[xxxvii]
BAGINDA Muhammad adalah seorang nabi, seorang hamba pilihan Allah, yang diistimewakan karena penghambaannya kepada Allah, juga karena kemuliaannya.
“Mahasuci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa.” (al-Isra’: 1).
Lantas dalam surah al-Ahzab ayat 56, tertera jelas pujian kepada beliau, sehingga Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya yang mukmin bershalawat kepadanya, setelah Allah sendiri dan para malaikat bershalawat.
Kita paham bahwa shalawat dari Allah berarti rahmat, shalawat dari malaikat berarti istighfar, dan shalawat dari manusia adalah doa.
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (al-Ahzab: 56).
Juga dari ayat tersebut, bershalawat bisa berarti pujian dan pengagungan. Karena kemudian diikuti ancaman dari Allah bagi yang berbuat jahat kepada beliau, “Sesungguhnya orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah akan melaknatinya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan.” (al-Ahzab: 57).
Nyatalah, Allah begitu memuliakan beliau. Bahkan Allah bersumpah dengan usia Muhammad Saw. sebagai tanda betapa luar biasa beliau. “Allah bersumpah, ‘Demi umurmu Muhammad, mereka sungguh merana dalam kebingungan’.” (al-Hijr:72).
Nah, di atas semua itu, Al-Quran tegas-tegas menyatakan bahwa taat kepada Rasulullah termasuk taat kepada Allah. Sebuah penyandingan ketaatan yang menunjukkan bahwa hakikat keduanya adalah satu. Ketaatan yang berlandas cinta.
“Dan taatilah Allah dan Rasul supaya kamu diberi rahmat.” (Ali Imran: 132).
“Katakanlah, jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” (Ali Imran: 31).
Kemudian kalau ditelisik lebih jauh, kebesaran dan keagungan Nabi Saw. ini juga dibuktikan oleh perkembangan sejarah peradaban dunia. Beliau telah membuat lompatan peradaban dengan merintis berdirinya sebuah negara.
Setiba di Madinah, langkah pertama Baginda Nabi adalah membangun masjid yang sederhana dengan perkakas seadanya. Hal ini menunjukkan bahwa bentuk bukanlah utama, melainkan fokus pada tujuan, yakni adanya tempat berkumpul, kantor negara, ruang kajian, dan rumah ibadah. Dan memang, dari masjid inilah, lambat laun dunia bertekuk lutut kepada kaum Muslim Madinah.
Ketinggian ilmu dan kecakapan politik Baginda Nabi tampak nyata ketika beliau menyusun undang-undang bagi negara baru Madinah dalam naskah Piagam Madinah. Piagam tersebut mengakui dan mengakomodasi berbagai perbedaan yang ada di Madinah.
Dalam piagam itu, kaum Yahudi terakui eksistensinya. Hanya saja, satu demi satu bani dari kaum Yahudi-lah yang memutus hubungan. Satu per satu berkhianat melawan Nabi. Kaum Yahudi Bani Qainuqa terusir. Bani Nadhir terusir. Bani Quraizhah harus tumpas habis karena menikam dari dalam saat tentara Madinah menghadapi kaum Quraisy dan Bani Ghathafan.
Artinya, persengkongkolan kaum Yahudi yang bersikeras melawan beliau bisa diatasi. Sekali lagi terbaca bahwa sebagai pemimpin, Nabi Saw. sangatlah cakap dalam berpolitik. Beliau membangun kerjasama dengan suku-suku sekitar Madinah. Beliau memboikot ekonomi Quraisy dan melindungi Madinah dari gangguan kaum Yahudi, kaum Quraisy, dan kelompok munafik.
Kita bisa lihat dari pasca-Perang Musthaliq, misalnya, di mana kaum munafik berbuat rusuh. Mereka menyebar fitnah yang mengotori kesucian istri dan rumah tangga beliau. Seandainya persoalan itu gagal diselesaikan, keutuhan negara Madinah terancam. Namun, Rasulullah Saw. berhasil keluar dari jerat mereka. Aisyah, istri beliau yang difitnah, bersih dari tuduhan.
Perhatikan juga tindakan Rasul ketika memenangkan kaum Anshar yang gusar sepulang dari Perang Hunain. Semula mereka dongkol dengan keputusan Nabi yang tak menyisakan hasil rampasan perang kepada kaum Anshar Madinah.
Sebagaimana tercatat dalam Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam, “Demi Allah, jika kalian mau, kalian pasti berbicara, kalian berkata benar, dan dibenarkan. Kalian akan mengatakan, engkau datang kepada kami dalam keadaan didustakan kemudian kami membenarkanmu, engkau terlantar kemudian kami menolongmu, engkau terusir kemudian kami melindungimu, dan engkau miskin kemudian kami membantumu.
“Hai kaum Anshar, apakah kalian mempersoalkan secuil dunia yang dengannya aku ingin menundukkan hati salah satu kaum agar mereka masuk Islam?
“Hai kaum Anshar, tidakkah kalian ridha sekiranya orang-orang pulang membawa kambing-kambing dan unta-unta, sedang kalian pulang membawa Rasulullah ke tempat kalian?
“Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, kalaulah tidak karena peristiwa hijrah, aku menjadi salah seorang dari kaum Anshar. Jika manusia melewati salah satu jalan dan kaum Anshar melewati jalan lain, aku pasti berjalan di jalan yang dilalui kaum Anshar.”
Kaum Anshar pun menangis mendengar pidato singkat Rasulullah Saw. tersebut. Ya, begitulah sekelumit kecakapan politik Muhammad Saw. []
Ungaran, 9 Desember 2025
Baca juga: Jangan Sibuk Berpolemik

0 Komentar