Utbah Tak Sanggup Lagi

(17)

UTBAH kembali ke rumahnya dengan perasaan tak karuan. Beberapa hari ia tak menampakkan diri di hadapan tetua Darun Nadwah. Ia merasa malu, gagal menunaikan tugasnya untuk memperdaya Muhammad. 

Para pemuka Quraisy kemudian bertandang ke rumahnya guna menanyakan hasil pertemuannya dengan Muhammad. Hati Utbah berdebar-debar, tak siap untuk mengakui kegagalannya. Namun, ia tetap harus mengaku di hadapan mereka. Ia tak mau mereka jadi tak percaya kepadanya.

Utbah pun terpaksa melaporkan, “Demi Allah, aku sudah menyampaikan pesan kalian kepada Muhammad. Sedikit pun tidak ada yang terlewat, malah aku tambahi beberapa keterangan yang menurutku pas untuk disampaikan.”

“Apakah Muhammad memberi jawaban semua tuntutan kita?” tanya mereka.

“Ya,” kata Utbah. “Dia memberi jawaban. Tetapi demi Allah, aku tak mengerti apa yang diucapkan Muhammad. Sungguh, sedikit pun aku tidak mengerti. Ia mengancam kita semua dengan petir, seperti petir yang dipergunakan Tuhan untuk membinasakan kaum Ad dan Tsamud.”

“Celakalah engkau,” bisik salah seorang dari mereka ke telinga Utbah. “Mengapa engkau sampai tak mengerti perkataannya? Sedang ia berbicara dengan Bahasa Arab dan engkau menyebut-nyebut kata petir.”

Lalu serempak mereka bertanya, “Mengapa begitu, Wahai Utbah?”

“Demi Allah!” kata Utbah. “Selama hidupku, aku belum pernah mendengar kata-kata seperti yang keluar dari lisan Muhammad. Perkataannya seperti syair, tetapi bukan syair, apalagi memang ia bukan ahli syair. Seperti pula kata-kata seorang tukang ramal, tapi jelas bukan. Karena kita tahu, ia sosok tepercaya. Misal pun, ia kita anggap gila, siapa yang bakal percaya, karena jelas-jelas ia bukan orang gila. Sungguh, perkataannya itu akan menjadi urusan penting. Oleh karenanya, aku tidak dapat membantah kata-katanya.”

Selanjutnya, Utbah menyarankan mereka untuk membiarkan Muhammad. Karena ia merasa bahwa Muhammad itu benar, dan kata-katanya nyata semuanya. Sekiranya ada yang menjadi pengikutnya tetap biarkan saja.

Lebih lanjut, Utbah menambahkan, “Demi Allah, sebenarnya seruan Muhammad itu adalah hal yang besar gunanya. Oleh karena itu, jikalau seruannya makin tersiar di kalangan kita, kiranya kalian akan memperoleh kehidupan yang sempurna, sehingga kita akan dapat menaklukan bangsa lain. Bahkan apabila Muhammad mendapat kemenangan, kemenangan Muhammad berarti kemenangan kita, dan kekuasaan Muhammad berarti kekuasaankita. Sehingga, kita akan menjadi suatu bangsa yang paling mulia, paling unggul, paling gagah, paling berani, dan paling ditakuti, berkat Muhammad. Maka, biarkan sajalah Muhammad, biarkan seruannya berkembang!”

Mereka yang hadir tak siap. Mereka seketika memarahi Utbah. “Sungguh celaka kamu! Kamu rupanya telah kena sihir Muhammad, dan engkau terpengaruh kata-katanya.”

Utbah menyangkal, “Oh, tidak begitu! Sama sekali tidak. Demi Allah, semua kata-kataku tadi adalah perkataanku, buah pikiranku, bukan karena sihir Muhammad.”

“Kalau sungguh-sungguh engkau tidak kena sihir Muhammad, cobalah engkau datang sekali lagi kepadanya. Engkau berunding dengan Muhammad agar ia tak melanjutkan seruannya. Tentang caramu berunding, terserah toh kamu lebih pandai dan cakap ketimbang kami!” tantang mereka.

