KITA acap kali protes, berdoa hingga jenuh tapi tak kunjung dikabulkan. Bagaimana itu?
Ibnu ‘Athaillah mengemukakan, “Jangan sampai tertundanya karunia Tuhan kepadamu, setelah kau mengulang-ulang doamu, membuatmu putus asa. Karena Dia menjamin pengabulan doa sesuai pilihan-Nya, bukan sesuai pilihanmu; pada waktu yang diinginkan-Nya, bukan pada waktu yang kau inginkan.”
Said Ramadhan mengajak kita untuk merunut terlebih dahulu apa itu doa. Menurutnya, doa adalah ungkapan tentang keadaan jiwa yang meliputi seorang meminta. Dan keadaan jiwa orang yang berdoa memenuhi dua perkara, pertama, kehadiran hati dan perasaan menuju Tuhan. Kedua, dimulai dengan bertobat kepada Allah atas segala kemaksiatan yang dilakukan.
Kehadiran hati dan perasaan penting karena adakalanya lidah mengucapkan kalimat-kalimat seraya kedua tangan menengadah, tapi pikiran kita tidak menentu, malah memikirkan hal lain. Pun perasaan yang tidak jelas, maka ini tidak disebut doa, hanya permintaan.
Terus ada orang yang tekun bermaksiat, kemudian menghadap Allah dan meminta impian dan keinginannya diwujudkan. Itu juga aneh, karena memohon anugerah, selagi ia tak bersikap logis kepada Tuhan. Bayangkan, seseorang berbuat kejahatan kepada atasannya. Lain waktu ia meminta kepada atasannya agar permintaan dan keinginannya dipenuhi, tanpa sebelumnya atau didahului dengan meminta maaf. Jelas, tidak logis, padahal baru antarsesama.
Sedangkan berdoa, hubungan manusia dengan Allah. Hubungan antara yang dimiliki dengan yang memiliki. Antara makhluk dengan Maha Pencipta. Sehingga, bagaimana wajar seorang hamba yang bergelimang dosa, tanpa tobat, tiba-tiba meminta kepada Tuhan dan apalagi dengan “memaksa” permintaannya segera dipenuhi?
Itulah, permintaan akan disebut doa, tatkala hati dan perasaan hadir dalam bermunajat kepada Allah dengan penuh keluruhan dan kerendahan hati. Berikutmya, bertobat kepada Allah dengan tulus dari segala khilaf dan kesengajaan dosa.
Nah, kembali kepada untaian dari Ibnu ‘Athaillah, “Jangan sampai lambatnya pemberian padahal terus-terusan berdoa membuat putus asa.”
Berkaitan dengan itu, Ahmad Zarruq membagi manusia dalam tiga golongan. Pertama, orang yang menghampiri Tuhan dengan pasrah, sehingga rida dan selalu terhubung dengan Tuhan, meski dalam keadaan berpunya maupun tidak. Orang ini tidak pernah berhenti berdoa, meski doanya tak kunjung dikabulkan.
Kedua, orang yang bersimpuh di depan pintu Tuhan karena yakin pada janji-Nya. Ia bisa menyadari kelalaiannya, maka kala doa tak juga dikabulkan, ia merasa banyak cacat pada diri dan permintaannya. Keterlambatan justru melahirkan harapan-harapan baru, untuk semakin menyadari diri, betapa belum sebagai hamba yang baik.
Ketiga, orang yang berdiri di pintu Tuhan disertai sejumlah sebab, dalih, dan sikap lalai. Ia menginginkan sesuatu tanpa mengembalikannya kepada ketentuan dan kebijaksanaan Allah. Golongan ini gampang ragu, bimbang, dan putus asa, manakala doa tak segera diwujudkan.
Semoga kita dihindarkan menjadi kelompok yang ketiga ini, yang tak kunjung menyadari, “Dia telah menjamin untuk menerima doamu sesuai dengan pilihan-Nya, bukan sesuai pilihanmu, serta pada waktu yang Dia inginkan, bukan pada waktu yang kauinginkan.”
Adakala, pengabulan doa itu berupa sesuatu yang sama sekali berbeda dengan yang kita ungkapkan, tetapi ternyata berwujud sesuatu yang jauh lebih baik dampaknya. Allah mengalihkan dari apa yang sangat kita inginkan menjadi sesuatu yang sama sekali tak tebersit, tapi berdampak sangat menguntungkan kita dan masyarakat.
Maka, tak bisa tidak mari kita perbaiki pemahaman dan sikap kita kepada-Nya. Dengan mengutip penjelasan Syekh Zarruq, niscaya kita hati-hati, bahwa pengabulan doa merupakan pilihan dan wewenang mutlak Allah baik isi maupun waktu. Karena, pertama, ia merupakan wujud cinta dan perhatian-Nya kepada hamba. Kedua, karena pengabulan doa lebih menunjukkan sisi ubudiyah hamba, dan lebih menampakkan kendali rububiyah-Nya.
