Kedua

[ii]

SEORANG manusia berjumpa Tuhan, bagi kaum rasionalis bukanlah fakta, melainkan fiksi yang dibuat-buat. 

Jadi, seandainya Muhammad bersikap dengan cara seperti yang bisa kita duga setelah perjumpaan pertamanya di Gua Hira, masuk akallah jika cerita-cerita yang mengitarinya sebagai fabel yang diramu dari kesalehan dan keimanan. Namun, Muhammad tidak bersikap demikian.

Dia tidak lari turun gunung sembari berseru “Terpujilah Tuhan”. Dia tidak memancarkan rona bahagia. Tidak melakukan apa pun yang barangkali tampak sangat penting bagi legenda seorang hero yang baru saja mendapat wahyu, atau telah sanggup menyeberangi perbatasan antara dunia ini dan dunia lain.

Singkatnya, tak ada hal yang bisa membuat kita hari ini, yang mendaku kaum rasionalis, untuk mencerca, untuk menuduh keseluruhan kisahnya sebagai karangan, sebuah samaran untuk menutupi sesuatu yang bersifat duniawi atau ambisi pribadi.

Justru sebaliknya. Muhammad meyakini bahwa apa yang baru saja dia alami itu tidak mungkin nyata. Paling banter, itu pastilah sebuah halusinasi, tipuan mata, atau pikirannya sendiri yang telah mengelabuhinya. Bahkan yakin bahwa dirinya tengah dirasuki jin jahat, roh gentayangan yang hendak memperdayainya.

Benar-benar, Muhammad begitu yakin tengah dirasuki jin, sehingga ketika lari turun itu, ia gemetar bukan dengan sukacita, melainkan penuh ketakutan yang amat sangat. Dia dikuasai bukan oleh keyakinan sebuah kebenaran, melainkan kebimbangan. 

Dia hanya yakin akan satu hal: apa pun yang terjadi, hal itu bukan ditakdirkan untuk terjadi pada dirinya. Bukan kepada seorang lelaki 40 tahun yang paling banter mengharapkan sebuah momen anugerah yang sederhana, bukannya beban wahyu yang luar biasa menyilaukan. Dia mengkhawatirkan kewarasannya karena sadar terlampau sering menghabiskan malam untuk merenung sendiri, sehingga mendorongnya melewati ambang kewarasan.

Sehingga, apa pun yang terjadi di Gua Hira itu, dan reaksi Muhammad yang benar-benar manusiawi ini menjadi argumen logis akan kebenaran historis peristiwa tersebut. Entah kita berpikir bahwa kata-kata yang didengarnya berasal dari dalam dirinya atau dari luar, jelas bahwa Muhammad benar-benar mengalaminya. Dan rasa ngeri adalah tanggapan yang wajar sekaligus waras. Kengerian dan penyangkalan. 

Sungguh, betapa manusiawinya, bahkan terlalu manusiawi, hingga ada riwayat bahwa Muhammad hendak bunuh diri saking ngeri dan dahsyatnya peristiwa itu. Perasaan wajar seorang manusia yang sama sekali tak mengharapkan bakal memperoleh hal yang demikian tak tebersit sebelumnya. 

Sehingga, dalam hal ini pula, saya termasuk yang tak tertarik dengan kisah-kisah yang menuntut kesempurnaannya, hingga tidak menoleransi ketidaksempurnaan manusiawi. Karena biasanya yang hanya melandaskan pada kemurnian kesempurnaannya, akan gagal melihat kompleksitas kehidupan Muhammad sesungguhnya. Bahkan Al-Qur’an mengungkapkan, “Aku (Muhammad) hanyalah salah satu dari kalian semua.”

Kita paham, telah berlaku hukum konsekuensi bahwa mengidealkan seseorang, dalam arti tertentu, juga berarti menghilangkan kemanusiaannya. Oleh karenanya, riwayat-riwayat pengagungan acap kali mengaburkan banyak hal ketimbang yang tersingkap. Akhirnya, kita melihat Muhammad lebih sekadar sebagai simbol daripada sesosok manusia yang bisa diteladani. 

Tak pelak, sebagian kita kerap tidak rela saat melihat semasa kanak-kanak Muhammad tersisih ke pinggran masyarakatnya sendiri, sebagai bocah yang tidak penting, sebagai bocah Badui yang hidup di tengah gurun gersang. Termasuk kemudian bahwa dia tuna aksara. Lantas kita terhibur dengan cerita Halimah, dengan segala keberkahan berkat kehadiran bayi Muhammad yang penuh ajaib. 

Begitulah, padahal bila kita mencoba mencermatinya sebagai sosok historis, niscaya perasaan kagum akan semakin membuncah, justru karena Muhammad tampil apa adanya, tampil manusiawi. Perasaan takjub kita semakin tak terbendung, justru karena dia bukan macam Krisna dalam Mahabharata yang sedari kecil diliputi keajaiban. 

Kita akan berdecak kagum, lantaran sang bayi yang dijauhkan dari keluarganya itu tumbuh dewasa dan mengubah seluruh konsep keluarga dan suku menjadi sesuatu yang jauh lebih besar: umat, atau kaum beradab. 

Kita semakin ingin meniru, lantaran seorang saudagar sanggup menjadi seorang pemikir radikal baik mengenai Tuhan maupun masyarakat, menantang secara langsung tatanan sosial dan politik yang sudah mapan. 

Dan kita semakin tersungkur betapa laki-laki yang terusir dari Makkah mengubah pengasingan menjadi awal yang baru dan penuh kemenangan, untuk disambut kembali hanya delapan tahun, sebagai pahlawan. Serta dia berhasil menghadapi segala rintangan itu secara elegan. Dan masih banyak lagi bila dideret di sini. 

Alhasil, membaca sirah nabi dengan tinjauan sejarah adalah jawabnya. Yakni melihatnya sebagai sosok historis, bukan sesosok legenda yang penuh keluarbiasaan. Kita pandang Muhammad dengan jernih, dan memahami bagaimana dia menuntaskan perjalanannya dari ketidakberdayaan menuju kekuasaan, dari bukan siapa-siapa menjadi orang ternama, dari sosok yang remeh menjadi sosok berpengaruh sepanjang masa.

Begitulah. [] 

Baca juga: Pertama 

Posting Komentar

0 Komentar