Kewajiban Shalat

[xxxviii]

SAAT masih di Makkah, sepeninggal Abu Thalib dan Khadijah, suatu malam—yang populer dan yang terkuat pada malam 27 Rajab tahun kesepuluh kenabian—Allah Swt. memberangkatkan Muhammad Saw. ke Baitul Maqdis, Palestina.

Kemudian, Jibril mengantar beliau ke langit. Beliau melewati lapis demi lapis langit dan bertemu dengan para nabi di sana. Mulai dari Nabi Adam di langit dunia atau langit pertama hingga Nabi Ibrahim di langit ketujuh.

Peristiwanya itu sendiri, bermacam analisis, baik melalui pendekatan filosofis maupun ilmiah, terus mengemuka hingga hari ini, dan barangkali tak akan pernah memuaskan nalar sampai hari akhir. Sebab ia masih berada di luar jangkauan nalar manusia. Berbagai pendekatan ilmiah yang berdasar pengamatan, trial and error, atau eksperimen, tidak dapat diterapkan pada peristiwa ini, karena hanya terjadi sekali dan tidak dapat terulang, serta tidak dapat dilakukan aneka eksperimen untuk membuktikannya.

Peristiwa Isra’ Mi’raj hanya dapat didekati dengan pendekatan iman, dan iman adalah pembenaran hati. Di sinilah agaknya kaitan antara shalat dan peristiwa tersebut. Shalat berfungsi membersihkan jiwa, sedang kebersihan jiwa merupakan syarat bagi keimanan.

Sekali lagi, Isra’ Mi’raj adalah perjalanan spiritual menuju Allah Swt. Yang diperlukan umat manusia selanjutnya bukan saja pengembangan ilmu pengetahuan, melainkan juga pendayagunaan hati dan pengukuhan iman dan takwa. Apalagi memang, hal-hal keluarbiasaan tidak mesti ditampik begitu saja, lebih-lebih ini terjadi pada diri seorang Rasul, kekasih Allah.

Nah, pada malam itu, shalat lima waktu diwajibkan.

Namun, untuk shalat itu sendiri, sedari awal Muhammad Saw. ditunjuk sebagai utusan Tuhan, telah diajarkan oleh Jibril kepada beliau. Terkait gerakan salat, semua atas petunjuk, bukan inovasi manusia mana pun. 

Dalam Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam, dituturkan, “Ketika untuk pertama kalinya shalat diwajibkan kepada Rasulullah Saw., Malaikat Jibrl datang kepada beliau yang saat itu tengah berada di atas gunung Makkah. 

Malaikat Jibril memberi isyarat kepada Rasululah Saw. dengan tumitnya di lembah dan dari lembah tersebut memancarlah mata air. Kemudian Malaikat Jibril berwudu untuk memperlihatkan kepada beliau cara bersuci untuk shalat. Rasulullah pun berwudu seperti Malaikat Jibril berwudu.

Kemudian Malaikat Jibril berdiri dan shalat, dan Rasulullah Saw. shalat seperti shalatnya Jibril. Setelah itu, Malaikat Jibril berpaling dari hadapan Rasulullah Saw.”

Terus berapa rakaat Rasulullah Saw. menjalankan shalat? Samakah dengan jumlah yang kini kita lakukan? 

Ibnu Hisyam mengutip penuturan Aisyah, “Untuk pertama kalinya, shalat diwajibkan kepada Rasulullah Saw. dua rakaat untuk setiap shalat. Kemudian Allah Ta’ala menyempurnakannya dengan menjadikan shalat itu empat rakaat bagi orang mukmin dan menetapkannya seperti sejak awal (dua rakaat) bagi musafir.”

Usai menerima tuntunan shalat, Rasulullah Saw. memperlihatkan kepada Khadijah cara bersuci dan shalat sebagaimana diperlihatkan Jibril. Khadijah pun berwudu seperti Rasulullah Saw. Khadijah menegakkan shalat sebagaimana shalat beliau.

Selain kepada Khadijah, Rasulullah Saw. juga mengajarkan shalat kepada Ali ibn Abi Thalib. Jika waktu shalat telah tiba, Rasulullah Saw. pergi ke syi’b (jalan di antara dua bukit) bersama Ali dengan diam-diam tanpa sepengetahuan ayah Ali, Abu Thalib. Rasulullah Saw. dan Ali mengerjakan shalat-shalat di Syi’b tersebut.

Suatu hari Abu Thalib ke syi’b dan mendapati mereka berdua sedang shalat. Abu Thalib bertanya, “Wahai keponakanku, agama apa yang engkau anut?”

“Allah telah mengutusku sebagai rasul kepada hamba-hamba-Nya.” jawab Nabi Saw. “Dan engkau, wahai Pamanku, adalah orang yang paling berhak aku nasehati dan aku ajak kepada petunjuk. Engkau orang yang paling layak merespon dakwahku dan menyokongku.”

Abu Thalib menyahut, “Wahai keponakanku, sungguh aku tidak dapat meninggalkan agama nenek moyangku dan apa yang biasa mereka kerjakan. Namun, demi Allah, tidak ada seorang pun yang bisa menimpakan kejahatan kepadamu, selagi aku masih hidup.”

Dalam suatu kesempatan, Abu Thalib juga mengonfirmasi hal yang sama kepada Ali, anaknya. “Anakku, agama apa yang sesungguhnya engkau anut?”

“Ayah, aku telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.” jawab Ali. “Aku membenarkan apa yang Rasul Saw. bawa. Aku shalat bersama beliau, dan mengikuti beliau.”

“Jika memang ia mengajakmu kepada kebaikan, maka ikutilah dia!” tandas sang Ayah. 

Begitu, dan berikutnya pada peristiwa Isra’ Mi’raj itulah shalat lima kali sehari disyariatkan, sedang sebelumnya shalat hanya diwajibkan dua kali sehari: pagi dan petang.

Dari sini jelas, betapa shalat sedemikian penting, sehingga Allah Swt. mengundang Nabi-Nya untuk datang dan menerima langsung kewajiban itu. Adapun tentang bolak-balik Nabi meminta keringanan dan yang terakhir ditetapkannya shalat wajib lima kali sehari semalam, bisa kita pahami sebagai makna cinta Allah kepada beliau. 

Bayangkan, beliau berkesempatan bisa berkali-kali mengadakan “pertemuan” dengan Dzat yang Mahadahsyat, tetapi juga untuk mengingatkan kita bahwa shalat lima kali sehari semalam itu masih sangatlah ringan dibandingkan jika seandainya beliau tidak bolak-balik menawar keringanan, dari 50 kali menjadi lima kali saja. 

Oleh karenanya, sangat tidak wajar bagi umat Islam yang melalaikan shalat, yang hanya diamalkan dua tiga kali saja dalam sehari, misalnya, atau bahkan ditinggalkan semuanya. Sungguh, betapa amat buruk keberagamaan seseorang yang tidak mengarahkan wajah, pikiran, dan hati kepada Sang Pencipta. 

Terlebih dengan berdalih sibuk mengurusi dunia. Atau sebagai aktivis bahwa shalat bakal mengganggu efisiensi kegiatan, atau tengah dalam perjalanan dan eman berhenti guna menegakkan shalat, dan sebagainya. Sampai-sampai beliau bersabda, “Tidak ada baiknya suatu agama yang tidak ada shalatnya.” Baginda Nabi juga menggarisbawahi bahwa perbedaan kaum Muslim dengan non-Muslim adalah shalat.  

Demikian. []

Ungaran, 13 Desember 2025

Baca juga:  Kecakapan Politik

Posting Komentar

0 Komentar