Utbah menerima tantangan mereka. Ia masih merasa akan dapat menundukkan Muhammad.

Suatu hari, Utbah pun mendatangi rumah Muhammad. Setelah berhadapan, ia berkata dengan lancar, “Muhammad, kedatanganku sekarang ini adalah hendak mengemukakan suatu yang baik buat kamu dan buat kita semua. Agar kita tak saling bertentangan.”

“Ya, baiklah!” kata Muhammad. “Apa lagi yang hendak engkau kemukakan! Aku akan mendengarnya.”

Utbah berkata, “Jalan yang sebaik-sebaiknya bagimu dan para pengikutmu, demi untuk kepentingan bangsa Quraisy, adalah hendaklah kita bersama memuja apa-apa yang selama ini kami sembah, yang juga dipuja oleh leluhurmu yakni Latta dan Uzza, selama satu tahun. Kemudian, nanti selama satu tahun berikutnya, kami akan menyembah Tuhanmu yang selalu kamu puja itu. Jadi, kami dan engkau serta orang-orang yang mengikutimu bersama-sama selama satu tahun menyembah apa yang kamu sembah dan apa yang kami sembah. Bilamana Tuhan yang kamu sembah lebih baik daripada Tuhan yang kami sembah, maka kami akan menyembah Tuhan yang kamu sembah. Hal ini semata demi persatuan dan persaudaraan kita bersama.”

Nabi tidak menjawab karena Utbah menyinggung soal persatuan dan persaudaraan. Tetapi Allah lantas menurunkan wahyu-Nya, surah Al-Kafirun: 1-6. Kemudian turun pula surah Az-Zumar: 64-66.

Selanjutnya, selesai membacakan dua surah tersebut, Baginda Muhammad berkata, “Hendaklah engkau jangan salah sangka bahwa aku akan mempersekutukan Allah. Sunggu, amat jauhlah aku dari perbuatan semacam itu.”

Mendapat tanggapan yang sedemikian tegas, Utbah bergegas pamit dengan hati yang gundah. Ia takut dianggap berdusta dan tak dipercaya lagi oleh para pemuka Quraisy. Maka, ia berdiam diri di rumah memikirkan rencana selanjutnya, sebelum melaporkan ke dewan Darun Nadwah. 

Merasa telah menemu cara terbaik, suatu hari yang telah ditentukannya sendiri, Utbah bertandang ke rumah Muhammad.

“Sekarang begini saja,” katanya saat berhadapan dengan Muhammad. “Semua ucapan yang sering kauucapkan, hendaklah kautukar dengan yang lain. Karena ucapanmu itu selalu menusuk hati kami dan nenek moyang kita. Ucapanmu itu menyinggung kehormatan para ketua kami. Ucapanmu itu merendahkan tuhan-tuhan kami. Maka untuk menjaga persatuan dan kesatuan kita, serta demi kemuliaan bangsa kita, sudilah kiranya engkau menarik kata-katamu dengan perkataan lain!”

Setelah itu, Muhammad menjawab dengan membacakan surah Yunus ayat 15-16.

Sontak, mendengar ayat yang dibacakan Muhammad, Utbah terdiam. Ia kehabisan akal untuk membantah Muhammad. Ia merasa lemah dan tidak sanggup mengatasi apa yang telah diucapkan Muhammad. Dengan segera, ia pulang, “Aku tidak akan dapat menaklukan Muhammad. Jangankan menaklukan, membantah saja aku tak sanggup.”

Dengan lesu, ia terpaksa mengaku kalah di hadapan para tetua di Darun Nadwah. “Aku tidak sanggup menaklukan Muhammad. Jangan suruh lagi! Aku tak sanggup.” 

Demikian! []

Baca juga: Perasaan Utbah bin Rabi’ah

Posting Komentar

0 Komentar