Mimpi Atikah

TIGA malam sebelum kedatangan Dhamdham di Makkah, Atikah binti Abdul Muthalib bermimpi mengerikan.

Dia pun pergi menemui saudaranya, Abbas bin Abdul Muthalib, “Saudaraku, demi Allah, semalam aku mimpi menakutkan. Aku khawatir keburukan dan musibah akan menimpa kaummu. Maka rahasiakanlah apa yang aku katakan padamu ini.”

“Mimpi apakah yang engkau alami itu?” tanya Abbas.

“Dalam mimpiku aku melihat seorang pengendara datang dengan menunggang untanya, sampai kemudian dia berdiri di sebuah dataran, lalu dia berteriak dengan suara lantang, ‘ketahuilah wahai orang-orang Ghudar, berangkatlah kalian ke tempat kematian kalian dalam waktu tiga hari.’

“Lalu kulihat orang-orang berkumpul pada orang itu. Orang itu kemudian masuk ke dalam masjid dengan diikuti oleh banyak orang. Ketika mereka berada di sekelilingnya, tiba-tiba orang itu berdiri di atas untanya di depan Ka’bah, lalu dia berteriak dengan suara yang sama lantangnya, ‘ketahuilah wahai orang-orang Ghudar, berangkatlah kalian ke tempat kematian kalian dalam waktu tiga hari.’

“Kemudian musafir tersebut berdiri di atas untanya di atas Abu Qubais (nama sebuh gunung di Makkah), lalu dia berteriak dengan teriakan yang sama lantangnya. Orang itu lalu mengambil sebongkah batu besar kemudian melemparkannya. Batu besar itu meluncur cepat ke bawah, dan ketika batu itu sampai di bawah gunung, batu itu pun hancur menjadi bongkahan kecil. Saat itu tidak ada satu pun rumah di Makkah yang tidak diterjang pecahan batu besar itu.”

Abbas berkomentar, “Demi Allah, inilah mimpi yang benar. Aku berpesan padamu untuk merahasiakan mimpimu itu, dan jangan sekali-kali engkau menceritakannya kepada siapa pun!”

Setelah itu Abbas bin Abdul Muthalib keluar dan bertemu dengan Walid bin Utbah bin Rabi’ah yang menjadi sahabat karibnya. Abbas pun menceritakan mimpi saudarinya kepada Walid seraya memintanya agar merahasiakan kepada siapa pun. 

Akan tetapi ternyata Walid lalu menceritakan mimpi tersebut kepada ayahnya, Utbah bin Rabi’ah. Dan demikianlah akhirnya berita tentang mimpi tersebut menyebar ke seantero Makkah dan menjadi bahan pembicaraan utama di kalangan Quraisy di tempat-tempat mereka berkumpul.

Setelah itu pagi-pagi, Abbas berangkat hendak thawaf ke Baitullah. Saat itu Abu Jahal sedang berkumpul duduk-duduk bersama segerombolan orang musyrik Quraisy membincangkan mimpi Atikah.

Ketika Abu Jahal melihat Abbas, ia meminta, “Hai Abul Fadhl, apabila engkau telah menyelesaikan thawafmu, lekaslah ke tempat kami!”

Seusai thawaf, Abbas datang dan duduk bersama mereka. Abu Jahal berkata, “Wahai Bani Abdul Muthalib, sejak kapan ada nabi perempuan di tengah kalian?”

“Apa maksudmu?” tanya Abbas.

“Mimpi yang dialami Atikah.” Jawab Abu Jahal. 

“Apakah gerangan mimpinya?” tanya Abbas pura-pura tidak tahu.

“Wahai Bani Abdul Muthalib, bukankah kalian senang ada seorang laki-laki di antara kalian yang mengaku sebagai seorang nabi, kemudian ada perempuan kalian yang juga mengaku sebagai nabi? Atikah mengaku bahwa dalam mimpinya ada orang yang berkata, ‘Pergilah kalian dalam tiga hari!’ Jadi, kami akan menunggu apa yang akan terjadi pada kalian dalam jangka waktu tiga hari ini. Apabila apa yang dikatakan Atikah benar, maka berarti hal itu benar-benar akan terjadi. Tapi jika setelah tiga hari tidak terjadi apa-apa, maka kami akan mencatat bahwa kalian adalah warga Baitullah yang paling pendusta di seluruh Arab.”

Abbas tak menggubris. Di matanya, Abu Jahal bukan apa-apanya. Maka, ia mengingkari apa yang dikatakan Abu Jahal. Ia berpura-pura tak mengerti soal mimpi Atikah. Detik kemudian mereka pun bubar.

Pada sore harinya, tidak seorang perempuan Bani Muthalib yang tidak datang menemui Abbas. “Mengapa engkau biarkan saja si fasik kotor itu menyerang laki-laki kita? Lalu dia hina Wanita-wanita kita, sementara engkau hanya mendengarkan ucapannya, tetapi engkau tidak kesal atas apa yang engkau dengar itu.”

“Demi Allah,” jawab Abbas, “aku sudah melakukan itu semua. Abu Jahal itu bukan apa-apa di mataku, dan demi Allah aku bisa melakukan apa saja terhadapnya. Kalau nanti dia mengulangi perbuatannya, aku pasti akan membungkamnya.”

Pada hari ketiga terhitung sejak mimpi Atikah, Abbas keluar rumah dengan amarah yang meluap. Abbas masuk masjid, dan dilihatnya Abu Jahal ada di situ. Ia berjalan ke arah Abu Jahal seraya bersiap menyerangnya, bila Abu Jahal mengulang kata-kata keji terhadap Bani Muthalib.

Tetapi tiba-tiba saja Abu Jahal bangkit lalu buru-buru keluar masjid. “Ada apa dengan orang yang Allah kutuk ini? Apakah dia takut aku akan memakinya?” gumam Abbas.

Ternyata Abu Jahal saat itu telah mendengar sesuatu yang tidak Abbas dengar, yaitu suara Dhamdham bin Amr al-Ghifari yang berteriak di tengah lembah sambil berdiri di atas untanya. Ia berteriak, “Wahai orang-orang Quraisy, unta, unta! Harta kekayaan kalian yang dibawa Abu Sufyan dihadang oleh Muhammad bersama para sahabatnya. Aku kira kalian tidak akan bisa menyelamatkannya. Tolong! Tolong!” 

Abbas yang seketika itu juga turut sibuk dengan apa yang diteriakkan Dhamdham, sehingga tak memedulikan lagi Abu Jahal.

Orang-orang Quraisy bergegas melakukan persiapan. Mereka memastikan diri masing-masing bahwa Baginda Muhammad dan para sahabat tidak akan bisa merampas harta kekayaan yang sedang dibawa Abu Sufyan beserta rombongannya. 

Pada saat itu, orang-orang Quraisy terbagi menjadi dua golongan. Ada orang-orang yang berangkat sendiri untuk berperang, dan ada orang-orang yang mengirim seseorang untuk menggantikan dirinya berperang. Orang-orang Quraisy telah bersepakat untuk berperang, tanpa ada seorang pun di antara para pembesar mereka yang menolak ikut serta, selain Abu Lahab. Ia tidak ikut berangkat berperang dan hanya mengutus Al-Ashi bin Hisyam. 

Demikianlah, singkatnya mereka bersiap menuju Badar, perang melawan Muhammad dan sahabat-sahabatnya. [] 

Baca juga: Ibnu Ubay

Posting Komentar

0 Komentar