(16)
MUSYAWARAH yang dilangsungkan di Darun Nadwah itu dihadiri oleh para pemuka Quraisy, antara lain: Walid bin Mughirah, Utbah bin Rabi’ah, Abu Sufyan bin Harb, Abu Jahal bin Hisyam, Ubay bin Khalaf, Aswad bin Abdul Muthalib, Syaibah bin Rabi’ah, Ash bin Wa’il, Umayyah bin Khalaf, Nabih bin Hajjaj, Zam’ah bin Aswad, Nadhar bin Harits, dan lain-lainnya.
Sesudah perundingan yang cukup alot, mereka memutuskan untuk mengutus seorang bangsawan Quraisy menghadap Muhammad. Bangsawan itu adalah Utbah bin Rabi’ah, dipandang seimbang dengan kebangsawanan Muhammad bin Abdullah. Juga sama-sama gagah, berbadan tegap, muda, bermuka tampan, dan dapat berbicara dengan lemah lembut.
Utbah kemudian pergi ke rumah Abu Thalib, memohon untuk memanggil Muhammad ke rumahnya. Abu Thalib bergegas menyuruh seseorang untuk memanggil keponakannya. Setelah menerima panggilan, Muhammad Saw. datang ke rumah Abu Thalib.
Baginda Muhammad sama sekali tak menyangka bahwa beliau sebenarnya ditunggu-tunggu oleh Utbah di rumah pamannya. Kemudian mereka duduk berhadapan.
Sebelum Nabi datang, Utbah telah mengajukan permintaan kepada Abu Thalib agar tempat duduknya tidak berdekatan dengan tempat duduk Muhammad, sehingga Muhammad dan Utbah tetap duduk berhadapan, tetapi tempat duduk mereka agak berjauhan.
Sesudah satu sama lain telah duduk berhadapan, Utbah memulai, “Anak laki-laki Saudaraku, engkau adalah dari golongan kami, dan engkau paham bahwa bangsa Quraisy merupakan semulia-mulia bangsa Arab. Tetapi sekarang engkau datang dengan membawa perkara besar, suatu perubahan yang berbahaya. Tidakkah engkau sadar, yang engkau bawa itu akan memecah belah bangsa kita? Yang engkau bawa bakal mencerai-beraikan bangsa yang telah lama bersepakat bersatu? Engkau membodoh-bodohkan para cerdik pandai kita, mencaci maki yang telah lama dipuja-puja orang-orang tuamu, oleh nenek moyangmu. Engkau cela agama kita, Muhammad.
“Kini, bangsa kita telah berpecah belah karena ulahmu. Kejadian ini pun telah tersiar di luar Makkah. Sekiranya nanti datang musuh menyerang, dapatkah kita melawan mereka, selagi kita bercerai-berai? Tenti tidak dapat, bukan?
“Oleh karena itu, kedatanganku adalah atas nama bangsa kita, ingin mengajukan beberapa hal penting. Aku meminta kamu untuk tak menolak mentah-mentah, karena tujuan kami tidak lain dan tidak bukan adalah supaya bangsa kta yang mulia bersatu kembali.”
Selama Utbah berbicara, Muhammad tak menyela sepatah pun. Sesudah Utbah selesai, baru Muhammad menjawab, “Katakan kepadaku segala sesuatu yang hendak engkau katakan, hai Abu Walid!”
Utbah melanjutkan, “Baiklah, tapi sebelumnya aku pengin tahu, apakah engkau merasa lebih baik daripada kakekmu yang terhormat, Abdul Muthalib?”
Muhammad tak menjawab.
Utbah melanjutkan lagi, “Oh, anak laki-laki saudaraku! Kalau engkau menganggap bahwa dirimu lebih baik daripada orang-orang tuamu dan nenek moyangmu, padahal mereka dengan sungguh-sungguh menyembah dan memuliakan tuhan-tuhan yang engkau caci maki.”
Muhammad masih berdiam diri.
Utbah melanjutkan, ”Muhammad, jika dengan mengadakan agama baru, engkau ingin memperoleh harta benda, kami sanggup mengumpulkan harta benda buatmu, sehingga engkau menjadi orang yang paling kaya. Jika engkau menghendaki kemuliaan atau ketinggian derajat, kami sanggup menetapkan engkau menjadi seorang yang paling mulia, paling tinggi derajatnya. Jika engkau ingin menjadi raja, kami sanggup mengangkat engkau menjadi raja yang memegang kekuasaan atas kami, memerintah kami, dan kami tak berani memutus suatu perkara tanpa perkenanmu. Jika engkau menghendaki perempuan paling cantik, kami sanggup menyediakan perempuan-perempuan bangsa Quraisy yang paling cantik, pilihlah sepuluh atau berapa saja sesuai kehendakmu, dan kamilah yang akan mencukupi keperluan kalian. Dan jika pun engkau menghendaki hal-hal lain, katakan, asal engkau menghentikan perbuatan yang sudah-sudah.”
Sekali lagi, selama Utbah berkata, Muhammad diam sembari mendengarkan. Barulah seusai itu, beliau bertanya, “Sudahkah selesai hal-hal yang engkau katakan?”
“Ya, sekian dulu.” Jawab Utbah.
“Sekarang giliran aku minta engkau mendengarkan segenap kata-kataku sebagai jawaban. Sukakah engkau mendengarkannya?” tandas Muhammad Saw.
“Baiklah, katakan sekarang juga!” jawab Utbah.
Baginda Muhammad lantas membacakan surah Fushilat, yang diturunkan beberapa hari sebelumnya. Beliau membaca mulai dari ayat satu, tetapi baru sampai ayat 14, dengan segera Utbah menegur, “Cukuplah Muhammad! Cukup sekian dulu! Cukup! Apakah engkau dapat menjawab selain daripada itu?”
“Tidak!” tegas beliau.
Kemudian Utbah diam dan tak berkata lagi. Semua yang hendak dikatakannya hilang dari benaknya. Segala yang hendak dikemukakan untuk memperdaya Muhammad lenyap tak berbekas dari pikiran, malahan sebaliknya hatinya sangat tertarik dengan bacaan yang baru saja didengar.
Oleh sebab itu, Utbah segera pamit tak melanjutkan percakapan. Ia pulang ke rumah sembari memendam perasaan yang sebelumnya tak tebersit di benaknya. “Memang sangat menarik kata-kata Muhammad. Malah teramat sangat bagus. Selama hidup aku belum pernah mendengar kata-kata semacam itu. Rangkaian kata-kata yang diucapkan Muhammad itu sungguh sangat memukau.”
Demikian perasaan yang tersembul dari sanubari Utbah, seraya mengayunkan kaki menuju rumahnya. []
Baca juga: Tingkah Abu Lahab

0 Komentar