Dari Novel Sarongge

DULU, sewaktu sulung dan ragil saya masih kecil, beberapa kali saya mengajak mereka ke hutan Penggaron. Hutan kota di Susukan, Ungaran Timur, Kabupaten Semarang. Hutan ini memiliki luas area sebesar 1.500 hektare. 

Dengan berkendara sepeda motor, saya dan anak-anak menyusuri jalan kecil beraspal, membelah hutan seraya memuaskan pandangan pada banyaknya pohon pinus yang berjejer. Di sana sini, sejauh mata memandang, adalah hamparan hijau ilalang, juga pohon-pohon besar yang berumur. Singkat kata, kami menikmati suasana alam yang indah. Suasana hutan dengan dedaunan yang masih rimbun. Batang pohon menjulang tinggi. Akar melintang tak beraturan. Dan, siulan burung-burung liar yang begitu menyentuh hati. 

Sungguh, beberapa kali saya dan anak-anak ke sana, beberapa kali pula, hati saya menjerit takjub. Dan, menerobos hutan Penggaron, di tengah rerimbunan pepohonan itu, novel Sarongge turut mengisi benak saya. Tosca Santoso telah memenuhi isi kepala saya dengan kisah arogansi Orde Baru yang membabat hutan gambut Kalimantan menjadi sawah ala Jawa. Novel Sarongge berkisah soal Karen dan Husin, dua aktivis lingkungan.

Adalah Karen, kekasih (dan kemudian jadi istri) Husin, tergabung dalam Ksatria Pelangi, telah mengorbankan diri sebagai pejuang lingkungan hidup. Ia meneliti penghancuran gambut oleh rezim Soeharto di Kalimantan Tengah. Dan, ia turut berbaris membentangkan spanduk raksasa, “Selamatkan Hutan Gambut yang Tersisa.” 

Karen Hidayati, nama lengkap perempuan kota yang mendedikasikan diri sebagai pengusung ide-ide besar: penyelamat bumi, itu tertambat pada kesederhanaan Husin, petani di lereng Gunung Gede. Kisah Karen ini benar-benar bikin saya terpesona. Ia berteriak lantang melawan PT Sumber Alam Raya yang mengeduk emas di Sumba. 

Orang Sumba punya hak ulayat. Di tanah itu sudah ada keluarga-keluarga, suku yang memiliki. Tidak bisa sembarangan gubernur berikan hak atas tanah itu kepada orang lain. Investor juga harus kompromi, bicara dengan pemilik hak ulayat....” Jawab Karen dalam wawancara “Kabar Konservasi” bersama Green Radio. 

Fokus dan kecintaan Karen pada hutan begitu menakjubkan. Dalam tulisannya kepada kekasihnya, Husin, Karen bercerita bahwa “Pulau ini (Jawa) seperti dihukum kelebihan beban. Tiap detik penduduknya bertambah tiga orang. Tiap saat area hutannya makin berkurang.”

Padahal dulu, sampai dua abad lalu, “hutan menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup masyarakat Jawa. Konon, hutan rimba sebagai bagian dari dirinya. Ada kesatuan kosmologis antara tempat hunian dan hutan rimba.”

Selain soal ledakan penduduk yang bikin hutan kian sempit, jelas Karen lagi, “Kehancuran hutan terutama juga dipicu oleh keserakahan.” Kita juga paham bahwa keserakahan ini sebetulnya hanya ketamakan dari segelintir orang bodoh. Saya sebut “orang bodoh” karena tega menghancurkan nadi kehidupan. Hutan hilang. Ekosistem hewan juga turut punah. Tetumbuhan berkurang. Lahan tanah menjadi tandus. Sumber mata air habis. Maka, sungguh petaka, kebodohan yang oleh segelintir malah justru direstui oleh pemangku kekuasaan. Sehingga tepat kalau Karen menyimpulkan, “Kebodohan dan kekuasaan, memang kombinasi yang rawan membawa malapetaka.”

