(21)
UMAR bin Khattab mempunyai adik perempuan, Fatimah. Dan Fatimah telah bersuamikan Said bin Zaid. Sejak mendengar dakwah Nabi Saw., pasangan suami istri itu segera mengikuti beliau dan menjadi pemeluk setia.
Umar belum mengetahui keislaman adik dan iparnya, karena memang mereka tidak menunjukkan kepada sang kakak. Mereka khawatir jika Umar sampai mengetahui, tentu ia akan sangat marah dan mereka berdua bisa-bisa akan dianiaya, bahkan dibunuh.
Suatu ketika, Laila istri Amir bin Rabi’ah, hendak berangkat hijrah ke Habasyah, bertemu Umar. “Hai Ummu Abdillah, engkau hendak pergi ke mana?” tanya Umar.
“Engkau telah menyakiti aku dan kawan-kawanku yang mengikuti seruan Muhammad. Maka, aku hendak pergi ke bumi Tuhan di mana aku dapat berbakti kepada-Nya. Di sanalah, aku hendak bertempat tinggal agar aku tidak disakiti lagi oleh kamu dan kawan-kawanmu.”
“Ya, mudah-mudahan Tuhan beserta engkau.” Jawab Umar.
Begitu Umar berlalu dan membiarkan Laila pergi, Laila menemui Amir dan bercerita tentang kondisi Umar yang malah mendoakan keselamatan.
“Adakah engkau mengharapkan keislaman Umar bin Khattab? Janganlah engkau mengharapkan demikian! Umar tidak akan mengikuti seruan Muhammad kecuali jika keledai si Khattab sudah mengikuti Muhammad lebih dahulu.” Tegur suaminya.
Amir berkata demikian karena ia selalu ingat perbuatan-perbuatan Umar bin Khattab yang sangat kejam, ganas, dan buas terhadap orang-orang yang telah mengikuti seruan Muhammad, terutama saat Umar menyiksa hingga nyawa melayang salah seorang budaknya yang memeluk Islam.
Amir belum mengetahui bahwa Baginda Nabi Saw. pernah berdoa tentang keislaman antara Umar atau Abu Jahal.
Nah, Baginda Nabi Saw. bersama para sahabatnya di rumah Arqam bin Abil-Arqam, ketika pemuka-pemuka Quraisy memutuskan untuk membunuh beliau melalui tangan Umar.
Umar bergegas mencari keberadaan Nabi Saw. Dengan terang-terangan, seraya menghunus pedangnya, Umar berkeliling Makkah, berharap ketemu Muhammad dan langsung membunuhnya. Di suatu jalan di tengah kota, ia berpapasan dengan Sa’ad bin Abi Waqash, sahabat karibnya. “Engkau akan pergi ke mana?” tanya Sa’ad. “Kenapa menghunus pedang seperti itu?”
“Aku akan mencari Muhammad, orang celaka itu. Ia sudah berani mendirikan agama baru. Ia telah memutus persaudaraan kita, memecah-belah persatuan kita, membodoh-bodohkan orang-orang pandai kita, mencaci maki agama nenek moyang kita, menghina tuhan-tuhan kita dan merendahkan kemuliaan kita. Jika aku bertemu dengannya, akan langsung kubunuh.”
“Oh, Umar!” sahut Sa’ad. “Engkau ini lebih kecil dan lebih hina. Apakah anak keturunan Abdul Muthalib akan membiarkan engkau hidup lebih lama jika sampai berani membunuh Muhammad?”
“Agaknya engkau sekarang berani kepadaku.” Tukas Umar. “Hari ini aku sadar bahwa engkau sudah berganti agama. Engkau telah mengikuti agama Muhammad. Kalau begitu, engkau kubunuh lebih dulu sekarang. Engkau sudah berlainan agama denganku, bukan?”
