BISA jadi kita akan bertanya, “Kenapa Umar hijrah secara terang-terangan sembari menantang kaum musyrik tanpa rasa takut dan gentar sedikit pun, sementara Rasulullah hijrah sembunyi-sembunyi dan sangat mewaspadai keselamatan dirinya? Mungkinkah Umar lebih berani ketimbang Baginda Rasul?”
Tindakan Umar bin Khattab, atau siapa pun Muslim selain Rasulullah, mesti dianggap sebagai tindakan pribadi yang tidak berimplikasi pada penetapan hukum agama. Dia bisa memilih jalan, sarana, dan cara apa saja sesukanya sesuai dengan keberanian dan keimanannya kepada Allah.
Namun, Baginda Rasulullah berbeda. Beliau adalah pembuat syariat. Artinya, semua tindakannya yang berhubungan dengan agama akan dianggap sebagai syariat bagi umatnya. Maka, sunnah Rasulullah, yang menjadi sumber kedua hukum agama, merupakan gabungan dari perkataan, perbuatan, dan penetapannya atas perbuatan sahabat.
Andai Baginda Rasul bertindak seperti Umar, orang pasti mengira bahwa tindakan beliau itu yang pas untuk diikuti. Sehingga, yang bertindak hati-hati dan sembunyi-sembunyi demi menghindari musuh akan dicap salah dan tidak sesuai sunnah. Padahal, Allah menegakkan syariat-Nya atas prinsip kausalitas. Jika ada satu fenomena terjadi, bisa dipastikan bahwa itu disebabkan oleh Allah dan kehendak-Nya.
Atas dasar itu, Baginda Rasul memilih menggunakan semua cara dan sarana lahiriah yang dapat dicerna akal sehat. Bahkan, tidak ada satu pun sarana yang beliau pilih kecuali digunakan secara efektif dan efisien. Dalam proses hijrah, misalnya, Baginda Rasul memerintahkan Ali bin Abi Thalib supaya menggantikannya tidur di ranjang sekaligus memakai selimut yang biasa beliau pakai, lalu menyewa dan meminta bantuan seorang musyrik—setelah dipastikan kejujurannya—untuk menjadi penunjuk jalan rahasia yang takkan terpikirkan musuh, kemudian diam-diam bersembunyi di Gua Tsur selama tiga hari, lalu mengambil langkah-langkah lahiriah lainnya yang masuk akal. Semua itu menegaskan, keimanan kepada Allah tidak menafikan penggunaan sebab-sebab lahiriah yang telah dikehendaki dan ditetapkan Allah lewat kebijaksanaan agung-Nya.
Baginda Rasulullah hijrah secara sembunyi-sembunyi bukan karena khawatir atas keselamatan dirinya atau takut ditangkap musuh sebelum tiba Mainah. Buktinya, setelah Baginda Rasul menempuh semua sebab lahiriah, lalu kaum musyrik tiba di sekitar gua tempat mereka bersembunyi—yang seandainya seorang dari mereka melihat ke bawah maka pasti akan melihat Rasulullah, sehingga Abu Bakar dihinggapi rasa takut yang hebat—sang Baginda tetap bersikap tenang dan menenangkan sahabatnya dengan berkata, “Wahai Abu Bakar, menurutmu, apa yang akan terjadi dengan dua orang yang ketiganya adalah Allah?”
Padahal, bila Rasulullah hanya mengandalkan semua langkah lahiriah dan kehati-hatiannya dalam proses hijrah itu, beliau pasti juga akan merasa takut dan cemas ketika menghadapi situasi seperti itu. Namun, nyatanya tidak!
Dengan demikian, semua langkah Baginda Rasulullah dalam perjalanan hijrah adalah “tugas legislatif” yang mesti dijalankan. Ketika itu sudah dilaksanakan, Rasulullah tinggal mengaitkan hatinya kepada Allah dan bersandar hanya pada petunjuk dan pertolongan-Nya. Maka, setiap Muslim harus menyadari bahwa mereka dilarang menyandarkan segala sesuatu kecuali kepada Allah, tanpa mengabaikan prinsip kausalitas.
Sebagai bukti, ketika Baginda Rasul hampir disusul Suraqah yang berniat membunuhnya, beliau tidak jerih sedikit pun. Beliau justru sibuk melafalkan bacaan dan bermunajat kepada Allah. Sebab, sang Baginda tahu, Allah yang memerintahkannya berhijrah pasti akan melindunginya dari kejahatan setiap orang yang hendak menghalangi hijrahnya.
Kemudian tindakan Ali bin Abi Thalib yang mewakili Baginda Rasul mengembalikan semua barang titipan kepada para pemiliknya menjadi bukti gamblang atas sikap mendua orang-orang Quraisy terhadap Baginda Muhammad. Mereka mendustakan beliau dan menuduhnya sebagai penyihir atau penipu. Akan tetapi, pada saat yang sama, mereka tidak menemukan orang lain yang lebih bisa dipercaya selain beliau. Mereka memercayakan dan menitipkan semua barang berharga milik mereka kepadanya. Ini membuktikan pula, kekafiran mereka bukan karena meragukan kejujuran beliau, melainkan karena angkuh dan enggan menerima kebenaran yang beliau sampaikan, selain juga karena takut kehilangan jabatan dan kekuasaan yang telah lama mereka nikmati.
Kita juga mesti belajar dari sosok Abdullah bin Abu Bakar yang selama beberapa hari rela bolak-balik dari Gua Tsur ke Makkah untuk menghimpun semua informasi dan kemudian melaporkannya kepada Baginda Rasulullah.
Kita juga bisa melihat sosok Asma, saudara perempuan Abdullah, yang bersungguh-sungguh ikut menyiapkan bekal dan kendaraan untuk perjalanan hijrah mereka.
Keduanya merupakan gambaran sikap yang semestinya kita miliki hari ini, dalam menerapkan prinsip-prinsip Islam dan membangun komunitas Islam. Tidaklah cukup seseorang beribadah saja dan sibuk mengurusi diri sendiri. Namun, dia juga dituntut mengerahkan seluruh kemampuan di jalan Islam.
Berikutnya, upaya Suraqah untuk mengejar dan menangkap Baginda Rasul, tetapi kemudian kaki kudanya terperosok hingga dua kali. Kita mesti meyakini bahwa itu merupakan mukjizat Rasulullah.
Mukjizat beliau sebelumnya, beliau berhasil keluar dari rumahnya tanpa diketahui kaum musyrik yang sudah mengepung rumah dan berjaga-jaga di setiap sudut. Mereka semua tertidur sehingga tak seorang pun melihatnya keluar. Bahkan, kenistaan mereka—yang selalu berupaya mengganggu Rasulullah—semakin sempurna dengan debu yang ditaburkan Baginda Rasul saat keluar rumah sambil membaca ayat, “Dan Kami adakan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding (pula), dan Kami tutup mata mereka sehingga mereka tidak dapat melihat” (Yasin: 9).
Mukjizat ini menjadi semacam maklumat bagi siapa pun saat itu dan hari ini, bahwa penindasan dan penyiksaan yang dialami Baginda Rasul dan para sahabat dalam perjuangan membela agama, tidak serta-merta mengindikasikan Allah menelantarkan mereka dan jauh dari kemenangan.
Demikian. []
Baca juga: Makna Hijrah

0 Komentar