Pribadi Ideal

[IV]

BAGINDA MUHAMMAD adalah seorang manusia seperti manusia biasa lain. Hal yang menggembirakan dapat membuat dia senang, dan hal-hal buruk bisa pula bikin ia sedih.

Namun, kesadaran bahwa dia merupakan hamba Tuhan, menyebabkan ia mengesampingkan perasaan sendiri dan mengutamakan kehendak-Nya.

Tersebut dalam salah satu perjalanan, Muhammad meminta teman seperjalanannya menyediakan kambing bakar untuk santapan mereka. Seorang pengikutnya bertugas menyembelih kambing, sedang pengikut yang lain memasaknya. Dan Muhammad berkata bahwa ia akan mencari kayu bakar.

Rekannya memprotes, “Wahai insan utusan Tuhan, biarkan kami melakukan semua tugas ini.”

Baginda Saw. berkata, “Aku tahu kalian akan melakukan semua tugas ini dengan baik, tetapi itu menunjukkan adanya diskriminasi yang sangat kutentang. Tuhan tidak suka bila ada hamba-Nya yang mengambil keuntungan karena merasa lebih kuasa.”

Sungguh, betapa rendah hati sang Baginda ini. 

Tersebut pula, suatu hari Abu Dzar al-Ghifari duduk di sebelah seorang Muslim berkulit hitam. Abu Dzar memanggilnya dengan sebutan “orang hitam”. Mendengar itu, Nabi berubah rona mukanya. Dia meminta Abu Dzar untuk memperbaiki kesalahannya. “Putih tidak lebih baik dari hitam,” tambahnya.

Abu Dzar segera menyadari kesalahannya. Dengan sangat menyesal, ia membaringkan tubuhnya di tanah dan memohon kepada teman duduknya itu, “Berdirilah, dan bersihkan wajahku dengan kakimu!”

Itulah, betapa sikap Baginda Muhammad yang adil dalam situasi apa pun. Ia rendah hati, juga sangat sabar. Sekiranya yang menyebabkan ia begitu dicintai pengikut-pengikutnya.

Ketika Nabi dihujani anak panah oleh barisan musuh, pengikut-pengikutnya membentuk lingkaran mengelilinginya untuk melindungi. Mereka rela tertembus panah demi keselamatan Nabi. Mereka tegak berdiri seolah badan mereka terbuat dari kayu, bukan berupa daging dan darah. Anak panah bergelantungan di tubuh mereka hingga seperti duri pohon kaktus.

Nah, lazimnya pemujaan dan rasa sayang yang sedemikian rupa besar dapat menyebabkan keangkuhan dan rasa berkuasa yang berlebihan. Tetapi tidak dengan Muhammad. Ia tetap hidup wajar seperti umumnya. Tidak ada kritik pedas atau pujian yang dapat mengusik ketenangan sikapnya. 

Selama hidupnya Baginda Muhammad mengagumi Tuhannya sehingga setiap tindakannya selalu menggambarkan kerendahanhati dan kelemahlembutan. Ia jarang berbicara. Namun, setiap langkahnya menjadi gambaran perintah Tuhan. 

Pendeknya, seluruh hidup Muhammad terbentuk oleh pemikiran akan akhirat. Ia sangat mencintai putra-putrinya, tetapi bukan dengan cara duniawi. Suami Fathimah, Ali ibn Abi Thalib, pernah menceritakan kepada Abdul Wahid sebuah kisah tentang tangan putri kesayangan Nabi itu. Tangan Fathimah selalu melepuh karena terus-menerus menggiling, lehernya kaku karena mengangkat air, serta pakaiannya kotor karena mengepel lantai. 

Suatu ketika, Nabi menerima kiriman serombongan pelayan. Ali menyarankan istrinya untuk menemui Nabi dan minta seorang pelayan untuknya. Fathimah pergi menuju kediaman sang Ayahanda, tapi tidak dapat menemuinya karena banyak tamu.

Esok harinya Muhammad mendatangi Fathimah dan menanyakan maksud kedatangannya kemarin. Ali menceritakan kepada Nabi jalan ceritanya dengan lengkap. Ali juga menceritakan bahwa dialah yang menyuruh Fathimah. 

Lalu Nabi berkata, “Takutlah kepada Tuhan, Fathimah. Laksanakanlah kewajibanmu pada Tuhan dan lanjutkanlah tugas-tugas rumah tanggamu. Dan nanti malam sebelum tidur pujilah nama Tuhan sebanyak tiga puluh tiga kali, dan muliakanlah nama-Nya sebanyak itu pula, agungkanlah nama-Nya sebanyak tiga puluh empat kali, sehingga jumlah keseluruhannya seratus. Itu jauh lebih baik daripada mendapat seorang pembantu.”

Begitulah, Baginda Nabi yang lantas tak memberi seorang pembantu pun untuk Fathimah. Ia mengajarkan betapa kita adalah hamba Tuhan, dan kepatuhan kita harus tetap dipertahankan dalam keadaan apa pun. Sebagai hamba Tuhan yang patuh, kita harus selalu takut kepada Tuhan dan kepada kehidupan akhirat.

Dan semua isi dunia harus diperlakukan sebagai peringatan akan kebesaran Tuhan. Dalam kesempatan apa pun, kita dapat melihat tangan Tuhan Yang Mahakuasa, dan benda apa pun mencerminkan tanda-tanda kebesaran-Nya. Dalam masalah duniawi kita harus ingat bahwa pada akhirnya semuanya akan kembali kepada Tuhan. 

Walhasil, takut pada neraka, maka kita akan berpikir ulang untuk berlaku sombong. Dan rindu pada surga, niscaya kita bisa memahami arti dunia. Betapa kita mesti benar-benar memahami keagungan Tuhan, sehingga keinginan-keinginan untuk menonjolkan diri sendiri terasa kekonyolan belaka. 

Sekali lagi, tidak ada lagi celaan yang dapat memancing kemarahan kita, dan pujian apa pun tidak membuat kita sombong. Demikian itu sikap pribadi ideal yang digambarkan Tuhan melalui utusan-Nya, Rasulullah Muhammad Saw. []

Baca juga: Tidak Berhenti sebagai Makhluk Hidup

Posting Komentar

0 Komentar