Bersabarlah

[VI]

Pada masa Nabi, sistem kesukuan yang berlaku umum merupakan suatu sistem yang memberi perlindungan bagi tiap individu. Jarang ada orang yang dapat bertahan tanpa perlindungan. 

Nah, pada awal masa kehidupan Nabi di Makkah, ia menikmati perlindungan yang diberikan pamannya, Abu Thalib, kepala suku Bani Hasyim. Namun, pada tahun kesepuluh misi kenabian, Abu Thalib meninggal dan kedudukannya jatuh ke tangan Abu Lahab. Karena Abu Lahab menolak untuk melanjutkan perlindungan kepada Nabi, maka Nabi pun mencari perlindungan kepada suku lain agar dapat melanjutkan tugasnya dalam menyebarkan Islam. Ia pun mendatangi suku Ta’if.

Bersama Zaid bin Haritsah, Baginda Nabi melakukan perjalan sejauh 63 mil menuju Ta’if, daerah sumber air yang subur di tenggara Makkah. Baginda Muhammad memiliki beberapa saudara di sana, dan waktu itu kekuasaan berada di tangan Abd Yalyl, Mas’ud, serta Habib. Nabi menemui ketiga orang tersebut, tetapi ketiganya menolak untuk bergabung. Bahkan untuk menjadi pelindungnya pun mereka tidak mau.

“Aku akan merobek tirai Ka’bah yang suci kalau Tuhan mengangkatmu sebagai nabi,” kata salah seorang dari mereka. 

“Apakah Tuhan tidak menemukan orang lain sebagai utusan-Nya?” tambah yang lain mengejek. 

“Aku bersumpah tidak akan berbicara lagi padamu!” lanjut orang ketiga. “Kalau kau benar-benar seorang nabi, maka merupakan penghinaan bagimu kalau aku berbicara padamu, tetapi sungguh hina diriku kalau kau hanya mengaku-aku sebagai nabi.”

Putus asa, Nabi bersama Zaid bersiap-siap kembali. Namun rakyat Ta’if tidak mau melepaskan mereka berdua begitu saja. Mereka mengumpulkan anak-anak miskin untuk mengejar Nabi dan Zaid.  Dan berondongan batu dilemparkan ke arah Nabi dengan kejam untuk menghalau keluar dari kota. Zaid melindungi Nabi dengan selimutnya, tetapi tidak berhasil. Seluruh tubuh Baginda Nabi dipenuhi luka, dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Setelah beberapa saat berjalan, mereka sampai pada sebuah kebun anggur milik dua kakak-beradik bernama Utbah dan Syaibah. Senja mulai turun ketika Nabi tiba dan meminta perlindungan di kebun anggur tersebut. Seluruh tubuhnya dipenuhi luka, tetapi bibirnya tak berhenti berdoa, “Tuhan,” tangis sang Baginda, “jangan tinggalkan aku dalam keingkaran.”

Sebetulnya, Utbah dan Syaibah itu musyrik, tetapi melihat keadaan Nabi mereka merasa iba. Mereka memiliki seorang budak Kristen bernama Addas. Mereka menyuruh si budak untuk memetik beberapa tangkai anggur dan meletakkannya dalam mangkuk sebelum menghidangkannya. Addas melakukan semua perintah majikannya, ia membawa anggur ke hadapan Nabi dan mempersilakan mencicipi. Nabi menyebut nama Tuhan berulang-ulang ketika mengambil anggur dan memakannya. Addas memandangi wajah Nabi. “Ya Tuhan,” katanya, “di sini orang tidak biasa menyebutkan kalimat tersebut.”

Nabi bertanya dari mana asal Addas dan apa agama yang dianutnya. Addas menjawab bahwa ia beragama Kristen dan berasal dari Nineveh, Irak. 

“Ah, jadi kau berasal dari Yunus yang baik, anak dari Matta,” selidik Nabi. 

“Bagaimana Anda bisa mengenal Yunus anak Matta?” sergah Addas. 

“Beliau adalah utusan Tuhan, begitu juga aku,” kata Nabi. 

Mendengar ucapan Nabi, Addas langsung membungkuk menghormati Nabi, kemudian mencium kening, tangan, dan kakinya.

Utbah dan Syaibah terus memandangi mereka. Lantas mereka mendekat. “Sungguh tak tahu malu,” kata Utbah kepada Addas. “Untuk apa engkau mencium tangan, kening, dan kaki orang itu?”

“Tuan, tidak ada satu orang pun di muka bumi ini yang melebihi kebesaran beliau. Ia telah mengatakan sesuatu yang tidak mungkin diketahui orang biasa, kecuali seorang nabi.”

“Tak tahu malu,” bentak Syaibah. “Hati-hati kamu, jangan biarkan ia mempengaruhimu sehingga kamu berpaling dari agamamu. Agamamu lebih baik dari agamanya.”

Begitulah. Dalam satu kali perjalanan, utusan Tuhan ini telah diperlakukan dengan tiga cara yang berbeda oleh tiga kelompok orang yang berbeda pula. Kelompok pertama melemparinya dengan batu, kelompok kedua menyuguhkan keramahtamahan, dan kelompok ketiga mengenalinya sebagai Nabi sejati.

Dari kejadian tersebut, dapatlah kita pahami bahwa di dunia ini suatu kemungkinan tidak terhitung banyaknya dan tak ada habisnya. Sekiranya kedapatan hal tak mengenakkan, maka bersabarlah, tak usah putus asa. Selagi kita teguh berjalan di jalan kebenaran, dan tak menanggapi perlakuan buruk, pastilah Tuhan akan mengulurkan tangan-Nya.

Sebagaimana Baginda Rasul, pertimbangan yang ia pegang teguh adalah melayani kepentingan Islam, bukan untuk melayani kepentingan diri sendiri. Apabila terdapat benturan antara kepentingan pribadi dan kepentingan agama, maka kepentingan agama yang harus didahulukan. Dan untuk membela kepentingan agama, sekali lagi bersabarlah!

Demikian yang saya petik dari Wahiduddin Khan.[]        

Baca juga: Pribadi Luhur

Posting Komentar

0 Komentar