Pertama

[i]

INILAH “Lebih Dekat”, upaya mengajak siapa saja untuk melihat Baginda Nabi Saw. secara intim, lebih personal, lebih manusiawi. Dan untuk kebutuhan ini, saya pakai pisau analisa, bahkan hingga per kata dari Lesley Hazleton, seorang agnostik yang menaruh kagum pada sosok Muhammad. 

Nah sepintas lalu, barangkali kita akan menyimpulkan bahwa Muhammad merupakan seorang penduduk Makkah biasa. Pada usia 40 tahun, putra seorang ayah yang belum pernah dia lihat, telah berhasil membuat kehidupan yang jauh lebih baik dari apa yang mungkin dia bayangkan.

Sang anak yang lahir sebagai orang luar dalam masyarakatnya sendiri itu akhirnya berhasil meraih penerimaan, dan mengukir kehidupan yang sejahtera meski semua kendala menghalangi jalannya. Dia hidup nyaman, seorang duta niaga yang menikah penuh bahagia, sehingga dihormati rekan-rekannya.

Kalaupun dia bukan salah seorang berpengaruh di kota yang makmur itu, persis hal itulah yang menjadi alasan mengapa orang-orang memercayainya untuk mewakili kepentingan mereka. Mereka melihat dirinya sebagai sesosok lelaki yang tidak memiliki kepentingan sendiri untuk diperjuangkan, seorang lelaki yang akan mempertimbangkan sebuah tawaran atau sebuah perselisihan berdasarkan manfaatnya dan membuat keputusan atas dasar hal itu.

Dia telah menemukan sisi nyaman dalam kehidupannya, dan di usia 40 tahun sebetulnya ia sangat berhak untuk duduk santai dan menikmati kehidupannya yang menanjak menuju kemuliaan. 

Jadi, apa yang Muhammad lakukan sendirian di gua Hira itu, di salah satu ceruk pegunungan yang mengelilingi kota yang terlelap di bawahnya? Mengapa seorang lelaki yang bahagia dengan pernikahannya mengisolasi dirinya sendiri dengan cara seperti ini, merenung sepanjang malam?

Pada saat itu dia pastinya sudah mampu memiliki pakaian sutra berbordir rumit yang lazim digunakan kalangan kaya, tetapi yang dia kenakan adalah pakaian sederhana. Sandal yang dipakainya sudah lusuh, terbuat dari kulit yang disamak dan sudah memudar pucat. Jubah kasar yang dikenakannya sudah tipis dan hampir koyak jika tidak ditambal dengan cermat, dan cukup sulit untuk melindunginya dari dinginnya malam yang menusuk tulang di tengah gurun pasir.   

Tentu saja, seseorang dapat melihat dunia dengan cara yang berbeda dari atas situ. Dia dapat menemukan kedamaian dalam keheningan, hanya berteman desau angin di sela bebatuan, jauh dari segala permusuhan dan desas-desus kehidupan kota dengan segala perselisihannya memperebutkan uang dan kekuasaan.

Di situ, seorang manusia hanyalah noktah di tengah lanskap pegunungan, benaknya bebas untuk berpikir dan merenung, dan kemudian akhirnya berhenti berpikir, berhenti merenung, dan menyerahkan diri sepenuhnya pada keluasan semesta.

Kita mungkin mendapati bayangan kesepian di sudut matanya, sesuatu mendekam di sana, jejak dari dirinya yang dulu sebagai orang luar, seolah dia sedang dihantui oleh kesadaran bahwa setiap saat, segala sesuatu yang sudah susah payah dan begitu lama dia perjuangkan bisa saja terenggut.

Kita mungkin melihat kilasan perpaduan yang sama antara kerentanan dan keteguhan di mulutnya, bibir nan penuh yang sedikit terbuka saat dia berbisik pada kegelapan. Dan kemudian mungkin kita akan bertanya mengapa rasa puas saja tidaklah cukup. Apakah kenyataan bahwa rasa itu diraihnya dengan usaha yang begitu keras membuatnya tak bisa menerima perasaan itu begitu saja, membuatnya tak pernah tenteram akan haknya atas rasa itu? Namun kalau begitu, apa yang akan membuatnya tenang? Apa yang sedang ia cari? Barangkali, sejenis kedamaian tertentu dalam batinnya? Atau apakah yang dicarinya adalah sesuatu yang lebih sebuah kilasan, atau mungkin hanya sebuah isyarat, akan sesuatu yang lebih besar?

Ah, entahlah! Tapi satu hal yang pasti: berdasarkan penuturan Muhammad sendiri, dia benar-benar tidak siap menghadapi kebesaran sesuatu yang akan dia alami tepat pada malam itu, pada 610 M.

Begitulah! [] 

Posting Komentar

0 Komentar