Penjelasan Ja’far bin Abi Thalib

(27)

SESUDAH mendengar kabar bahwa sebagian besar pengikut-pengikut Muhammad Saw. hijrah ke Habasyah, pemuka-pemuka Quraisy mengadakan pertemuan kilat.

Mereka merundingkan cara membunuh Nabi Muhammad dan bagaimana mengejar kaum muslimin ke negeri Habasyah. Akhirnya, mereka mengutus Amr bin Ash dan Amrah bin Walid menyusul ke Habasyah untuk bertemu Raja Habasyah serta meminta untuk mengusir imigran ilegal dari Makkah.

Tiba di negeri Habasyah, segera menghadap raja sembari mempersembahkan barang-barang berharga dari Makkah, kedua utusan itu mengutarakan maksud kedatangan.

Panjang lebar, Amr menjelaskan bahwa kesalahan terbesar pengikut-pengikut Muhammad ini tidak suka lagi memuja dewa-dewa nenek moyang bangsa Quraisy. Mereka lebih memilih untuk menjadi pengikut Muhammad, pemuda yatim Quraisy dari Bani Hasyim yang mendaku utusan Tuhan. Amr meminta Raja agar mengusir para pengikut Muhammad, jika tak mau menemui masalah di kemudian hari sebagaimana yang terjadi di Makkah.

Salah seorang pembesar Habasyah yang turut hadir, setuju agar imigran Makkah itu diusir saja. Tetapi sang raja menolak bertindak gegabah, “Tidak begitu. Kita harus tahu dulu keadaan mereka dan duduk perkara ini secara jelas. Tidak boleh sepihak, tanpa meminta penjelasan dari mereka.”

Amr bin Ash menandaskan, “Ya Tuanku Raja, harap Tuanku ketahui bahwa pemuda yang telah menganggap dirinya pesuruh Tuhan itu sesungguhnya seorang pendusta belaka. Adapun orang-orang yang mengikutinya kebanyakan orang-orang bodoh, sengsara, dan tidak seorang pembesar pun yang bersedia mengikutinya. Maka, mohon dengan hormat, sudi kiranya menyerahkan mereka kepada hamba berdua, untuk kami bawa kembali ke Makkah.”

“Ya Tuanku Raja,” sahut Pendeta Istana yang turut menghadap Raja Habasyah. “Hamba setuju dengan permohonan Tuan-Tuan utusan Quraisy ini. Kita serahkan saja orang-orang mereka itu kepada mereka berdua ini, yang tentunya lebih mengetahui keadaan sebenarnya mereka.”

Raja bertitah, “Tidak! Tidak boleh ada seorang pun yang bernaung di bawah pemerintahanku, tanpa diselidiki benar-benar. Kalau mereka terbukti melanggar kebenaran, tentu mereka kami serahkan. Kalau tidak demikian, biarlah mereka tetap berlindung di sini dengan aman dan sejahtera.”

Singkat cerita, rombongan kaum muslimin yang diiring prajurit-prajurit menghadap raja di istana. Telah menunggu di istana kedua utusan Makkah dan pendeta-pendeta Nasrani Habasyah. Ja’far bin Abi Thalib, selaku ketua rombongan, sebelumnya telah meminta kaum muslimin agar tetap tenang dan menyerahkan segala kemungkinan kepadanya, tidak boleh ada yang saling sahut tak jelas.

Setelah kaum muslimin berada di hadapan raja, mereka tidak bersembah jongkok kepada raja, tetapi tetap berdiri tegap sambil mengucapkan salam penghormatan ala Islam yang diajarkan Baginda Muhammad.

Amr bin Ash menghaturkan sembah dan berkata, “Coba lihat tingkah mereka, Tuanku Raja. Mereka tidak mempunyai kesopanan sedikit pun dan tak tahu tata cara penghormatan kepada seorang raja seperti Tuanku ini.”

Raja Habasyah tetap diam, sambil terus mengawasi satu per satu kaum muslimin. Dengan melalui juru bicara, sang raja bertanya, “Mengapa kalian semua tidak bersujud kepada raja?”

“Bahwasanya kami tidak akan bersujud melainkan kepada Allah yang Mahamulia dan Mahatinggi, Tuanku.” Tegas Ja’far.

“Apa yang menghalangi kalian jika bersujud kepadaku dan kalian menyampaikan penghormatan dengan penghormatan yang telah biasa dihormatkan kepadaku?” tanya raja.

