HATI Ramlah binti Abu Sufyan berbunga-bunga. Ia tak menyangka akan memperoleh keagungan yang tak terbayangkan barang sehari pun, menikah dengan sang Baginda Muhammad. Seluruh kesedihannya terasa lenyap seketika itu juga. Sungguh, ia sangat-sangat berbahagia.
Abu Sufyan, sang ayah sekaligus pemimpin perang kaum Quraisy, juga terkejut atas lamaran Muhammad kepada putrinya. Yang kemudian ditepisnya sendiri, Muhammad pasti punya motif terselubung di balik sandiwaranya itu.
Namun, Ramlah yang sedang berada di tanah Habasyah, yang merupakan pengikut awal Nabi, dan turut rombongan berhijrah ke sana, teramat sangat bahagia. Ia terenyuh akan pesan yang dibawa utusan Raja Najasyi bahwa dirinya dilamar Nabi Muhammad. Seperti tak percaya, benarkah keagungan yang tak terbayangkan ini nyata terjadi? Apakah ini bukan mimpi indah dalam tidur yang paling lelap?
Ya, Ramlah binti Abu Sufyan adalah janda Ubaidullah bin Jahsy. Beberapa bulan sebelum Hudaybiah, Ubaidullah bin Jahsy dikabarkan meninggal dunia. Sebelum mengikuti ajaran Islam, ia beragama Kristen. Tetapi, tak lama setelah hijrah ke Abyssinia, ia pun kembali memeluk agama Kristen, yang membuat Ramlah sangat terpukul.
Di Madinah, Baginda Muhammad mendengar kabar duka yang dialami Ramlah. Ia terbayang betapa Ramlah mesti sendirian melahirkan dan kemudian mendidik putri tunggalnya, Habibah, di negeri orang. Padahal Ramlah termasuk pengikutnya yang gigih, bahkan harus mengesampingkan desakan orangtuanya, Abu Sufyan bin Harb dan Shafiyah binti Al-Ash.
Baginda Nabi terketuk mengingat ragam penderitaan di sepanjang jejak perjuangan Ramlah memeluk dan mempertahankan Islam. Dan akibat ulah Ubaidullah yang murtad, Ramlah binti Abu Sufyan yang kemudian lebih dikenal sebagai Ummu Habibah, tersayat-sayat hatinya. Ia hidup terkucil. Ia malu untuk bergabung dengan komunitas muslim yang dipimpin Ja’far bin Abu Thalib. Tetapi, ia tetap tabah.
Hingga berikutnya, datanglah lamaran dari Baginda Muhammad, tahun 628. Raja Najasyi yang telah memeluk Islam mengutus seorang budak wanita terdekatnya untuk menyampaikan lamaran tersebut kepada Ummu Habibah.
Ummu Habibah terkejut, sangat terkejut. Ia sama sekali tak menduga bakal mendapat karunia yang tak bertara dari seorang agung yang ia puja melebihi terhadap ayahnya sendiri. Perasaan malu dan terkucil akibat pilihan keyakinan mantan suaminya, seketika menguap.
Terlebih saat mengingat betapa ayahnya sendiri sangat membenci Muhammad, Ummu Habibah pun semakin mengagumi bakal suaminya ini. Sosok agung yang tiada banding.
“Semoga Allah membahagiakanmu, duhai Wanita baik.” ucap Ummu Habibah kepada utusan Raja Najasyi. Cepat-cepat Ummu Habibah mencopot dua gelang perak dari tangannya dan diserahkan kepada wanita itu. Si utusan terharu melihat kebahagiaan yang membuncah dari raut wajah Ummu Habibah. Ia melanjutkan, “Raja berpesan, tunjuklah seorang wakil yang akan mengawinkanmu.”
Dalam hati, Ummu Habibah mencari-cari siapa yang layak mewakilinya dalam peristiwa besar, paling tidak dalam hidupnya itu. Rasanya tidak ada yang lebih pantas selain Khalid ibn Sa’id ibn al-Ash. Maka dipilihlah ia dan diutuslah mewakili dirinya.
Raja Najasyi mengumpulkan para emigran muslim di sana. Raja berdiri menyampaikan pidato, “Rasulullah berkirim surat kepadaku, meminta dikawinkan dengan Ramlah binti Abu Sufyan. Kukabulkan permintaan beliau dan kukawinkan beliau dengan Ramlah binti Abu Sufyan. Semoga Allah memberkati.”
Raja duduk, lalu menyerahkan empat ratus dinar dari Rasulullah kepada Khalid ibn Sa’id sebagai maskawin. Baru setelah itu dilangsungkanlah akad nikah. Usai disuguhi makanan oleh Raja, mereka semua bubar dengan rona berbinar-binar.
Khalid menyerahkan maskawin itu kepada Ummu Habibah. Begitu ia terima, ia langsung menyuruh seseorang untuk mengantarkan lima puluh dinar kepada budak wanita yang kemarin diutus Raja ke rumahnya. Ia berkata lewat utusan itu, “Kemarin kau datang ke rumah, aku tak punya apa-apa selain dua gelang itu. Sekarang, terimalah uang lima puluh dinar ini, Saudariku, dan terima kasih atas berita agungmu.”
Beberapa hari kemudian, akhirnya, tiba waktu Ummu Habibah beserta rombongan kaum muslim yang dipimpin Ja’far bertolak dari Habasyah kembali ke sisi Rasulullah, di Madinah. Begitu memasuki Madinah, Ummu Habibah bergabung dengan para madu yang lain. Ia mulai bisa menyaksikan perkembangan Islam dari dekat, yang selama ini, semenjak masa pemboikotan terhadap Bani Hasyim dan tinggal di Abyssinia, kurang lebih 9 tahun, hanya lamat-lamat mendengar.
Selanjutnya damailah hidup Ummu Habibah di sisi Muhammad. Ia pun sadar diri untuk tidak neka-neka, apalagi sampai bersaing dengan madu-madu yang lain. Ia tahu bahwa akhirnya Nabi berkenan menikahinya adalah anugerah tak bertara.
Saya membayangkan kemudian, betapa perasaan tengah menyelimuti Ummu Habibah. Ia adalah putri Abu Sufyan, pemuka Quraisy yang getol melawan risalah Muhammad, menentang kenabian suaminya. Ia pula, sebelumnya seorang istri yang terpukul hatinya dan memilih untuk mengucilkan diri akibat keyakinan beda Ubaidullah bin Jahsy.
Pada titik itu, Ramlah binti Abu Sufyan jelas tidak akan tegak menengadah di hadapan Ummu Salamah, Zainab, atau pun Hafshah. Lebih-lebih terhadap Aisyah, yang muda, lincah, cerdas, dan putri seorang sahabat utama. Apalagi ia paham, Aisyah yang acap menunjukkan kemanjaan ini adalah seorang pencemburu.
Namun demikian, Ramlah tetaplah seorang wanita terhormat. Ia adalah putri siapa lagi kalau bukan pemimpin dewan Makkah, Abu Sufyan. Dia telah menentang ayahnya sendiri dengan memeluk ajaran Muhammad sejak awal.
Ya, Ramlah binti Abu Sufyan bin Harb yang tengah berbunga hati menjadi istri Rasulullah, yang dinikahi dari jarak jauh, Madinah-Habasyah. []
Ungaran, 14 November 2025
Baca juga: Hakikat Persaksian

0 Komentar