Sikap Politik Ummu Salamah

KITA bisa membacanya, bahwa pernikahan Baginda Nabi dengan Ummu Salamah pada Syawwal 4 H, itu merupakan upaya meredam kebencian keluarga besar suku Makhzum, suku Ummu Salamah. 

Sebab, Bani Makhzum adalah salah satu keluarga besar yang terhormat, dan memegang panji-panji Kafir Quraisy dalam menghadapi Rasulullah Saw. Tapi, terlepas motif beliau, Ummu Salamah merasa betapa Baginda merupakan sosok istimewa bagi dirinya.  

Ummu Salamah mengenang saat-saat pinangan dari Baginda Muhammad dengan menceritakan bahwa satu ketika mendiang suaminya, Abu Salamah (yang juga merupakan sepupunya sendiri), kembali ke rumah setelah bertemu Rasulullah. 

Baginda Rasul bersabda, “Tidak seorang pun ditimpa musibah, lalu saat itu dia mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi rajiun, dan berdoa ‘Wahai Tuhan, anugerahilah aku ganjaran dalam musibah yang menimpaku dan gantikanlah yang lebih baik dari (apa yang hilang ini) kecuali Allah memberinya ganjaran dan menggantikannya yang lebih baik’.” 

“Itu terus kuingat,” kenang Ummu Salamah, “maka ketika Abu Salamah wafat aku mengamalkan pesan Nabi itu, tetapi beberapa saat kemudian aku sadar dan berkata dalam hatiku, siapakah yang lebih baik untukku daripada Abu Salamah?”

“Ketika Nabi Saw. datang melamarku,” lanjut Ummu Salamah, “aku menyampaikan kepada beliau bahwa aku seorang pencemburu, aku takut melakukan sesuatu yang mengakibatkan aku disiksa Allah, apalagi aku sudah berumur dan mempunyai banyak anak.”

“Allah akan menghilangkan kecemburuan itu. Adapun soal usia, Aku pun telah mengalami serupa dengan yang Engkau alami. Sedang soal anak-anak, anak-anakmu adalah anak-anakku juga.” Sabda Baginda Nabi di hadapan Ummu Salamah.

Ummu Salamah pun menerima pinangan Nabi. Ummu Salamah meminta anaknya yang tertua, Salamah, untuk menikahkannya dengan Baginda Rasul.

“Demikianlah Allah telah menggantikan untukku yang lebih baik daripada Abu Salamah, yakni Rasulullah Saw.” kenang Ummu Salamah.

Nah, Ummu Salamah merupakan istri kelima Baginda Nabi. Ia dikenal sangat cantik. Aisyah dan Hafshah berusaha menutupi kecemburuan mereka terhadapnya. Setelah Aisyah melihatnya pertama kali, dia berkomentar kepada Hafshah, “Demi Allah, dia melebihi apa yang dibicarakan orang tentang dirinya.”

Hafshah menghibur Aisyah sekaligus menghibur dirinya sendiri, “Tapi dia telah berusia.” Dan memang, saat itu Ummu Salamah telah berusia 28 tahun. Ada yang meriwayatkan 34 tahun. Tapi yang jelas, wajah Ummu Salamah benar-benar terus terlihat segar dan muda, yang konon berkat kepercikan wudhu Rasulullah.

Selain kecantikan lahiriah, Ummu Salamah terkenal memiliki kecantikan batiniah. Ia sangat dermawan. Juga merupakan salah seorang istri Nabi yang sangat cerdas. Kita ingat dalam peristiwa Hudaibiyah, ketika beliau kesal atas sikap sahabat-sahabat. Beliau menyampaikan kekesalannya kepada Ummu Salamah yang ikut dalam rombongan. 

Sang istri berkata, “Keluarlah sehingga mereka melihatmu, tetapi jangan bercakap kepada seorang pun, tetapi sembelihlah untamu, dan panggil tukang cukurmu untuk mencukurmu.”

Dan walhasil, seluruh rombongan sahabat mengikuti langkah beliau berkat saran dari Ummu Salamah tersebut.

Kemudian, sepeninggal Baginda Muhammad, saat terjadi kekacauan dalam bentuk penentangan sekelompok umat Islam terhadap pemilihan Sayidina Ali sebagai khalifah keempat, Aisyah termasuk kelompok yang tidak setuju, bahkan memimpin pasukan untuk menyerang Sayidina Ali. 

Di sini Ummu Salamah menampakkan sikap politik, bahkan keberagamaannya. Dia datang menemui Ali bersama putranya, Umar, dan menyampaikan, “Wahai Amir al-Mukminin, seandainya bukan karena kedurhakaan kepada Allah, dan seandainya bukan karena aku mengetahui bahwa Engkau tidak akan setuju, maka pastilah aku akan berjuang mendampingimu. Tetapi ini anakku, Umar, demi Allah dia lebih kusayangi dari diriku. Dia akan keluar berjuang bersamamu dan mengikuti barisanmu.”

Ummu Salamah kemudian pergi menemui Aisyah dan menegurnya, “Apa yang Anda maksudkan dengan keluar menghadapi Ali ini? Seandainya aku melakukan apa yang Anda lakukan, lalu dikatakan kepadaku di Hari Kemudian, silakan masuk ke surga al-Firdaus, seandainya demikian, aku tetap akan malu menemui Muhammad, karena aku telah membuka hijab yang dia tetapkan atas kita.”

Demikianlah Ummu Salamah. Dia wafat tahun 62 H, setelah gugurnya Sayidina Husain di Karbala, Irak. [] 

Baca juga: Ummu Salamah 

Posting Komentar

0 Komentar