Mendengar ancaman Umar, Sa’ad pun dengan segera menghunus pedangnya. Keduanya sama-sama berani, dan siap beradu pedang. Umar sesaat diam. Dan Sa’ad berkata, “Hai Umar, mengapa engkau tidak terlebih dahulu menghukum Fatimah dan iparmu?”
Umar tercekat, “Mengapa begitu? Apakah adik dan iparku sudah bertukar agama menjadi pengikut Muhammad?”
“Mengapa tidak? Mereka semua sudah lama menjadi pemeluk agama Muhammad. Bahkan mereka sangat patuh dan taat kepadanya.”
“Kalau begitu, kubunuh kedua-duanya!”
Umar dan Sa’ad berpisah, tidak melanjutkan pertengkaran. Dan Umar langsung menuju rumah adiknya. Saat itu, Khabbab al-Art, bekas budak Umar sendiri, sedang di rumah membacakan ayat-ayat Al-Qur’an.
Sesampai Umar di rumah adik iparnya, pintu rumah terkunci. Diketuknya dengan keras seraya memegang pedang terhunus. “Siapa?” tanya Said dari dalam.
“Umar bin Khattab!”
Khabbab yang mendengar suara lantang Umar, segera menyembunyikan diri beserta catatan ayat-ayat Al-Qur’an yang baru dipelajarinya. Dan Said membukakan pintu.
Umar masuk dengan muka merah padam, dan langsung menuding adik perempuannya itu, “Hai orang yang memusuhi dirinya sendiri, sungguh aku mendengar bahwa engkau telah berganti agama dan begitu pula suamimu. Betul engkau sekarang mengikuti agama Muhammad?”
Kemudian Umar memegang janggut Said dan mencekik lehernya. Said dibanting dan dadanya diinjak-injak. Said tak berkutik, hanya pasrah dianiaya kakak iparnya ini.
Fatimah tak tahan melihatnya dan bergegas menarik jubah sang kakak. Tapi apa daya, Umar terlampau digdaya. Jangankan dirinya, suaminya saja tak berkutik di hadapan Umar. Kepalanya dipukul dan mulutnya disikut sehingga berdarah. Namun Fatimah tak menyerah. Ia semakin berani menentang kakaknya. “Silakan pukul aku, atau bunuhlah aku sekalian!”
Umar terdiam sambil duduk di atas dada iparnya.
“Hai seteru Allah! Aku dan suamiku sudah lama memeluk agama Muhammad. Mengapa engkau baru bertanya sekarang? Kalau engkau hendak membunuhku, aku tidak akan takut sedikit pun. Aku dan suamiku akan tetap mengikuti agama Muhammad.”
Umar yang sejatinya seorang pengiba, mendengar suara adiknya dan apalagi melihat mukanya berlumuran darah, bangun melepas iparnya dan duduk di atas kursi. Umar termenung dan tampak sangat menyesal. Matanya melihat ke atas dan ke bawah, ke kanan ke kiri. Tampak olehnya, tulisan pada gulungan kulit yang tergantung di atas pintu. Ia tertarik dan mencermati dari tempat duduknya.
“Fatimah, itu tulisan apa?”
Fatimah tidak menjawab. Umar berseru lagi, “Fatimah, ambilkan tulisan itu. Aku hendak melihatnya sebentar. Ambilkan untukku!”
“Tidak!” tegas Fatimah. “Aku tak sudi mengambilnya, nanti engkau robek-robek dan engkau tidak boleh memegangnya.”
Berulang-ulang Umar meminta supaya diambilkan, tetapi Fatimah tetap kukuh tak bersedia mengambilkan. Akhirnya, Umar bersumpah, “Demi Allah, jika aku sudah melihatnya, segera kukembalikan dan tidak akan kurobek-robek. Demi Allah, aku tidak berbohong kepadamu, Adikku!”
Setelah mendengar kakaknya bersumpah, Fatimah terpaksa mengambil gulungan tulisan itu dan menyerahkannya kepada sang kakak.
Demikian! []
Baca juga: Hijrah Pertama

0 Komentar