Jadi, kiranya ada salah kaprah yang menjamur di tubuh umat, yang mendudukkan doa sama dengan sarana untuk sampai tujuan. Padahal, sebagaimana keterangan Syekh Zarruq, doa adalah ubudiyah, penghambaan. Hakikat doa adalah memperlihatkan kefakiran, kerendahan, dan rasa butuh hamba kepada Allah. Jika pengabulan doa sesuai harapan dan dalam kendali hamba, niscaya rasa fakir, hina, dan butuh itu pun lenyap dari sanubari seorang hamba.
Syahdan, doa adalah tujuan, bukan sarana. Bahwa seorang hamba setiap saat akan selalu butuh kepada junjungannya dalam berbagai urusan. Bahwa di antara tugas hamba adalah menunjukkan penghambaan kepada junjungan.
Tersebut dalam kitab suci, Nabi Musa berdoa, “Ya Tuhan kami! Engkau telah memberi Firaun dan para pengikutnya perhiasan dan harta di kehidupan dunia. Ya Tuhan kami, mereka akan menyesatkan orang di jalan-Mu. Ya Tuhan kami, binasakanlah harta mereka dan tutuplah hati mereka rapat-rapat, mereka tidak akan beriman sampai melihat siksa yang amat pedih.” (Yunus: 88).
Dan menurut riwayat, sebagaimana dikutip Ibnu Ajibah, lamanya pengabulan doa Nabi Musa itu mencapai 40 tahun. Masa yang tidak sebentar, bukan?
Namun, persoalan doa ini masih kerap menggiring kita lalai, karena disambungkan dengan pengabulan. Padahal doa itu ubudiyah. Sekali lagi hakikat doa adalah memperlihatkan kefakiran, kerendahan, dan rasa butuh kita selaku hamba Allah. Sementara, pengabulan menjadi kewajiban Allah, dan sungguh tidak pantas kita, sebagai hamba, menuntut kewajiban Tuhan.
Jadi, kenapa kita terus-menerus mengejar hak-hak kita kepada Allah? Kenapa kita tidak mengalihkan perhatian atas kewajiban-kewajiban yang harus kita tunaikan kepada-Nya?
Tetapi, sering pula kita berkilah telah menunaikan kewajiban-kewajiban dari Allah. Bahwa kita telah melaksanakan salat lima waktu rutin dan tepat waktu. Bahwa kita telah mengeluarkan zakat. Bahwa kita utuh sebulan puasa Ramadhan. Tapi kenapa pertolongan Allah tak juga datang? Kenapa kita masih terus-terusan terpinggirkan? Mana janji-Nya, bahwa kita akan ditegakkan sebagai umat yang terbaik, selagi menolong agama-Nya?
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (Muhammad: 7).
Itulah kiranya, kita patut merenungi himah Ibnu Athaillah, “Jangan sampai tidak terwujudnya apa yang Dia janjikan membuatmu ragu.”
Karena, bisa jadi kita belum bersungguh-sungguh menegakkan kewajiban. Memang, kita tidak pernah absen dari salat berjamaah. Kita tidak pernah mangkir dari seruan untuk berdakwah. Namun, yang harus ditelisik, seberapa dalam kewajiban lahiriah itu merasuk ke dalam jiwa. Yang mesti kita perhatikan, apakah hakikat dari perintah-perintah itu telah sedemikian mendalam ke dalam diri. Jangan-jangan kita masih memelihara bersitan kesombongan. Merawat lintasan riya. Jangan-jangan kita masih suka atau bangga, ibadah rutin kita itu telah mencuri perhatian tetangga.
Tengok saja sirah, betapa Baginda Muhammad Saw. sedemikian agung, tapi beliau adalah orang yang paling merasa tidak melakukan kewajiban secara sempurna di hadapan-Nya. Paling merasa tidak sanggup bersyukur. Beliau salat malam, dan tidak pernah absen, karena sering kali dihinggapi kondisi terpuruk menganggap diri tidak dapat menunaikan hak-hak Allah.
Bandingkan kita, seberapa rasa banyak kekurangan dalam menegakkan salat? Cukupkah salat fardu buat menagih janji Tuhan? Pernahkah membebankan diri dengan ketaatan yang lebih banyak dan melaksanakannya dengan lebih tekun? Dan, yang paling utama, sudahkah benar-benar merendahkan diri di hadapan-Nya?
“Tak ada Tuhan selain Engkau Ya Allah, Mahasuci Engkau, saya sungguh termasuk orang-orang yang zalim.” (Al-Anbiya: 87).
Ya, entahlah …! []
Ungaran, 4 Desember 2025
Baca juga: Yang Betul-Betul Hidup

0 Komentar