Istri Keturunan Yahudi

SHAFIYAH adalah putri Huyay bin Akhthab yang garis keturunannya berlanjut hingga Nabi Harun. Ayahnya adalah tokoh Yahudi yang tewas terbunuh dalam peristiwa Khaibar, sedang ibunya Barah binti Syamuel. 

Usia Shafiyah belum genap 17 tahun, tetapi telah menikah dua kali sebelum akhirnya bersama Baginda Nabi. Pertama dengan tokoh Yahudi dari Bani Quraizhah, Salam bin Misykam. Tetapi tidak berlangsung lama, karena sang suami meninggal. Suami kedua adalah Kinanah bin Abi Rabi bin Al-Huqaiq yang menghuni benteng terkuat di Khaibar, benteng al-Qamus. Suaminya yang kedua ini dijatuhi hukuman mati sebagai balasan atas pembunuhannya terhadap sahabat Nabi, Mahmud bin Maslamah. 

Ini bermula ketika Nabi memerintahkan mencari harta peninggalan Bani Nadhir yang disembunyikan di Khaibar. Kinanah yang ditanyai hal itu mengingkari, tetapi seorang Yahudi lain menyampaikan bahwa setiap pagi melihat Kinanah mondar-mandir di satu lokasi kumuh. 

Kemudian, “Seandainya kami menemukan harta itu di sana, apakah Engkau bersedia dibunuh?” tandas Baginda Muhammad.

Kinanah mengiyakan, setelah dicari dan ditemukan sebagian harta itu di sana, Kinanah ditanya lagi, “Mana selainnya?” Ia tetap ingkar. Kinanah diserahkan kepada Muhammad bin Maslamah untuk mengeksekusi sebagai balasan setimpal atas saudara kandungnya, Mahmud bin Maslamah, yang dibunuh Kinanah.

Shafiyah termasuk salah seorang yang ditawan. Ia dengan anak pamannya dibawa Bilal menuju Rasul Saw. di tengah sekian orang Yahudi yang tewas. Shafiyah mampu menahan diri, tetapi rekannya itu berteriak-teriak memukul-mukul pipi tidak tahan melihat mayat-mayat. Nabi mengecam Bilal yang sampai hati melewati para korban dengan membawa kedua perempuan itu. Nabi segera memerintahkan mengembalikan anak paman Shafiyah, sedang Shafiyah yang tampak tegar dan terkesan mengharap sesuatu dari Nabi dibiarkan. 

Nabi menawarkan kepada Shafiyah untuk memeluk Islam, lalu dinikahi Nabi atau tetap menganut agama Yahudi, “Aku memerdekakan dan mengizinkanmu kembali bersatu dengan keluargamu di Khaibar.” Tetapi Shafiyah memilih memeluk Islam dan tetap bersama Nabi, mengingat ayah, saudara, dan keluarganya telah tiada.

Dan memang, suatu waktu, ketika ditanya apakah minat kepada sang Baginda, Shafiyah menjawab, “Bagaimana tidak, sewaktu aku masih belum memeluk Islam, aku telah berminat, apalagi setelah memeluknya.”

Diriwayatkan pula, sewaktu Nab menikahinya, ada bekas memar di pipinya. Nabi bertanya sebab memar itu dan Shafiyah bercerita bahwa sebelum peristiwa Khaibar ia bermimpi melihat bulan jatuh di pangkuannya. Mimpinya itu disampaikan kepada suaminya, Kinanah, yang langsung menamparnya sambil berkata, “Ooo…jadi Engkau menginginkan Penguasa Hijaz itu, Engkau berhasrat kepada Muhammad.”

Dan agaknya minat Shafiyah itu juga lahir dari apa yang kerap ia dengar dari percakapan ayah dan pamannya tentang kehadiran nabi untuk akhir zaman. Namun ternyata, begitu mengetahui bahwa Muhammadlah nabi yang dijanjikan, mereka enggan mengakui.

Lantas, beberapa waktu setelah peristiwa Khaibar dan setelah Shafiyah memeluk Islam serta menikah, Baginda Nabi mengajaknya ke pinggiran kota, menjauh sekitar enam mil dari keramaian. Namun, setibanya di sana Shafiyah enggan disentuh Nabi. Tetapi beliau tidak memaksa dan bertanya kenapa.

Setelah rombongan kembali ke Madinah, setiba di Shahba’, tidak jauh dari Madinah, mulailah Nabi bertanya tentang keengganannya. Dan Shafiyah menuturkan lebih karena perasaan khawatir yang amat sangat, sebab di daerah itu masih wilayah Khaibar, dan masih terdapat orang-orang Yahudi yang mendendam beliau, yang tiba-tiba dapat mencerderai sang suami. Sungguh, betapa Shafiyah, kendati masih muda, memiliki pandangan jauh.

