Ummu Habibah

SYAHDAN, Baginda Nabi Saw. menikahi Ummu Habibah karena hendak melindunginya yang berada sendirian di Habasyah dari kemurtadan. 

Karena bisa jadi penganjur-penganjur Kristen yang mengalihkan agama suaminya dari Islam itu akan melakukan hal sama kepada Ummu Habibah atas nama cinta terhadap mendiang suami. Apalagi ayah Ummu Habibah, seorang yang aktif membendung ajaran Islam dengan segala cara.

Perkawinan itu juga bertujuan menyingkirkan rasa malu Ummu Habibah karena ayah anaknya murtad serta melindunginya pula dari “kehampaan hidup” tanpa suami, walau usianya telah hampir 40 tahun.

Nah, tidak seorang pun istri Nabi Saw. yang lebih dekat hubungan kekerabatannya dengan beliau melebihi Ummu Habibah. Tidak juga yang dinikahi Nabi yang lebih jauh tempat bermukimnya melebihinya, sebagaimana tidak satu pun istri Nabi Saw. yang maharnya lebih banyak darinya karena mahar yang diberikan Negus kepadanya atas nama Nabi Saw. adalah 4.000 dirham, sedang istri-istri lain hanya 400 dirham.

Beberapa hari setelah kemenangan Nabi Saw. di Khaibar, Ummu Habibah tiba di Madinah bersama rombongan. Bersama pula Ja’far bin Abi Thalib beserta istri, Asma’ binti Umais. Sehingga, hari-hari tersebut menjadi hari-hari berbahagia: kemenangan di Khaibar, kedatangan Ja’far dan rombongan, dan yang tidak kurang menggembirakan adalah kehadiran Ummu Habibah.

Seperti kita ketahui, Aisyah adalah istri Baginda yang paling percaya diri bahwa dialah yang paling dicintai Nabi dari istri-istrinya selain Khadijah. Karena itu, kedatangan Ummu Habibah, yang memang tidak semenarik sekian istri Nabi yang lain, tak begitu mengganggunya.

Tetapi Ummu Habibah pun enggan untuk masuk ke grup Aisyah yang bergabung di dalamnya Hafshah dan Saudah. Apalagi jika mengingat, bahwa ayahnya masih seorang musyrik dan hingga tahun pernikahannya sampai sekian tahun sesudahnya masih saja tampil sebagai musuh suaminya. Walau demikian, meski hubungan kekeluargaan yang sebegitunya itu sedikit pun tidak menodai cinta dan kepatuhannya kepada Rasul dan ajaran Islam, bahkan jika perlu ia mengorbankan hubungan baik dengan keluarga demi Baginda Rasul Saw. 

Tersebut dalam riwayat, ketika Abu Sufyan datang berkunjung ke Madinah dan menemui putrinya, tetapi tak disambut oleh Ummu Habibah secara antusias, bahkan saat Abu Sufyan hendak duduk, alas tempat duduk ditarik oleh sang putri dan segera dilipat.

“Apakah Engkau enggan aku duduk beralaskan alas itu?” tanya Abu Sufyan.

“Ini adalah milik dan selalu digunakan oleh Rasul Saw. Engkau musyrik, aku enggan Engkau duduk di atasnya.”

“Sungguh, wahai anakku, Engkau telah ditimpa keburukan sejak kita berpisah.” Ucap sang ayah sambil keluar membawa amarah.

Kemudian ganjalan yang ada di hati Ummu Habibah baru tersingkap pada tahun 10 hijrah ketika Nabi Saw. berhasil masuk ke kota Makkah dengan kemenangan dan mengumumkan, antara lain, “Siapa yang memasuki rumah Abu Sufyan, maka dia memperoleh kemenangan.”

Sejak itu, Ummu Habibah tidak lagi diam bila Aisyah menantangnya atau melakukan apa yang sering dilakukannya, yakni berusaha memaksa atau berbangga di hadapannya. Hal itu dihadapi Ummu Habibah dengan tegas. 

Namun kemudian, ketika Ummu Habibah mendekati ajal, dia mengundang Aisyah dan berkata kepadanya, “Hampir-hampir saja hubungan kita seperti hubungan antara istri-istri yang berseteru, maafkanlah aku, dan semoga Allah memaafkan aku dan memaafkanmu.” 

Aisyah memaafkannya dan memohonkan ampun kepada Allah untuknya. Wajah Ummu Habibah berseri, lalu dia berucap, “Engkau menggembirakanku, Duhai Aisyah, semoga Allah menggembirakanmu.”

Apa yang dilakukan Ummu Habibah kepada Aisyah, dilakukannya pula kepada Ummu Salamah. Dan, Ummu Habibah wafat pada tahun 44 hijrah dalam usia 63 tahun pada masa kekuasaan saudaranya, Mu’awiyyah bin Abu Sufyan.

Demikian! []

Baca juga: Ramlah binti Abu Sufyan 

Posting Komentar

0 Komentar