[xxxix]
TIDURNYA hati. Begitulah kira-kira umat Islam hari ini. Seakan kita lupa bahwa Islam adalah hati dan nurani. Bahwa setiap sesuatu dalam Islam bergantung apa yang dikatakan hati.
Kita cermati, betapa iman adalah keimanan hati bukan keimanan lidah. Sehingga, amal perbuatan dalam Islam berdasarkan niat. Dan niat merupakan pekerjaan hati.
Kita berniat salat, puasa, dan haji, ukurannya adalah niat. Baru kemudian terkonfirmasi lewat ucapan, dan mewujud jadi perbuatan.
Inilah rahasia yang barangkali tidak begitu diperhatikan bahwa Islam yang sesungguhnya adalah nurani yang terjaga. Nurani yang terjaga niscaya mengingat Allah Swt. Dan itulah kekuatan umat Islam yang sebenarnya: hati yang hidup, nurani yang terjaga, dan jiwa yang bersih.
Kita baca Perang Ahzab, misalnya, ketika orang-orang Quraisy, Ghathafan, dan Asad dan kabilah-kabilah lainnya berkumpul dan beriringan hendak menghabisi umat Islam Madinah.
Rasul Saw. mengajak orang-orang Madinah untuk menggali parit. Mereka sadar bahwa sebagian sisi kota Madinah dibentengi oleh rumah-rumah. Dalam hal ini yang perlu dilakukan adalah membuat rapat rumah-rumah tersebut yaitu dengan cara menutup ruangan-ruangan yang kosong dengan parit.
Lantas pasukan besar yang merangsek ke Madinah sama sekali tak terlintas dengan kenyataan parit. Padahal kekuatan Islam bukan pada paritnya, melainkan kesatuan umat yang berada di belakang parit.
Mereka adalah umat yang memiliki kesadaran. Rasulullah Saw. berdiri di posnya di samping Gunung Sala’ sembari mengawasi pasukan kafir dan memperingatkan pasukan muslim. Baginda Rasul hampir tidak pernah tidur malam.
Orang-orang muslim dibagi dalam kelompok-kelompok, yang bersiaga di belakang parit. Apabila ada bagian parit yang perlu diperluas, hal itu dilakukan malam hari. Jika ada sekelompok musuh yang mencoba meloncati parit dengan kuda, pasukan muslim siap mengadang.
Kemudian bertiuplah angin yang keras, udara menjadi sangat dingin dan musuh-musuh menderita karenanya. Akan tetapi, kaum mukmin hampir tidak merasakan hal itu karena hati mereka betul-betul terjaga untuk mengerjakan pekerjaan yang besar.
Dua minggu lebih di hadapan parit, Abu Sufyan menyadari bahwa menembus Madinah adalah sesuatu yang mustahil. Orang-orang muslim itu merupakan umat yang hidup demi Allah Swt. Sementara sekutunya dari Bani Ghathafan tidak ingin melakukan peperangan yang panjang tanpa hasil yang jelas.
Abu Sufyan berasa sendirian dengan beberapa orang Quraisy. Sebelum menyingkir kembali ke Makkah, ia menulis surat kepada Rasulullah. Surat ini dikirim melalui Usamah Al-Jasyami.
“Dengan namamu aku bersumpah demi Latta dan ‘Uzza. Sungguh aku telah berangkat bersama pasukanku untuk memerangimu. Kami tidak ingin kembali kepadamu untuk selamanya sampai kami berhasil membasmimu hingga ke akar-akarnya.
“Namun aku melihatmu enggan berhadapan dengan kami, kemudian kau membuat parit-parit seperti ini.
“Aduhai, siapakah yang mengajarimu seperti ini? Jika kami sampai kembali dari kalian, maka hari kalian seperti hari Uhud bagi kami, akan banyak wanita menjadi janda.”
Kemudian Rasulullah memanggil Ubay bin Ka’ab dan mendiktekannya. “Dari Muhammad, utusan Allah, kepada Abu Sufyan bin Harb, Amma ba’du. Sejak dari dulu kau selalu tertipu, terhadap Allah, oleh banyak tipuan.
“Apakah kau tidak ingat bahwa kau pernah memerangi kami dengan pasukanmu dan kau tidak ingin kembali hingga berhasil menghancurkan kami hinga ke akar-akarnya, namun perkara Allah menghalang-halangi antara dirimu dan keinginanmu itu.
“Sebaliknya, Allah menjadikan kemenangan itu berada pada pihak kami, hingga nama Latta dan Uzza tidak disebut-sebut lagi.
“Adapun perkataanmu, siapa yang mengajariku membuat parit?
“Maka, sesungguhnya Allah telah mengilhamkan itu kepadaku karena kebencianmu dan kebencian para pengikutmu kepada-Nya. Sungguh akan datang atasmu suatu hari di mana kau akan membelaku di ar-Rah, dan sungguh akan datang atasmu suatu hari di mana aku menghancurkan Latta, Uzza, Isaf, Na’ilah, dan Hubal. Aku peringatkan dirimu dengan hal itu.” (Al-Maghazi Al-Waqidi jilid 1).
Hal itulah yang membuat umat memiliki hati yang sadar dan nurani yang terjaga. Di tengah-tengah Perang Khandaq yang berlangsung sekitar 20 hari, tidak seorang pun dari kelompok-kelompok kaum muslim merasa tenang.
Mereka semua saling bantu. Hati yang sadar membuka benak yang tertutup. Sehingga setiap dari mereka ini berkreasi dan melaksanakan kreasinya. Rasulullah sebagai manusia dengan nurani yang sangat peka berada di tengah-tengah mereka, menenangkan dan mengarahkan.
Hal tersebut menunjukkan betapa poros kerja dalam risalah yang dibawa Baginda Nabi adalah hati dan nurani. Dan sesungguhnya kekuatan umat tidak akan tampak kecuali jika semua orang Islam satu hati dan satu nurani.
Maka, ide pembuatan parit itu adalah untuk menghalangi antara orang-orang kafir dan penerobosan Madinah. Dan sesungguhnya kaum kafir itu bisa menembus parit, tetapi pasukan gabungan itu tak sadar bahwa kekuatan yang sebenarnya terdapat pada umat Islam yang di belakang parit.
Ya, kekuatan iman yang tak lain adalah kesatuan hati dan nurani. []
Ungaran, 18 Desember 2025
Baca juga: Kewajiban Shalat

0 Komentar