[V]
PRIBADI LUHUR bisa merupakan pencapaian sikap Muslim yang baik. Namun bagi Nabi Muhammad Saw., hal itu merupakan syarat dasar.
Wahiduddin Khan menjelaskan bahwa ada dua tingkatan sikap manusia, pertama sikap umum, yakni “lakukan seperti engkau telah diperlakukan”. Orang yang memiliki sikap ini hanya mampu menanggapi perbuatan orang lain pada dirinya apa adanya: akan menjauhi orang yang merugikannya, akan menyakiti hati orang yang melukai hatinya.
Kedua, sikap istimewa, “lakukan apa yang dapat kamu jalankan”. Orang yang memiliki pola pikir ini, akan memperlakukan kawan dan lawan dengan sikap yang sama, tidak peduli apa yang telah dilakukan kepadanya. Orang ini menyukai kedamaian. Bahkan terhadap orang-orang telah merugikannya, ia selalu berbelas kasihan. Terhadap teman yang mencelakai, terhadap yang memfitnahnya, ia bersabar.
Ada ungkapan, “Tak seorang pun menjadi pahlawan bagi pelayannya.”
Kiranya jelas, seorang pelayan dapat mengetahui kehidupan pribadi tuannya. Bahwa hubungan yang begitu dekat biasanya akan mengurangi kekaguman, dibandingkan dengan seseorang yang jauh. Itulah, seorang pelayan tidak dapat menganggap tuannya sebagai pahlawan.
Tetapi hal itu tidak berlaku bagi Muhammad Saw. Sejarah menuliskan bahwa semakin dekat seseorang dengan dia, semakin mengaguminya.
Pernah suatu ketika beberapa warga suku Bani Israel, antara lain Ibn Jasri, menyerang perkampungan Bani Ma’an, bagian dari suku Tay’. Di tengah penjarahan, mereka menangkap seorang anak laki-laki bernama Zaid berumur delapan tahun, yang kemudian dijual ke pasar budak di Ukaz. Singkat cerita, anak laki-laki yang dijual di pasar Ukaz itu menjadi pelayan Baginda Nabi karena orang yang membelinya menghadiahkannya kepada Khadijah.
Ayah dan paman sang budak begitu mengetahui keberadaannya, segera ke Makkah hendak menebus. Mereka bersedia membayar berapa pun yang diminta Muhammad. Namun, sang Nabi tidak menuntut apa-apa dari mereka. Zaid bebas menentukan: akan balik bersama ayah dan pamannya atau tetap ingin tinggal bersama keluarga Muhammad.
“Aku tidak akan meninggalkan Anda, duhai Baginda, tidak akan,” jawab Zaid.
Sontak ayah dan pamannya marah. “Apa kamu lebih suka menjadi budak daripada merdeka? Kamu rela meninggalkan saudaramu untuk tetap tinggal di sini?”
“Saya tidak menyukai orang lain melebihi kegembiraan saya menetap bersama keluarga di sini,” jawab Zaid. “terutama setelah mengenal beliau.”
Itulah. Mereka pun pulang dengan tangan hampa. Dan kejadian tersebut jauh sebelum Muhammad menjalankan misi kenabiannya. Artinya, tabiat Muhammad yang penuh kelembutan sudah dirasakan oleh Zaid, di mana kekagumannya itu bukan lantaran majikannya seorang nabi.
Keluhuran budi Baginda Muhammad inilah yang kemudian menjadi kekuatannya untuk mengambil hati para pengikutnya. Hingga Allah Swt. mengabadikan, “Karena rahmat Allah, engkau begitu lemah lembut kepada mereka, sekiranya engkau kasar, niscaya mereka akan menjauhimu.” (Ali Imran: 159).
Lagi-lagi sejarah mencatat, semakin dekat orang-orang kepadanya, semakin mereka kagum pada sifatnya yang mulia. Dan, ia tak berstandar ganda: memperlakukan umat yang lemah dengan rasa hormat dan sopan santun yang sama seperti pada umat yang kuat. Ia menerapkan standar yang sama terhadap diri sendiri sebagaimana yang dituntut dari orang lain.
“Jangan pernah mengubah prinsip; dan tetaplah memelihara sikap moral luhur meskipun orang lain dalam kebejatan!” pesan Baginda Nabi.
Perjanjian Hudaibiyah menunjukkan pesan tersebut. Pada tahun ke-6 di Madinah, Nabi mengadakan kesepakatan damai dengan pemuka Quraisy. Di antara syaratnya, “Apabila seseorang warga Makkah masuk Islam dan memutuskan untuk tinggal di Madinah, maka ia harus diserahkan kepada bangsa Quraisy. Tetapi bila seorang Muslim Madinah pergi ke Makkah, maka penguasa Makkah tidak perlu mengembalikannya ke Madinah.”
Setelah perjanjian tersepakati, seorang pemuda Makkah melarikan diri ke Madinah. “Selamatkan aku! Selamatkan aku!” teriaknya kepada orang-orang Muslim. Melihat keadaan yang penuh luka di sekujur tubuhnya, ya, sangat iba melihatnya, seketika para sahabat menghunus pedang. Mereka hendak melanggar perjanjian begitu melihat keadaan mengenaskan pada diri pemuda Muslim ini.
Nabi dengan tenang mengingatkan para sahabat untuk tidak mengingkari perjanjian. Maka, dikembalikanlah pemuda itu ke Makkah. Sungguh tak mengenakkan, memang. Di depan mata, seolah membiarkan kezaliman terjadi. Seorang pemuda yang teraniaya mesti diserahkan kepada penganiaya yang kejam.
Namun begitulah. Nota kesepakatan telah tertandatangani, dan mesti dijunjung tinggi. Dan akibat peristiwa tersebut, justru orang-orang Makkah yang sebelumnya masih ragu dengan seruan Muhammad, berbondong-bondong memeluk agama Islam. Mereka melihat kemuliaan sang Nabi yang konsisten mengikuti aturan nilai moral tertinggi, yakni tidak mengingkari perjanjian yang telah disetujui bersama.
Said ibn Hisyam termasuk generasi sesudah Nabi, suatu hari bertanya pada Aisyah mengenai sifat-sifat Baginda Nabi. “Beliau adalah gambaran dari Al-Qur’an seutuhnya,” jawab Aisyah. Artinya, Muhammad Saw. membentuk hidupnya sesuai dengan pola ideal seperti yang termaktub dalam Al-Qur’an. Sang Baginda adalah Al-Qur’an itu sendiri.
Masih menurut Aisyah, Baginda Nabi tidak pernah memukul pelayannya, entah perempuan atau siapa pun. Ia tidak pernah dendam, apa pun keburukan yang ditujukan kepadanya. Sungguh, yang ia perjuangkan hanyalah kebenaran. Ketika dihadapkan pada dua pilihan, ia akan memilih cara yang lebih mudah menghindari dosa.
Demikian. []
Baca juga: Pribadi Ideal

0 Komentar