Rombongan pun tiba di Madinah. Dan berita keikutsertaan Shafiyah sontak menghebohkan istri-istri beliau, penasaran sampai di mana kecantikannya yang santer dibicarakan orang-orang. Bahkan secara sembunyi-sembunyi, Aisyah menjenguk bilik Shafiyah yang saat itu masih bertempat di rumah Haritsah bin al-Nu’man, karena bilik yang di samping Masjid Nabawi belum disiapkan. 

Nabi melihat Aisyah kendati menutup mukanya masuk menemui Shafiyah. Nabi sengaja menunggu istri tercintanya ini dan begitu nongol dari rumah Haritsah, dengan senyum penuh arti beliau bertanya, “Bagaimana Engkau melihatnya?”

“Aku melihat seorang perempuan Yahudi,” ketus Aisyah sambil mengangkat bahu.

“Jangan berkata demikian. Dia telah memeluk Islam,” jawab Nabi kalem.

Memang, sesuatu yang sangat menusuk hati Shafiyah adalah penyebutan asal usulnya dengan nada pelecehan. Sewaktu tiba di Madinah, unta yang ditumpangi Shafiyah tergelincir, sehingga ia terjatuh, dan pakaiannya terbuka. Nabi segera membantu dan memperbaiki letak pakaiannya. Orang-orang terutama kaum perempuan melihat peristiwa itu berseloroh, “Perempuan Yahudi itu terjatuh.”

Sebagaimana telah kita ketahui, ada semacam dua kelompok istri-istri Nabi: Aisyah, Hafshah, dan Saudah dalam satu kelompok; dan istri-istri beliau yang lain dalam kelompok satunya, dan ini didukung oleh putri Nabi, Fathimah. Sulit bagi Shafiyah memilih, tapi akhirnya ia mengambil jalan aman. Shafiyah berusaha menampakkan kecenderungan ke grup Aisyah, saat yang sama mendekat kepada putri Nabi. Ia menghadiahkan kepada Fathimah gelang/anting emas miliknya.

Sebenarnya tidak ada yang ditakutkan dari putri Nabi ini, selain bukan “madu”, pembawaan Fathimah cenderung tidak ikut campur dalam urusan cemburu-mencemburui antarmadu. Yang ditakuti oleh semua adalah Aisyah yang memang dicintai Nabi melebihi yang lain dan yang paling tidak tahan disaingi.

Kendati Shafiyah berusaha mendekati Aisyah dan grupnya, tetap saja tidak terhindar dari sentilan-sentilan mereka, bahkan dari sentilan istri-istri yang berada di grup sebelah. Hafshah dan Aisyah, misalnya acap memanggilnya, “Wahai perempuan Yahudi.” 

Shafiyah sangat tersinggung, dan mengadu kepada Nabi sambil menangis. Baginda Nabi menghibur, “Katakan kepada mereka: bagaimana bisa Anda semua lebih baik daripada aku? Suamiku Muhammad, ayahku Harun, dan pamanku Musa!”

Dan Baginda Nabi selalu berusaha membela Shafiyah, karena tahu betul istri-istri beliau tidak bersimpati kepadanya. Bukan saja karena Shafiyah memang teramat cantik, melainkan karena dia wanita Yahudi yang selama ini mayoritas putra-putri dari kalangannya sering memusuhi suami mereka, Baginda Muhammad. 

Lebih dari itu, Nabi perlu membela Shafiyah, karena di Madinah dapat dikatakan Shafiyah “sendirian” minus keluarga dekat. Karenanya, pernah Nabi sedemikian marah kepada Zainab binti Jahesy selama sekian malam karena dia enggan membantu Shafiyah dan menamainya “Yahudiyah”.

Karena kesendiriannya itu pula, pernah Shafiyah menyampaikan kepada beliau sekira terjadi sesuatu pada diri Nabi, kepada siapa akan meminta bantuan, Nabi menjawab, “Kepada Ali bin Abi Thalib.”

Walhasil, ketika Nabi sakit yang membawa kepulangan beliau kepada Allah, istri-istri Nabi berkumpul di sekitar beliau. Shafiyah berucap, “Demi Allah, wahai Nabi! Aku ingin kalau bisa akulah yang memikul derita sakitmu.” 

Mendengar ucapan itu, istri-istri Nabi yang lain saling mengerling mencemooh. Nabi yang melihat ulah mereka bersabda, “Berkumurlah kalian!”

“Mengapa, wahai Nabi?” tanya salah seorang istri.

“Akibat kerlingan mata kalian terhadapnya. Demi Allah, dia adalah seorang wanita yang berucap benar.”

Demikianlah, dan Shafiyah pun wafat pada tahun 50 hijrah, pada masa pemerintahan Mu’awiyah. []

Ungaran, 12 Desember 2025

Baca juga: Shafiyah binti Huyay

Posting Komentar

0 Komentar