Ja’far menjawab dengan tenang tapi tegas, “Karena bahwasanya Allah telah mengutus seorang utusan di antara kami dan utusan itu memberi perintah kepada kami bahwa kami tidak diperkenankan bersujud selain kepada Allah, dan utusan itu memberitakan cara memberi penghormatan ahli surga itu sama. Maka, kami memberi hormat kepada Tuan dengan cara penghormatan yang telah berlaku di antara kami satu sama lain.”

Amr bin Ash menghaturkan sembah dan menyanggah penjelasan Ja’far. Panjang lebar lagilah ia berkata.

“Ya Tuanku Raja, sekali lagi kami ingin menjelaskan sesungguhnya mereka itu akan mengganggu keamanan negeri Tuanku ini, karena mereka ini orang-orang bodoh. Mereka selalu menimbulkan perselisihan, pertengkaran, dan permusuhan di antara kami di Makkah, karena mereka tidak mau mengikuti agama nenek moyang. Mereka menganut agama baru yang didatangkan oleh seorang muda pendusta lagi papa sengsara yang telah mengaku menjadi nabi dan rasul Allah. 

“Agama itu sama sekali belum pernah diketahui dan dipeluk oleh nenek moyang mereka. Di kota Makkah, tidak ada orang yang menganut agama baru itu melainkan orang-orang yang tidak mempunyai pikiran, orang-orang tolol, orang-orang yang papa sengsara dan budak belian. 

“Hamba berdua diutus oleh pembesar-pembesar dan ketua-ketua mereka itu juga supaya menghadap Tuanku untuk memohon agar menyerahkan mereka kepada kami. Pembesar-pembesar kami ingin supaya negeri Tuanku terus-menerus dalam keadaan aman dan sejahtera, sebagaimana yang sudah-sudah, dan jangan sampai timbul keonaran yang disebabkan oleh mereka. 

“Tuanku Raja, pembesar-pembesar kami dan ketua-ketua mereka itu sudah tentu lebih mengetahui kejahatan mereka.”

Mendengar hasutan dari dua utusan pemuka Quraisy, Raja Habasyah bertanya kepada kaum muslimin, “Agama apakah yang di dalamnya menceraiberaikan persaudaraan kaum kalian, dan mengapa kalian tidak menganut agamaku dan tidak pula memeluk salah satu agama para raja?”

Ja’far menjelaskan, “Wahai Tuanku, kami semula adalah golongan orang-orang dalam kebodohan, menyembah berhala, memakan bangkai, gemar melakukan kejahatan, gemar memutus persaudaraan, jahat kepada tetangga, yang kuat makan yang lemah, dan demikianlah keadaan kami sehingga Allah membangkitkan kepada kami seorang utusan sebagaimana telah dibangkitkan oleh Allah beberapa orang utusan kepada orang-orang sebelum kami.

“Utusan itu dan bangsa kami yang masing-masing mengetahu silsilah, kebenaran, kepercayaan dan terpeliharanya dari semua perbuatan tak senonoh. Ia berseru kepada kami supaya kami ingat kepada Allah Yang Mahatinggi, supaya kami mengesakan-Nya dan menyembah kepada-Nya, dan supaya kami melepaskan apa-apa yang disembah oleh orang-orang tua kami dahulu, sembahan yang selain dari-Nya, yaitu yang terdiri atas batu, arca, dan sebagainya.

“Ia sekali lagi memerintahkan kepada kami supaya kami menyembah kepada Allah Yang Maha Esa, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan berpuasa. Ia juga memerintahkan kepada kami supaya kami berkata yang benar, menunaikan keprcayaan orang lain, mengekalkan persaudaraan, berbuat baik kepada tetangga, memelihara diri dari perbuatan yang bakal menumpahkan darah. Ia melarang kami dari semua perbuatan yang jelek dan dilarang memfitnah perempuan yang jujur kelakuannya.

“Oleh karena itu kami lalu membenarkannya dan kami percaya kepadanya serta kami selalu mengikuti apa-apa yang telah didatangkan olehnya. Akan tetapi, bangsa kami lalu memusuhi kami supaya kembali menyembah kepada berhala dan membolehkan semua perbuatan yang keji dan yang jahat.

“Sesudah itu, mereka memaksa dan menganiaya serta menyempitkan kehidupan kami, khususnya mereka senantiasa berdaya upaya memisahkan kami dari agama kami, maka kami keluar ke negeri Tuan dan kami memilih, dan bukan orang yang lain, serta kami ingin di bawah perlindungan Tuan. Kami selalu mengharapkan bahwa kami jangan sampai teraniaya oleh seorang pun di hadapan Tuan, wahai Tuanku Raja!”

Demikian penjelasan Ja’far bin Abi Thalib. []

Baca juga: Ke Habasyah Lagi

Posting Komentar

0 Komentar