapa pun enaknya. 

Kemudian, soal perlindungan yang dilakukan Zaid bin Haritsah terhadap Rasulullah Saw. dengan menjadikan dirinya sebagai tameng dari lemparan batu dari Bani Tsaqif, hingga tubuhnya menderita banyak luka. Sikap ini menjadi contoh bagi setiap Muslim terhadap pimpinan mereka, yakni melindungi dan membela sang pemimpin dengan nyawanya sendiri.

Itulah yang dilakukan para sahabat kepada Rasulullah Saw. Saat ini, meskipun beliau tidak ada di tengah-tengah kita sehingga kita tidak bisa mempraktikkan apa yang dilakukan para sahabat, kita dapat melakukannya dalam bentuk lain, yaitu dengan selalu siap menghadapi aneka musibah dan penderitaan di jalan dakwah, serta ikut andil dalam perjuangan seperti yang dilakukan Nabi Saw. 

Selain itu, harus ada seorang pemimpin di jalan dakwah Islam pada setiap zaman yang menggantikan kepemimpinan Nabi Saw. Maka, semua Muslim harus menjadi prajurit yang tulus melindungi sang pemimpin dan bersedia mengorbankan harta bahkan jiwanya, seperti yang dilakukan para sahabat kepada Rasulullah Saw.

Walhasil, dari perjalanan beliau ke Thaif, bahwa semua yang beliau alami, terutama kekerasan, dan cemoohan, tidak memengaruhi keyakinannya kepada Allah Swt., atau merusak kekuatan tekadnya. Bahwa beliau hanya menjalankan perintah Allah dan berjalan di atas jalan yang diperintahkan-Nya. Oleh karena itu, tidak ada keraguan dalam jiwanya bahwa Allah pasti akan memenangkan agama-Nya, dan bahwa Dia telah menetapkan takdir segala sesuatu. 

Kiranya itulah prinsip yang mesti kita pegang teguh selagi meniti jalan dakwah. Demikian refleksi Said Ramadhan Al-Buthy! []

Baca juga: Tahun Duka Cita

Posting Komentar

0 Komentar