ADA tiga pelajaran dari peristiwa hijrah ke Habasyah. Pertama, berpegang teguh dan menegakkan sendi-sendi agama merupakan landasan dan sumber segala kekuatan. Juga menjadi pagar untuk melindungi setiap hak pemeluknya, baik harta benda, tanah, kemerdekaan, maupun kehormatan.
Maka, para juru dakwah wajib mempersiapkan segala sarana untuk melindungi agama dan prinsip-prinsipnya, serta menjadikan tanah air, negeri, harta benda, dan nyawa sebagai sarana untuk melestarikan dan meneguhkan akidah.
Pasalnya, jika agama sudah lenyap dan terkalahkan, tidak ada lagi artinya tanah air, harta benda, dan negeri. Semua itu akan sirna dengan cepat tanpa keberadaan agama. Sebaliknya, jika agama kokoh, sendi-sendinya berdiri tegak di tangan masyarakat, dan akidahnya kokoh dalam hati para pemeluknya maka harta benda, tanah, dan negeri yang dikorbankan pasti akan didapatkan kembali. Bahkan, semua itu diraih kembali dalam keadaan lebih kuat daripada sebelumnya karena dilindungi oleh benteng kehormatan, kekuatan, dan kesadaran.
Sunnatullah berlaku di semesta sejarah bahwa kekuatan spiritual merupakan pelindung utama bagi segala hasil dan kekuatan material. Apabila suatu umat kaya akhlak dan akidahnya lurus serta prinsip-prinsip sosialnya benar, niscaya kekuasaan materialnya semakin kokoh, lestari, dan tahan serangan. Namun,apabila umat ini miskin dalam akhlak, kacau dalam akidah, dan sesat dalam prinsip, niscaya kekuatan materialnya pun semakin kacau dan segera sirna.
Memang, barangkali kita menyaksikan umat yang sesat akidahnya serta bejat akhlak dan perilaku sosialnya, tetapi mereka dapat berdiri tegak dan berkuasa secara material. Padahal, sebenarnya umat seperti itu sedang bergerak menuju kehancuran. Hanya kita tidak dapat melihat dan merasakan “pergerakan menuju kehancuran” karena umur manusia pendek dibanding dengan umur sejarah, usia peradaban atau jatuh bangun suatu bangsa. Pergerakan sunnatullah semacam ini hanya bisa dilihat oleh “mata sejarah” yang tidak pernah tidur.
Bisa jadi pula kita melihat suatu umat yang tidak segan-segan untuk mengorbankan segala kekuatan materialnya, baik kekayaan, tanah air, dan harta benda, demi mempertahankan akidah yang benar dan membangun sistem sosial yang sehat sehingga mereka menjadi umat yang miskin. Namun, itu hanya sementara. Tidak berapa lama kemudian, mereka akan berhasil merebut kembali tanah airnya yang terampas, dan harta bendanya yang dirampok, serta menjadi bangsa yang kuat, bahkan lebih kuat berkali-kali lipat.
Kita juga akan mendapatkan gambaran yang benar tentang alam manusia, dan kehidupan hanya dalam akidah Islam—agama Allah bagi hamba-hamba-Nya. Juga, kita hanya dapat menemukan sistem sosial yang adil dan sehat dalam sejarah Islam. Maka, salah satu landasan dakwah Islam adalah pengorbanan harta benda, tanah air, dan nyawa demi mewujudkannya. Pengorbanan inilah yang justru akan menjaga harta benda, tanah air, dan nyawa kaum Muslim.
Oleh karena itu, Islam melegalkan konsep hijrah, Rasulullah Saw. memberikan isyarat kepada para sahabatnya yang ditindas dan disiksa kaum musyrik—sehingga beliau mengkhawatirkan agama mereka—agar hijrah ke Habasyah, pergi meninggalkan kota Makkah.
Kita tahu bahwa hijrah bukanlah langkah yang mudah dan menyenangkan. Perjalanan hijrah sarat dengan kesulitan dan penderitaan. Tidak hanya itu, setibanya di tempat hijrah, mereka harus memulai hidup baru, mencari jalan nafkah dan juga tempat tinggal. Semua itu ditempuh demi mempertahankan agama. Hijrah sebenarnya bukanlah melarikan diri dari intimidasi atau semacam istirahat, melainkan justru pengorbanan untuk mencari jalan keluar dan meraih kemenangan.
Kedua, kita jadi makin paham hakikat hubungan antar-ajaran Muhammad Saw. dan Isa a.s. yang nyata-nyata bersumber sama. Raja Najasyi adalah pengikut agama Isa a.s., dan ia tulus serta jujur menjalankan agamanya.
Ketika mendengar ayat-ayat Al-Qur’an tentang kehidupan Isa putra Maryam dibacakan Ja’far bin Abu Thalib, ia berkomentar, “Apa yang kaubaca ini dan yang dibawa Isa putra Maryam benar-benar muncul dari pancaran yang sama.”
Ini menegaskan pula bahwa semua nabi membawa satu akidah yang sama, tidak berbeda satu sama lain. Perselisihan di kemudian hari muncul, lantaran satu sama lain saling memendam kedengkian. Atau sekadar berebut pengikut.
Ketiga, kaum Muslim boleh meminta perlindungan kepada non-Muslim, baik itu Ahlul Kitab, seperti Najasyi yang saat itu penganut Nasrani, maupun kepada orang musyrik, seperti Abu Thalib, pamanda Rasulullah Saw. yang dimintai perlindungan tatkala baginda Nabi dimusuhi pemuka Quraisy, atau seperti Muth’im bin Adiyy yang dimintai perlindungan untuk mengawal beliau ketika pulang ke Makkah dari Tha’if.
Namun, meminta perlindungan kepada non-Muslim itu hanya boleh jika ada jaminan tidak merugikan dakwah Islam, tidak mengubah ketetapan agama, dan tidak mendiamkan pelanggaran segala hal yang diharamkan. Jika syarat itu tak terpenuhi, tidaklah dibenarkan meminta jaminan perlindungan non-Muslim.
Ya, kita bisa lihat bagaimana sikap Baginda Rasulullah Saw. ketika diminta Abu Thalib agar menyayangi nyawanya, tidak membebaninya dengan sesuatu yang tidak sanggup dipikulnya, dan berhenti mengecam tuhan-tuhan kaum musyrik. Mendengar permintaan pamandanya itu, sontak Baginda Rasul menyatakan diri keluar dari perlindungan sang paman.
Demikian refleksi Dr. Al-Buthy tentang hijrah para pengikut Baginda Nabi ke negeri Abisini atau Habasyah. []
Baca juga: Boikot

0 Komentar