[iv]
SAAT ITU, saya masih menyadurnya dari Lesley Hazleton, masa kekeringan, dan meski kedengarannya aneh, inilah keberuntungan bagi Muhammad, karena ketiadaan hujan membuat seorang perempuan muda, Halimah, pergi ke Makkah demi mencari bayi yang dapat diasuhnya.
Seperti kebanyakan perempuan Badui, Halimah menghindari nasib kekeringan di padang pasir dengan mempekerjakan diri sebagai inang, ibu susu. Dan memang inilah yang lazim dilakukan para perempuan malang untuk orang-orang kaya di berbagai tempat di dunia saat itu. Mereka melakukannya hingga awal abad ke-20, ketika ketersediaan susu formula dan sekolah asrama menggantikan peran inang.
Nah, Halimah merupakan salah satu wanita Badui yang paling sulit mendapatkan bayi susuan pada akhir musim semi 570 M. Dia berasal dari salah satu klan seminomaden yang susah payah mencari penghidupan, mereka tinggal di gurun tandus di balik pegunungan Makkah.
Seperti halnya semua orang yang hidup di pinggiran, sukunya berjuang untuk bertahan hidup. Bahkan keledai yang dia naiki sudah lemah dan kurus. Hampir tidak ada susu di payudaranya, sehingga bayinya sendiri menangis sepanjang malam karena kelaparan.
Halimah tahu dirinya merupakan calon inang yang tidak perspektif bagi kalangan elite Makkah yang mencari inang yang sehat, tetapi tetap saja dia mencoba, hanya untuk menonton dengan iri saat orang-orang yang datang bersamanya sudah mendapatkan bayi untuk mereka susui, dan permintaan pasar pun semakin menyusut.
Segera, “semua perempuan yang datang ke Makkah bersamaku telah mendapatkan bayi susuan, kecuali aku,” kenangnya.
“Hanya tersisa satu anak yatim, tetapi masing-masing di antara kami, menolak saat diberi tahu bahwa bayi itu yatim, karena kami ingin mendapatkan bayaran dari ayah anak itu. Kami berkata, ‘Bayi yatim? Tanpa ayah untuk membayar kami?’ Makanya kami menolaknya.”
Halimah jelas tidak mendengar apa-apa tentang berbagai hal yang di kemudian hari orang-orang akan bersumpah saat mengatakannya: kilatan cahaya putih di dahi Abdullah saat dia menghampiri Aminah pada malam pernikahan mereka.
Sepengetahuan Halimah dan para inang lainnya, bayi ini hanyalah bayi yang tidak diinginkan siapa pun. Baik Aminah dan Halimah tidak punya data statistik, tetapi mereka berdua tahu bahwa di kota, peluang anak yang mana pun untuk bertahan hidup sampai usia dewasa tidaklah besar kecuali dia dikirim kepada seorang inang. Bahkan, bertahan hidup melewati usia bayi saja sebelum era kedokteran modern sudah merupakan sebuah prestasi tersendiri.
Pada masa kekuasaan Roma, misalnya, hanya sepertiga dari mereka yang lahir di kota berhasil melewati usia lima tahun, sementara catatan untuk London abad ke-18 menunjukkan bahwa lebih dari setengah jumlah anak yang lahir meninggal pada usia 16 tahun. Di Paris dan Makkah, hal sepele seperti gigi busuk atau luka infeksi bisa saja mematikan.
Di antara penyakit, kekurangan gizi, kekerasan jalanan, kecelakaan, melahirkan, air kotor, dan makanan basi, belum lagi peperangan, hanya sepuluh persen yang berhasil melewati usia 45 tahun. Baru ketika abad ke-20, ketika dampak kuman menjadi semakin jelas dan antibiotik mulai dikembangkan, rentang masa hidup manusia mulai bertambah menjadi apa yang kini kita anggap sesuatu yang biasa.
Pada masa yang lebih awal di tahun kelahiran Muhammad, terjadi wabah cacar lokal melanda Timur Tengah yang seolah muncul seketika, dan menghilang sama mendadaknya. Karena itu, kota merupakan tempat yang berbahaya bagi bayi baru lahir yang masih rentan, dan Aminah pastinya sudah putus asa menemukan inang yang bersedia mengambil anak tunggalnya untuk dibawa ke tempat aman. Kalau bukan alasan itu, alasan apa lagi yang membuatnya mengandalkan seorang perempuan miskin yang hampir tidak memiliki cukup susu untuk anaknya sendiri, apalagi anak orang lain? Demikian juga, kenapa Halimah setuju menerima anak yatim itu?
Barangkali dia putus asa dan mengambil Muhammad hanya karena dia tidak ingin menjadi satu-satunya perempuan dari kelompoknya yang kembali melintasi pegunungan tanpa anak susuan. Mungkin dia membawanya karena rasa kasihan, atau keyakinannya yang baik, atau terdorong oleh kebanggaan tertentu seorang petani: dia datang untuk mencari bayi untuk disusui dan dia cukup keras kepala untuk tidak pulang tanpa membawa bayi.
Dia pasti tidak mengklaim punya firasat khusus apa pun. Sebaliknya, seperti yang dia katakan, “Ketika kami memutuskan untuk berangkat, aku berkata kepada suamiku, ‘Demi Tuhan, aku tidak suka membayangkan aku kembali tanpa bayi susuan, aku akan pergi dan mengambil anak yatim itu.’ Suamiku menjawab, ‘Lakukan semaumu. Mungkin Tuhan akan memberkati kita karenanya.’ Maka aku kembali dan membawanya dengan alasan satu-satunya karena aku tidak bisa mendapatkan bayi lain mana pun.”
Maka, ketika Halimah memutuskan untuk mengambil Muhammad, nada seluruh pembicaraannya, seperti disampaikan oleh Ibnu Ishaq, berubah. Gaya bicaranya yang cerewet, percakapan dengan suaminya, keledainya yang kurus kering menyedihkan, semuanya menghilang, dan kisahnya menjadi sebuah keajaiban.
Payudaranya menjadi penuh susu, begitu pula ambing seekor unta betina yang mereka bawa, sehingga Halimah dan keluarganya sekarang dapat minum sepuasnya. Keledainya tiba-tiba kuat dan tangkas, dan ketika mereka tiba kembali di perkemahan mereka di gurun dataran tinggi, domba dan kambing mereka tumbuh subur, menghasilkan jumlah susu yang belum pernah terjadi sebelumnya bahkan meski kekeringan terus berlanjut.
Menjadi jelas bagi Halimah bahwa keputusannya untuk mengadopsi Muhammad telah mendatangkan berkah ilahiah bagi keluarganya.
Demikian. []
Baca juga: Ketiga

0 Komentar