“Lho, tidak sekolah, Mas?” tanya seorang bapak seraya menunjuk Rakai. Entah, saya tidak tahu, pertanyaan itu serius atau sekadar basa-basi. Bapak itu sedang menyiapkan semprotan pestisida, saat kami menyusuri pematang sawahnya.
“Memang nggak sekolah, Pak!” saya menjawab sembari mengulas senyum dan mengangguk kepadanya sebagai isyarat izin numpang lewat. Ia pun membalas dengan senyum ramah. Tidak lagi mengulik lebih jauh kenapa Rakai tak sekolah. Ah, saya memang terlampau ge-er: peduli apa bapak pesawah itu dengan ketidaksekolahan Rakai?
Hari masih cerah. Matahari tak bersinar garang. Terasa sekali keindahan pematang-pematang sawah saat itu. Apalagi area pertanian depan kebun pala Desa Gogik itu sepi sekali. Saya, Rakai, dan Ahimsa, berasa bertiga saja. Hanya satu dua petani yang tengah menggarap sawah.
Sebelumnya, kami mengawali nature walk dengan menyusuri setapak perkebunan pala. Jalanan menanjak berat dan masih berasa sisa hujan. Kami terus mendaki, memasuki kebun pala yang mirip rimba belantara. Kami menapak tanah penuh ilalang. Yang berkelok-kelok seperti ular. Semakin dalam memasuki kebun, yang artinya terus mendaki, semakin rimbun pohon-pohon. Pepohonan yang besar dan tinggi menjulang.
Rakai berjalan di depan. Kakaknya, Ahimsa, menjajarinya. Saya mengikuti sambil jeprat-jepret, mengabadikan tingkah lucu mereka. Rakai sesekali harus menebas jalan, membuat rute baru, karena setapak yang biasa dilewati orang terlampau licin. Ia menepis ilalang yang setinggi badannya. Hmmm, benar-benar mini belantara. Dedaunan kering berserakan di tanah lembab.
Makin ke dalam serasa kian remang. Senyap. Hanya suara keresekan kaki-kaki kami yang bersentuhan dengan rumput dan ranting-ranting kering. Sesekali terdengar suara burung dan bunyi serangga yang aneh-aneh. Lumayan letih. Kami pun duduk-duduk di atas rerumputan. Saya pindah ke atas batu besar. Anak-anak memilih di atas akar pohon yang menyembul ke permukaan tanah.
“Ke sawah itu aja yuk!” saya menunjuk ke bawah, ke hamparan sawah. Ya, kehijauan persawahan itu lebih memikat saya ketimbang harus terus menerabas ilalang. Ahimsa setuju. Pun Rakai. Lantas kami berbelok ke kiri. Menuruni setapak yang gampang memerosotkan tubuh, lagi-lagi tanah gembur sehabis terguyur hujan. Saya menggandeng tangan Rakai, pelan-pelan menuruni kebun pala. Giliran Ahimsa yang di belakang. Kami menyeberang sungai kecil, lebih tepatnya selokan, yang berlimpah air.
Detik kemudian, kami sudah berada di pematang sawah. Berada di tengah kehijauan padi. Kami berhenti sebentar. Saya menghirup udara dalam-dalam. Sungguh, betapa segar udara sawah. Dan bunyi air mengalir itu, menambah suasana kian asyik. Sementara Rakai serius mengamati entah capung atau kupu-kupu warna hitam kebiruan yang berdiam di atas rumput. Ahimsa hanya memandang sekilas tingkah adiknya, sebelum akhirnya khusyuk mendengar penjelasan bapak tani itu tentang pestisida.
“Yah, fotoin ta!” seru si bungsu, menunjuk hewan kecil yang hitam kebiruan itu.
“Habis ini ke mana, Nak?” seraya mengabadikan momen Rakai hendak menangkap hewan keci litu.
Ia tak menjawab, dan ia pun gagal menangkap si hitam kebiruan. Ia bersungut-sungut, “Ayah sih, pakai nanya! Ya udah kita ke Semirang aja!”
***
Panas matahari masih belum menyengat begitu kami tiba di Semirang. Ya, Curug Semirang namanya, salah satu tujuan wisata air terjun di lereng Gunung Ungaran. Masih di Desa Gogik, Ungaran Barat, dan bersebelahan dengan kebun pala.
Dan, hari itu Rakai kembali mengajak lanjut ke Semirang. Ritual membaca belantara terbuka yang tak akan habis digali maknanya. Membaca jejak kaki, tetesan air, gemericik sungai, tanah merah, bebatuan besar, pohon langka, atau bunyi serangga. Memang, saya awam soal itu semua. Saya tak mengerti tumbuhan. Pepohonan langka. Atau tanaman obat.
Semula saya tak begitu sreg dengan kegiatan yang berbau alam: mendaki gunung, konservasi hutan, menanam pohon, dan sejenisnya. Padahal saya tinggal di lereng Gunung Ungaran. Saban pagi, seiring semburat matahari yang memulai hari dari ufuk, Gunung Ungaran itu tak bosan menyapa. Ia menyambangi pagi kepada segenap penghuni Ungaran. Ironis.
Namun, begitu si ragil selalu merengek untuk ditemani jalan-jalan menyusuri sungai, menerobos hutan pala, perkebunan kopi, atau sekadar menikmati persawahan beserta para serangganya. Dari situlah, suka tak suka saya kudu menuruti. Dan konsekuensinya, saya harus sedikit banyak paham nama-nama tanaman, kegunaannya, dan nama serangga. Saya mesti tampak, paling tidak di hadapan Rakai, menyukai hutan rimba. Tampak menyenangi bunyi serangga. Suara aliran air sungai. Dan derasnya air terjun.
