Ketiga

[iii]

KEHIDUPAN yang menyelimuti lingkungan di mana Muhammad berjuang menyiarkan seruannya adalah rasa keadilan sosial yang kuat. Ia menekankan hubungan tanpa perantara pada Tuhan. Dan ia menantang tatanan kekuasaan yang mapan. 

Teologi dan sejarah berjalan berdampingan dalam semua kisah hidup Muhammad, kadang sedekat rel kereta api, dan di waktu lain saling menjauh.

Dan kisah-kisah mukjizat berlimpah dalam tradisi sakral, yang dikembangkan oleh orang-orang yang memuja apa yang seharusnya terjadi, bahkan meski hal itu tidak benar-benar terjadi. Padahal Al-Qur’an dengan tegas mengingkari keajaiban, tapi memang tampaknya terdapat kebutuhan yang sangat manusiawi akan hal itu, dan kebutuhan bagi teologi untuk menuntut iman terhadap sesuatu yang tak mungkin, sebagai ujian atas komitmen.

Karena itulah tradisi Islam konservatif menyatakan bahwa Muhammad telah ditakdirkan sejak awal untuk menjadi utusan Tuhan. Namun, jika demikian, maka tak akan ada kisah tentang hidupnya. Artinya, hidupnya menjadi urusan pengejawantahan kehendak Ilahi yang tak terelakkan, dan dengan demikian kehilangan semua konflik atau ketegangan.

Bagi sebagian penganut yang taat, ini sudah lebih dari cukup, keistimewaan bawaan sang nabi adalah sesuatu yang harus diterima, dan biografi apa pun tidaklah relevan.

Namun, bagi banyak penganut lainnya, yang menarik bukanlah apa yang ajaib, melainkan apa yang mungkin secara manusiawi. Kehidupan Muhammad adalah salah satu dari kehidupan langka yang lebih dramatis dalam kenyataan ketimbang dalam legenda. 

Bahkan semakin sedikit kita melibatkan keajaiban, semakin luar biasa kehidupannya. Apa yang muncul adalah sesuatu yang lebih agung persis karena ia manusiawi, hingga ke tingkatan di mana hidupnya yang nyata memunculkan diri sebagai sesuatu yang layak menyandang kata “legendaris”.

Oleh karenanya, bagi penganut ini, membaca kisah Muhammad adalah menghilangkan berbagai unsur kontroversial dari kehidupan Muhammad. Mereka ingin menyematkan kepadanya vitalitas dan kompleksitas sosok manusia sepenuhnya, melihatnya secara utuh. 

Dengan demikian, berarti mengambil sikap: mengesampingkan kesalehan dan rasa takzim di satu sisi dan mengabaikan stereotif dan penghakiman di sisi lain, apalagi terselubung kehati-hatian yang melumpuhkan di tengah-tengahnya. Ini berarti menemukan narasi yang sangat manusiawi mengenai seorang lelaki yang melangkah di antara idealisme dan pragmatisme, keimanan dan politik, non-kekerasan dan kekerasan, perangkap pujian berlebihan sekaligus bahaya penolakan.

Dan titik penting dalam kehidupannya tak diragukan lagi adalah sebuah malam itu di Gua Hira. Itulah saat ketika dia melangkah menuju apa yang oleh banyak orang anggap sebagai takdirnya, dan karena itulah umat Islam menyebutnya lailatul qadr, Malam Kekuasaan. 

Sudah pasti malam itu adalah tempat di mana dia memasuki panggung sejarah, di mana politik dan agama bersinggungan. Namun, bagaimanapun untuk mulai memahami sosok lelaki ini yang bergumul dengan malaikat di puncak gunung dan turun dalam keadaan terbakar oleh perjumpaan itu, kita perlu bertanya tidak hanya mengenai apa yang terjadi malam itu di Gua Hira dan akibat apa yang ditimbulkannya, tetapi juga mengenai apa yang menuntun Muhammad ke sana. 

Karena sejak awal, terlepas dari berbagai legenda, tanda-tandanya tampak tidak menjanjikan. Bahkan, barangkali kita menyimpulkan bahwa Muhammad adalah calon yang paling tidak mungkin untuk mengemban kenabian, karena bintang apa pun yang menaungi kelahirannya tidak tampak benderang. 

Demikian. []

Baca juga: Kedua

Posting Komentar

0 Komentar