Tiba di Yatsrib

[xxiii]

TERIK MATAHARI bukan main pada musim panas itu, Senin, 2 Juli 622.

“Rasulullah datang …! Rasulullah datang …!” Teriakan orang-orang memenuhi seluruh belahan Yatsrib. Orang-orang seperti berlomba keluar rumah, berebut untuk menyambut calon pemimpin baru. Mereka tampak semringah. Seluruh wajah berbinar cerah. Ya, hati mereka girang tak terperi. Panas terik siang itu serasa tak terasakan saking gembira. 

Rombongan Nabi terus bergerak dari kejauhan. Ada sekitar 70 orang yang ikut dalam rombongan itu. Semua menaiki tunggangan. Nabi yang berperawakan ideal tampak jelas di antara mereka, tidak kurus tidak gemuk. Kulit putih bak kembang.

Para penyambut dari Yatsrib bergegas menghampiri, mengelilingi, dan mengucapkan selamat datang.

“Selamat datang, Rasulullah.”

 “Salam sejahtera untukmu, Nabi Allah.”

Ada wibawa tak terkira di balik keagungan beliau. Ada aura kuat memancar dari parasnya yang seperti bercahaya. Seraya tersenyum, beliau membalas semua dengan mengucap salam dan menyambut mereka dengan wajah berbinar. Tampak rona kebahagiaan di raut muka beliau, yang begitu jelas di mata para Anshar rona ketampanan dan kegagahan Nabi.

Dan makin meluap saja kerumunan orang-orang mengelilingi Nabi. Semua berebut menyambutnya dan mengucapkan selamat datang. Wajah mereka berseri-seri. Semua bergerak dan saling desak, termasuk anak-anak yang seolah berebut cepat. Terdengar teriak kebahagiaan sepanjang jalan.

“Allahu akbar … Allahu akbar … telah datang sang Utusan … telah datang sang Utusan!”

Untuk menyemarakkan penyambutan, imigran asal Etiopia beraksi menunjukkan kepiawian bermain tombak. Gadis-gadis cilik bernyanyi merdu.

Telah datang bulan purnama
Dari celah bukit ke tengah-tengah kita
Kita wajib bersyukur senantiasa 
Selama  penyeru Allah masih ada

Bocah-bocah pria Bani Najjar memukul rebana sambil melantunkan syair dengan lantang penuh ceria.

Kami tetangga dekat Bani Najjar 
Aduhai, dengan Muhammad kini berjajar

Nabi bahagia dan bertanya kepada mereka semua para bocah itu, “Apakah kalian mencintaiku?”

“Ya, demi Allah, wahai Rasulullah!” serentak mereka.

“Demi Allah, saya juga mencintai kalian. Demi Allah, saya juga mencintai kalian,” sambut beliau.

Budak-budak perempuan tak ketinggalan. Dengan raut muka bahagia dan semangat menggelora mereka pun tak henti berseru, “Telah datang sang Utusan … Telah datang sang Utusan.”

Saat tali kekang diturunkan, pria-pria maju ke depan, tak henti menawari Nabi singgah di rumah mereka.

“Biarkan, unta ini ada yang menuntun. Aku akan tinggal di mana Allah menempatkanku,” kata beliau seraya menolak tawaran mereka dengan halus.

Unta terus bergerak, hingga akhirnya menderum di suatu area penjemuran kurma, tepat di depan rumah Abu Ayyub ibn Zaid. Nabi tidak turun, unta melompat dan berjalan lagi, namun tak jauh. Dibiarkan tali kekang terus lepas. Hingga, tanpa ada yang membelokkan, tiba-tiba unta menoleh ke belakang dan bergegas kembali ke tempat tadi. Di sana ia menderum lagi, duduk dan menjatuhkan lehernya di atas tanah.

Nabi lalu turun, Abu Ayyub tergopoh-gopoh menyambut. Beliau dan Abu Bakar diajak masuk ke rumah. Tak terlukis, betapa girang Abu Ayyub mendapat kehormatan yang seolah jatuh dari ufuk langit ini; anugrah kudus yang dikenang sejarah tanpa pupus.

Saat itulah Nabi berujar, “Di sinilah tempatnya, insya Allah.”

Orang-orang berkata, “Ini benar-benar petunjuk dari Allah yang Mahaagung. Bukankah memang selayaknya Nabi tinggal di rumah paman beliau sendiri daripada di rumah orang lain.”

Semua lega. Semua puas. Tak terselip sedikit pun rasa dengki di benak mereka, selamanya. Padahal, sebelumnya mereka bersaing untuk mendapatkan kehormatan rumahnya ditempati beliau.

As’ad ibn Zurarah datang, ia mengambil tali kekang dan menuntun unta hingga ke dekat Nabi. 

Tampak pula Zaid ibn Tsabit, bocah sepuluh tahun, bersama ibunya turut menyambut Nabi. Mereka tampak bahagia, terutama sang ibu, yang bercucuran air mata penuh haru. Kemudian mereka pamit dan secepat mungkin sampai rumah. 

Tiba di rumah, sang ibu cepat-cepat memasak. Tampak terburu-buru. Tak digubris asap menyelubungi tubuhnya. “Zaid, tetaplah di sini, jangan ke mana-mana, bawa makanan ini nanti kepada Rasulullah!” katanya bergegas. 

Ibu Zaid meremukkan roti ke dalam mangkuk besar, diberi kuah, dicampur daging dan susu, lalu dilapisi minyak samin. Kemudian cepat-cepat oleh Zaid mangkuk itu diantar menuju rumah Abu Ayyub. Tiba di rumah Abu Ayyub, bocah itu langsung masuk. Dengan wajah tersipu-sipu, ia taruh mangkuk itu tepat di hadapan Nabi.

Abu Ayyub berkata sambil menunjuk Zaid, “Ini Zaid ibn Tsabit, wahai Rasulullah.”

Nabi menyambut ramah. “Semoga Allah memberkatimu, Nak,” doa beliau.

“Alhamdulillah, kau didoakan khusus oleh Rasulullah, doa yang lebih kucintai dibanding dunia seisinya,” kata ibu Zaid kepada putranya setiba di rumah. Sang ibu amat bangga dan bersyukur telah dipilih Allah menjadi orang pertama yang memberi hadiah kepada Nabi. 

Begitulah, orang-orang Anshar berbondong-bondong mengantarkan hadiah kepada Rasulullah. Tak kurang dari tiga atau empat mangkuk setiap hari diantarkan ke rumah Abu Ayyub. Padahal, beliau sendiri setiap hari sudah dijamu oleh sang tuan rumah.

Hingga setelah pembangunan masjid rampung, dan dua bilik dengan dana sendiri berdiri di sampingnya, Nabi lalu pindah dan menetap di sana bersama dua orang istri, Saudah dan Aisyah.

Demikian, gambaran yang diracik sedemikian indah oleh Nizar Abazhah. Allahumma shalli wasalim ‘ala Sayyidina Muhammad. []

Posting Komentar

0 Komentar