Berkah Rakai, memang. Saya, dan sepertinya juga Ahimsa, mau menghadirkan rasa cinta kepada hutan, dan segala yang tumpah ruah darinya. Setiap kali menemani petualangannya, saya tertegun. Saya menangis: betapa selama ini, sudah hampir dua belas tahun menghuni Ungaran, tapi masih buta terhadap keelokan alam rayanya. Saya benar-benar cupu soal hutan-hutan di lereng Gunung Ungaran. Saya telat menyadari: betapa rupawan alam Desa Lerep, Desa Gogik, Desa Kalisidi. Betapa kaya sumber nabati dusun-dusun yang mengitari lereng Gunung Ungaran.
Tentu saja, akhirnya setiap kali menginjak tanah Semirang, saya tak bisa melupakan kali pertama ke situ: terbit perasaan was-was kala menyisir setapak berbatu yang persis pinggir jurang. Namun, kini tidak lagi berkeringat dingin, seusai berulang kali bertandang. Malahan serasa keranjingan. Serasa ada yang kurang selagi belum menyisihkan waktu bepergian ke padang perdu, hutan, tepi sawah, atau sungai.
Bagaimanapun memasuki lorong setapak berbatu-batu tak teratur itu mengasyikkan. Memandangi hamparan padang perdu, tebing yang miring, kemudian menyisir jalan sempit yang panjang dengan di sebelah-menyebelah tampak tumbuh gerumbul-gerumbul liar, itu teramat mengesankan. Belum lagi semak-semak yang menggores kaki dengan duri-duri tajam. Betapalah pokoknya.
Betapa, suatu ketika itu, kami merasai angin berembus menyisir batang-batang padi di sawah. Kami duduk di atas lincak bambu, dengan keringat yang masih saja membasahi pakaian kami. Sungguh berasa damai hati ini.
Bagaimanapun tatkala kami menyusuri jalan setapak menuju air terjun Semirang, ditambah dengan keberadaan sungai yang membelah hutan itu, benar-benar menggugah hati. Matahari acap kali menjadi seolah kehilangan terik, meski persis di atas kepala. Ya, bagaimana cahya mentari itu tak menjadi redup, karena bayangan dedaunan yang seakan tak bersela. Hanya satu dua berkas sinarnya yang sempat menggapai tanah lembab di hutan pinggir Kota Ungaran itu.
Nah, kesempatan hari itu, seusai dari pematang sawah, Sabtu, 11 Desember 2021, kami merambah padang perdu menuruni tebing yang landai. Kemudian menyusuri sungai yang tidak begitu besar tetapi bongkahan bebatuan sebesar kerbau berserakan dimana-mana. Bahkan ada yang lebih besar lagi. Sebesar anak gajah yang sedang tumbuh.
Kami memilih tidak bermain air yang persis di bawah air terjun. Kami tak meneruskan pendakian ke situ. Kami hanya menikmati area sungai, dekat kebun pala. Tidak banyak acara, hanya mandi dan mengeksplorasi bebatuan yang berserakan itu. Sementara saya duduk santai di tangga rumah pohon, sembari memandang pohon-pohon pala dan hamparan hijau Semirang.
Lagi-lagi, hutan adalah tempat favorit kami untuk berlepas dari rutinitas. Wahana merasakan keagungan Tuhan sekaligus keindahan ciptaan-Nya. Ia mahaagung. Yang berkuasa menyusun batu cadas di tebing menuju air terjun. Ia menghadirkan batu-batu kali yang sebesar rumah kami, yang membendung aliran air sungai. Dan tumbuh-tumbuhan itu, begitu rupawan. Hijau serta mengundang decak kagum yang susah terkatakan.
Matahari masih bersinar lembut. Bahkan nyaris tiada panas. Sehingga dingin cuaca terasa turut mengalirkan haru saat menyaksikan anak-anak bersenda gurau. Mereka memanjat pohon, seusai berkecipak dengan air sungai. Lantas duduk di atas papan yang terpancang pada batang pohon tersebut.
Berikutnya, mereka kembali menaksir dari gemercik air: sungai itu dangkal atau dalam. Sesekali mereka berteduh di balik batu besar. Berlindung dari terpaan air. Saya hanya memandang dan melamunkan keriangan mereka. Ya, anak-anak yang belajar dekat dengan alam. Bersahabat dan menemu keajaiban di baliknya. Tidak saban hari, tapi begitu menyusuri alam, jelas tersirat rona bahagia di wajah mereka. Tampak berarti di hati mereka.
Sayang, kegembiraan di hutan Semirang itu mesti terinterupsi oleh agenda Kelas Menulis yang saya ampu. Sehingga, tepat pukul 13.00 kami menyudahi acara di Semirang. Saya mesti menyiapkan materi diskusi.
Pendeknya, meluangkan waktu untuk menikmati alam bebas bisa menjadi terapi bosan. Sekaligus investasi waktu: kebersamaan orangtua-anak. Yang saling menyayangi. Saling meneguhkan. Saling berbagi. Atau paling tidak sebagai cara ampuh mengemong anak-anak. Anak-anak berbungabunga. Mereka sukaria. Dan, saya tidak perlu mematok banyak aturan yang mesti direwelkan. Saya cukup mengawasi serta memotret momen keasyikan mereka.
Demikianlah saat itu. Sebuah terapi bosan saat menemani Ahimsa dan Rakai yang masih banyak tingkah. Dan tulisan ini pula, selain sebagai catatan harian, saya peruntukkan buat dua sahabat aktivis lingkungan, Dera dan Munif, yang pada subuh 27 November 2025 ditangkap secara paksa oleh 24 polisi bersenjata, tanpa kejelasan alasan. []
Ungaran, 11 Desember 2025
Baca juga: Dari Novel Sarongge

0 Komentar