SAMBUTAN meriah kepada Baginda Rasul saat beliau tiba di Madinah, menunjukkan betapa besar cinta kaum Anshar, laki-laki maupun perempuan, dewasa maupun anak-anak, kepada sang Baginda.
Sebelumnya, setiap hari, di bawah terik matahari, mereka keluar menuju gerbang Madinah, menanti kedatangan Rasulullah Saw. Saat matahari beranjak tenggelam, mereka pulang ke rumah masing-masing. Itulah yang mereka lakukan setiap hari sampai Rasulullah benar-benar datang di kota mereka. Akhirnya, saat Rasulullah tiba, semua kegembiraan diluapkan dan semua lisan tak henti-hentinya melantunkan syair penyambutan. Semua senang melihat kedatangan tamu agung ini. Rasulullah membalas cinta mereka hatta ketika melihat anak-anak gadis Bani Najjar bersenandung, beliau berkata, “Apakah kalian mencintaiku? Demi Allah, hatiku juga mencintai kalian.”
Semua itu menunjukkan, mencintai Rasulullah tidak cukup diimplementasikan dengan hanya mengikutinya (ittiba’). Cinta kepada Rasulullah harus dijadikan pijakan dan pendorong untuk mengikutinya. Andai tidak ada cinta yang bergelora dalam hati, tentu takkan muncul dorongan untuk mengikuti yang dicintai dalam bentuk amal nyata.
Sangat keliru orang yang beranggapan bahwa makna mencintai Rasulullah hanyalah ittiba’ dan meneladaninya. Mereka seolah lupa, tindakan ittiba’ takkan muncul begitu saja tanpa adanya dorongan. Dan, tidak ada dorongan untuk ittiba’ selain cinta yang menggelorakan perasaan. Maka, Rasulullah menimbang keimanan seseorang kepada Allah dengan kadar cintanya kepada beliau. Artinya, cinta kepada Rasulullah harus lebih besar ketimbang cinta kepada anak, orang tua, dan semua orang. Ini menunjukkan bahwa cinta Rasulullah sama seperti cinta ayah kepada anak, yang sumber keduanya adalah hati dan perasaan. Jika sumbernya bukan itu,mustahil kedua cinta itu dapat diperbandingkan.
Kemudian tinggalnya Baginda Rasul selama beberapa hari di kediaman Abu Ayyub Al-Anshari menunjukkan bukti lain dari kecintaan para sahabat kepada beliau. Kita dapat merenungkan tindakan Abu Ayyub dan istrinya yang menghendaki berkah lewat sisa makanan Rasulullah. Jadi, mencari berkah lewat bekas atau sisa Rasulullah adalah sesuatu yang disyariatkan dan disetujui Baginda Rasul. Termasuk juga kebiasaan bertawasul demi meminta kesembuhan, petunjuk, pertolongan, dan tujuan-tujuan lainnya.
Ada riwayat, adalah Ummu Salamah, istri Baginda Rasul, gemar mengumpulkan beberapa helai rambut sang suami dan menyimpannya dalam sebuah botol. Ketika salah seorang sahabat terserang penyakit mata atau penyakit lain, dia akan mengirimkan wadah berisi air kepada Ummu Salamah. Lalu, Ummu Salamah mencelupkan rambut-rambut Rasulullah ke dalam air itu untuk kemudian diminum oleh si sakit dengan niat tabarruk dan tawasul demi mencari kesembuhan.
Atau di riwayat lain, bahwa Baginda Rasul memasuki rumah Ummu Sulaim dan tidur di ranjangnya ketika tuan rumah pergi. Tak lama berselang, Ummu Sulaim datang. Saat melihat keringat Rasulullah membasahi sepotong kain usang di atas ranjangnya, Ummu Sulaim segera membuka botolnya, lalu memeras keringat beliau dan memasukkannya ke dalam botol. Sesaat kemudian, Baginda Rasul terjaga, “Apa yang engkau lakukan, hai Ummu Sulaim?”
“Kami mengharapkan berkah dari keringat ini untuk anak-anak kami, wahai Rasulullah.” Jawab Ummu Sulaim.
“Engkau benar.” Sabda beliau dengan tersenyum.
Alhasil, bertawasul lewat benda-benda bekas Rasulullah saja diperkenankan, tentu bertawasul dengan kedudukan mulia beliau di sisi Allah lebih diperbolehkan, apalagi dengan kapasitas beliau sebagai rahmat bagi semesta alam.
Tawasul dan tabarruk memiliki makna yang sama, yakni memburu kebaikan dan keberkahan melalui jalan yang dapat mengantarkan kepada kebaikan itu sendiri. Setiap bentuk tawasul, baik lewat kedudukan mulia sang Baginda Rasul di sisi Allah, sisa beliau, maupun bekas pakaian beliau, merupakan bagian dari makna umum tawasul.
Demikian. []
Baca juga: Kausalitas dan Mukjizat

0 Komentar