Dan, tentu saja saya juga tak rela hutan di tengah Kota Ungaran itu akan dibabat habis oleh kerakusan segelintir pebisnis dan penguasa ngawur. Saya tak membayangkan Ahimsa dan Rakai kelak hanya bisa mengenang tentang pepohonan pinus di Penggaron yang menawan. Mereka tak lagi menikmati hutan luas dengan pepohonan eksotis yang menyentuh rasa. 

Sebagaimana Karen katakan, “Karena desakan kebutuhan, hutan menjadi prioritas paling belakang untuk diselamatkan.” Tampaknya itu pula yang kini terjadi di hutan wisata Penggaron. Penebangan pohon tak diimbangi dengan program pemulihan hutan kembali. Tak ada upaya untuk memperluas hutan (kalau pun mempersempit jelas). Hutan tidak lagi terawat. Bumi perkemahan yang dulu jadi daya tarik pencinta alam, telah pupus. Hilang lenyap karismanya. Area bermain anak-anak, dekat pintu masuk hutan, kini entah ke mana.

Syahdan, beberapa kali saya mengajak para buah hati ke hutan, saat itu juga saya tergedor oleh penggundulan hutan. Pertambangan. Proyek jalan tol. Investor raksasa yang bebas melenggang untuk membabat lahan hijau. Dan sebagaimana kasus di Kendeng, akibat kelobaan pemodal yang dilindungi penguasa, masyarakat terkoyak oleh beda kepentingan: yang mendukung proyek dan yang ingin menjaga ibu bumi.

Hutan di tengah kota Ungaran itu pun begitu. Kelobaan pemodal mengancam varietas flora di situ. Penguasa mengamini. Dan kita hanya bisa menadahkan tangan ke atas: Tuhan, ternyata memang betul, manusia ini makhluk zalim, superzalim.

Walhasil, saya sangat terhibur oleh kehadiran novel Tosca itu. Selain soal gagasan perlindungan hutan yang begitu kental, saya terkesan penggambaran Husin yang ditempatkan sebagai pahlawan keluarga. Husin, seorang lelaki sekaligus petani organik, diceritakan sebagai perawat domestik. Ia menggarap pekerjaan rumah tangga, mulai dari masak air dan menyeduh teh untuk Karen. Ia selalu bangun pagi lebih awal ketimbang Karen. 

Husin yang sederhana. Perawat keutuhan kampung dari kerakusan pemodal besar. Ia tak pergi ke mana-mana. Ia tertambat di Sarongge sebagai petani yang mengusung gerakan antipestisida. Sedang Karen, sang istri, aktivis lingkungan tingkat nasional, bahkan global.

Karen yang sekali lagi merupakan anggota Ksatria Pelangi, organisasi lingkungan hidup berkelas internasional. Ia mencintai Husin dan kedua putrinya. Namun toh ia tetap memiliki kemewahan sendiri sebagai aktivis lingkungan yang tak hanya berkutat di Sarongge. Ia terlibat aksi perjuangan membebaskan hutan dari keserakahan kapitalis. Ia masuk pedalaman rimba di Sumatra menentang pembalakan. Kali lain hingga ke perbatasan negeri di Timor Leste.  

Saya ingat banget, suatu pagi, dini hari yang sungguh dingin, Karen pamit pada Husin untuk melanjutkan perjuangan, menyelamatkan bumi. Ia menumpang kapal barang Dewi Samudra menuju Pulau Kisar. 

Demikianlah Karen yang sungguh keren. Ia mobile. Berwawasan global. Pengusung ide-ide besar. Namun, tetap saja ia setia merawat cinta bersama Husin. Ya, meski  acap kali bumi Tuhan ini memang belum benar-benar surga, tapi tampak Karen menganut puisi Sapardi: “Aku ingin mencintaimu dengan cara sederhana. Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu... Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.” 

Ungaran, 10 Desember 2025

Baca juga: Dijauhkan dari Kemaruk

Posting Komentar

0 Komentar