Mush’ab bin Umair

SIAPAKAH Mush’ab bin Umair itu? Apa hubungannya dengan perseberan Islam di Madinah? Untuk ke sana, kita mesti menilik keislaman beberapa pemuka Madinah yang menemui Baginda Nabi dalam baiat Aqabah pertama. 

Keislaman mereka bukan sekadar mengucapkan dua kalimat syahadat. Keislaman mereka memadukan ketetapan hati dan pengucapan lisan kedua kalimat tersebut, kemudian keharusan berbaiat yang diterima Rasulullah Saw.

Dengan begitu, mereka siap mewarnai perilaku mereka dengan Islam, berpegang teguh pada aturan, akhlak, dan semua prinsip Islam. 

Beliau menerima baiat mereka untuk tidak menyekutukan Allah dengan apa pun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak mereka, tidak berdusta untuk menutup-nutupi apa yang ada di depan atau di belakang mereka, dan tidak membangkang Rasulullah Saw. dalam segala kepatutan yang beliau perintahkan. Inilah rambu-rambu terpenting komunitas Islam yang Baginda Rasul ditugaskan untuk mendirikannya. 

Sebab, tugas beliau bukan hanya mengajari manusia dua kalimat syahadat lantas membiarkan mereka melafalkannya berulang-ulang, sementara mereka tetap melakukan kezaliman, penyimpangan, dan berbuat kerusakan. 

Memang benar, sesorang disebut Muslim setelah memercayai dua kalimat syahadat, menghalalkan yang halal, mengharamkan yang haram, dan memercayai segala kewajiban. Namun, perilaku yang didasari kepercayaan pada keesaaan Allah dan kerasulan Muhammad merupakan kunci sekaligus sarana untuk membangun komunitas manusiawi, mewujudkan segala aturan dan prinsipnya, serta menjadikan keputusan hukum dalam segala urusan sebagai wewenang Allah Swt. semata. 

Iman pada keesaan Allah Swt. dan kerasulan Muhammad Saw. harus disempurnakan dengan iman pada keputusan Allah Swt. dan keharusan mengikuti syariat serta undang-undang-Nya.  

Anehnya, ada saja yang masih terpengaruh dan terbius oleh sistem dan hukum buatan manusia. Alih-alih berterus terang menolak Islam, mereka justru berusaha tawar-menawar dengan Allah.

Tawar-menawar mereka adalah dengan membagi-bagi sejumlah aspek sosial antara mereka dan Islam. Maka, bagian Islam dari masyarakat adalah masjidnya dan segala aspek ibadah. Sedangkan bagian mereka dari masyarakat adalah aturannya, perundang-undangannya, dan akhlaknya, yang bisa mereka ubah dan mereka ganti sesuka hati.

Padahal, agama ini mewajibkan pertama-tama agar masuk ke dalam aturan dan hukum baru, bahwa syariat dan hukum itu adalah wewenang Allah semata. Oleh karenanya, Allah menerangkan hakikat ini dan mewanti-wanti jangan sampai orang memahami Islam hanya sebagai rangkaian ucapan dan ritual, Allah Swt. berfirman, “Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelummu? Mereka hendak berhakim kepada thagut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thagut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka sejauh-jauh penyesalan.” (An-Nisa’: 60).

Dan tak perlu disangsikan lagi bahwa Rasulullah adalah orang yang ditugasi memikul beban dakwah agama Allah, karena beliau adalah utusan-Nya bagi seluruh manusia. Maka, beliau harus menyampaikan dakwah Tuhannya. Namun, apa hubungan antara para pemeluk Islam dan beban dakwah ini?

Dari sinilah, kita tengok Mush’ab bin Umair. Ia ditugaskan oleh Baginda Rasul sepeninggal para Pemuka Madinah dari Aqabah kembali ke Madinah, untuk pergi ke Madinah dan mengajari penduduk di sana tentang Islam, membacakan Al-Qur’an, hukum-hukumnya, dan mengajarkan mereka shalat.

Mush’ab bin Umair menyambut perintah Nabi dan segera berangkat dengan senang hati. Tiba di sana, dia langsung menjalankan tugasnya, mengajak warga Madinah masuk Islam, membacakan Al-Qur’an kepada mereka, dan menyampaikan hukum-hukum Allah kepada mereka. 

Ada orang yang datang menemuinya sambil membawa tombak untuk membunuhnya. Lantas, dia hanya membacakan kepadanya suatu ayat Al-Qur’an dan menjelaskan salah satu hukum Islam. Orang itu pun menaruh tombaknya, ikut duduk bersama hadirin, lalu menjadi Muslim yang mengesakan Allah, mempelajari Al-Qur’an dan hukum-hukum Islam. Maka, tersebarlah Islam di seluruh Madinah. Islam pun menjadi buah bibir penduduk kota.

Sekali lagi siapakah Mush’ab ini? 

Ia adalah pemuda Makkah dari keluarga kaya raya. Gaya hidupnya mewah dan selalu mengenakan pakaian necis dan menawan. Namun, setelah masuk Islam, segala kemewahan dan kesenangan itu ia tinggalkan demi menempuh jalan dakwah di belakang Nabi. Ia menanggung segala kesulitan dan penderitaan yang berat hingga akhirnya ia gugur sebagai syahid dalam Perang Uhud. 

Saat meninggal, ia hanya punya satu lembar kain yang tidak cukup mengafani tubuhnya. Ketika orang-orang menarik kain kafan itu untuk menutupi kepalanya, kakinya tersembul. Dan, ketika mereka menutupi kakinya, tersembullah kepalanya. 

Mereka menyampaikan keadaan itu kepada Baginda Rasulullah, sehingga beliau menangis mengingat kemewahan dan kemegahan sahabatnya itu di masa mudanya. Beliau bersabda, “Tutupkanlah kain itu pada kepalanya, dan tutupilah kedua kakinya dengan pelepah kurma.

Jadi, tugas dakwah Islam bukanlah tugas para nabi dan rasul saja. Juga, bukan hanya tugas para pengganti dan ahli waris mereka. Dakwah Islam merupakan bagian tak terpisahkan dari hakikat Islam itu sendiri. 

Maka, tidak ada alasan bagi setiap Muslim untuk tidak memikul bebannya, apa pun kedudukan dan pekerjaannya. Sebab, hakikat dakwah Islam tidak lain adalah amar ma’ruf nahi munkar, yang meliputi seluruh makna jihad dalam Islam. 

Maka, istilah “pembela agama” menjadi kehilangan arti jika hanya ditujukan pada kalangan tertentu di antara kaum Muslim. Pasalnya, setiap orang yang memeluk Islam berarti telah berbaiat kepada Allah dan Rasul-Nya untuk berjihad demi agama ini, baik laki-laki maupun perempuan, baik orang berilmu maupun orang bodoh, apa pun kondisi dan kedudukannya. 

Sebab setiap Muslim adalah pembela agama ini. Allah telah membeli jiwa dan harta mereka dengan surga agar mereka menegakkan agama-Nya dan membela syariat-Nya. Dan Mush’ab bin Umair telah mencontohkannya.

Demikian. []   

Baca juga: Sebagai Titik Tolak

Posting Komentar

0 Komentar