KETIKA Rasulullah Saw. tiba di Madinah, Abdullah bin Ubay Al-Aufi, salah seorang warga Bani Al-Hubla, merupakan tokoh berpengaruh di Madinah. Tak seorang pun dari kaumnya yang menyelisihi kemuliaannya. Orang-orang Aus dan Khazraj tidak pernah sepakat menunjuk siapa pun selain Abdullah bin Ubay sampai akhirnya Islam datang mengubah semuanya.
Selain Abdullah bin Ubay, di kalangan Aus terdapat seorang tokoh lain yang juga dihormati dan dipatuhi, yakni Abu Amir bin Shaifi, warga Bani Dhubai’ah.
Abu Amir ini tetap mempertahankan kekafirannya dan berseberangan dengan kaumnya ketika berhimpun di dalam Islam. Abu Amir memilih pergi bersama belasan orang dari kaumnya menuju Makkah, meninggalkan Islam dan Baginda Rasul.
Sebelum berangkat ke Makkah, ia menemui Rasulullah saat beliau tiba di Madinah. “Agama apakah yang engkau sampaikan?” tanyanya kemudian.
“Yang aku sampaikan adalah ajaran hanifiyyah, ajaran Ibrahim.” Jawab beliau.
“Aku juga menganut agama itu.” Kata Abu Amir.
“Sesungguhnya engkau tidak menganut agama Ibrahim.” Tukas Baginda Nabi.
“Sungguh, aku menganut agama Ibrahim.” Jawabnya. “Wahai Muhammad, sesungguhnya engkau telah memasukkan hal-hal baru ke dalam ajaran hanifiyyah yang bukan merupakan bagian darinya.”
“Aku tidak pernah melakukan itu. Aku datang dengan membawa agama itu dalam keadaan putih murni.” Jawab Nabi.
“Seorang pendusta pasti akan Allah matikan dalam keadaan terusir, terasing, dalam kesendirian.” Ucap Abu Amir.
“Betul, barangsiapa yang berdusta, Allah akan melakukan semua itu padanya.” Sabda Baginda Muhammad.
Abu Amir bin Shaifi pun lantas pergi meninggalkan Madinah, disertai Alqamah bin Ulatsah, dan Kinanah bin Abdu Yalil. Singkat cerita, ketika Baginda Rasul menaklukan Makkah, Abu Amir berpindah ke Thaif. Ketika orang-orang Thaif memeluk Islam, Abu Amir berpindah ke Syam. Dan di sanalah kelak ia meninggal dalam keadaan terusir, terasing, dan sendirian.
Kemudian Alqamah dan Kinanah saling memperebutkan harta warisan Ibnu Shaifi, lalu mereka mengadukan perkara ini kepada Kaisar Romawi.
“Orang mukim mewarisi orang mukim, dan orang nomaden mewarisi orang nomaden.” Kata Kaisar. Sehingga, Kinanahlah yang mewarisi harta Ibnu Shaifi, bukan Alqamah.
Lain cerita Abdullah bin Ubay. Kaumnya telah merangkai manik-manik untuk disematkan padanya dan mengangkatnya sebagai raja. Di tengah situasi itulah Allah mengutus Muhammad kepada mereka. Sehingga ketika kaumnya berpaling darinya untuk memilih Islam, Ibnu Ubay pun merasa kesal dan menganggap Muhammad telah merampas tahtanya. Dan ketika dia melihat kaumnya memilih Islam, Abdullah bin Ubay ikut-ikutan masuk Islam dengan tetap menyimpan dendam kepada sang Baginda.
Nah, suatu saat, Rasulullah berkendara mendatangi Sa’d bin Ubadah yang tengah sakit. Baginda Rasul melintasi benteng kecil di mana Abdullah bin Ubay sedang bernaung di bawahnya. Saat itu, Abdullah tengah dikelilingi beberapa orang dari kaumnya.
Melihat itu, beliau merasa sungkan melewatinya dengan tetap mengendarai keledai. Maka, beliau turun dan mengucapkan salam serta duduk sejenak di hadapan Ibnu Ubay. Beliau membacakan beberapa ayat, seraya menyeru dan mengingatkannya tentang Allah.
Setelah menyimak penuturan beliau, Abdullah bin Ubay berkata, “Wahai Muhammad, sesungguhnya tidak ada orang yang lebih baik perkataannya dari perkataanmu. Apabila yang engkau katakan benar adanya, duduk sajalah di rumahmu. Siapa pun yang datang menemuimu, bicaralah engkau dengannya. Sedang orang yang tidak datang menemuimu, maka janganlah engkau susahkan dia, sehingga engkau tidak usah mendatanginya untuk mengatakan sesuatu yang orang itu tidak menyukainya.”
Baginda Rasul kemudian beranjak dari tempat tersebut dan pergi melanjutkan perjalanan menuju rumah Sa’d bin Ubadah. Di wajah beliau tampak kekesalan terhadap kata-kata Ibnu Ubay.
Sesampai di tempat Sa’d bin Ubadah, ia berujar, “Demi Allah, wahai Rasulullah, sungguh aku melihat sesuatu di wajahmu. Sepertinya engkau baru saja mendengar sesuatu hal yang tidak engkau sukai?”
“Betul.” Jawab beliau. Lalu beliau menceritakan pertemuannya dengan Abdullah bin Ubay dan apa yang dikatakannya.
“Wahai Rasulullah,” kata Sa’d, “bersikaplah lembut terhadap Ibnu Ubay. Demi Allah, sesungguhnya ketika Allah mengirim engkau kepada kami, saat itu kami sudah mempersiapkan mahkota yang akan kami berikan padanya sebagai pemimpin. Demi Allah Ibnu Ubay selalu menganggap bahwa engkau telah merampas tahta itu darinya!”
Demikianlah! []
Baca juga: Abdullah bin Salam

0 Komentar