SAYA sadur refleksi Dr. Said Ramadhan al-Buthy bahwa jumlah orang Madinah yang berbaiat pada Baiat Aqabah Pertama sebanyak 12 orang saja, sedangkan pada Baiat Aqabah Kedua berjumlah 70 laki-laki dan dua orang perempuan.
Kedua belas orang itu di tahun pertama kembali ke Madinah bersama Mush’ab bin Umair bukan untuk menyembunyikan diri di rumah masing-masing, melainkan menyebarkan Islam kepada setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan, dengan cara membacakan Al-Qur’an dan menjelaskan hukum-hukumnya.
Itulah sebabnya, Islam tersebar pesat di Madinah sehingga tidak ada rumah yang tidak dimasuki Islam. Bahkan, Islam menjadi buah bibir warganya di setiap waktu, beserta segala karateristiknya. Inilah sesungguhnya tugas setiap Muslim di mana saja dan Japan saja.
Butir-butir Baiat Aqabah Pertama sama sekali tidak menyinggung isyarat untuk berjihad dengan kekuatan, sedangkan Baiat Aqabah Kedua mengandung isyarat, bahkan penegasan, tentang perlunya jihad dan membela Rasulullah Saw. dan dakwahnya dengan segala sarana.
Kedua baiat ini berbeda karena para peserta Baiat Pertama pulang ke Madinah seraya berjanji kepada Rasulullah Saw. untuk datang lagi pada musim haji tahun berikutnya sambil membawa lebih banyak kaum Muslim untuk memperbarui janji dan baiat.
Oleh karenanya, tidak ada hal yang mengharuskan baiat itu untuk perang, selama belum diizinkan, dan selama para peserta baiat itu akan bertemu kembali dengan Rasulullah untuk kedua kalinya.
Maka, Baiat Pertama merupakan baiat sementara, karena terbatas pada beberapa butir janji. Adapun Baiat Kedua merupakan landasan hijrah Baginda Rasulullah Saw. ke Madinah. Sehingga pula, baiat ini mengandung prinsip-prinsip yang akan dilegalkan setelah beliau hijrah ke Madinah, yang utamanya adalah jihad dan penegakan dakwah dengan kekuatan. Yang kemudian legalisasinya baru diizinkan Allah setelah hijrah.
Dari situ jelas, Dr. Al-Buthy menandaskan bahwa perang baru dibolehkan setelah Rasulullah Saw. hijrah ke Madinah. Tidak seperti yang disalahpahami dari penuturan Ibnu Hisyam bahwa perang dilegalisasikan sebelum hijrah, yaitu pada Baiat Aqabah Kedua. Padahal, butir-butir baiat itu tidak mengandung pasal atau butir yang mengisyaratkan perang. Nabi Saw. mengambil baiat jihad itu dalam konteks masa depan, ketika kelak beliau hijrah dan tinggal di tengah mereka. Sebagaimana perkataan Al-Abbas bin Ubadah, seusai berbaiat, “Demi Allah yang mengutusmu membawa kebenaran, jika kau suka, esok hari penduduk Mina akan kami serang dengan pedang-pedang kami!” dan Baginda Rasul menjawabnya, “Kita belum diperintahkan untuk itu. Kembalilah ke perkemahan kalian.”
Lantas, mengapa legalisasi jihad dengan kekuatan ditunda saat itu? Ada dua hikmah, pertama, memang tepat jika pengenalan Islam, dakwah kepada Allah, penegakan argumentasinya, dan penyingkiran masalah yang dapat menghalangi pemahamannya dilakukan lebih dahulu sebelum perang diwajibkan. Tidak perlu disangsikan lagi bahwa inilah tahapan awal jihad. Pada saat itu, hukum jihad adalah fardhu kifayah; kaum Muslimin sama-sama bertanggung jawab untuk melaksanakannya.
Kedua, kasih sayang Allah kepada hamba-Nya menuntut agar Dia tidak mewajibkan mereka berperang kecuali setelah mereka memiliki negara Islam yang menjadi markas dan tempat mereka berlindung. Nah, Madinah Munawarah adalah negeri Islam yang pertama.
Begitulah. []
Baca juga: Mush’ab bin Umair

0 Komentar