Di Bawah Bimbingan Fatimah

[003]

ABDUL MUTHALIB telah menetapkan Abu Thalib sebagai wali baru Muhammad. Dia bisa saja memilih putranya yang terkaya, tetapi Abu Lahab tidak sepeka dan sehangat saudaranya ini.

Pembawaan Abu Thalib ramah, sehingga cocok untuk mengasuh seorang anak yang mengalami trauma sepeninggal orang-orang terdekat. Terlebih lagi, istri Abu Thalib, Fatimah binti Asad, memiliki kecerdasan sosial dan emosional yang tinggi. 

Fatimah pun penuh semangat turut memulihkan untuk merawat anggota baru di rumahnya. Dan sungguh, saat itu Muhammad mengalami kemunduran, seakan mengulangi proses perkabungannya ketika ibunya wafat dua tahun silam.  

Muhammad syok, jarang bicara, dan kalaupun berbicara, suaranya benar-benar lirih. Setiap waktu makan, Fatimah menyiapkan sebaki besar makanan untuk dinikmati seluruh keluarga, tetapi Muhammad hanya duduk menyendiri selagi para sepupunya menghabiskan makanan. Fatimah pun menyisihkan sepiring makanan untuk kemenakannya itu sebelum semua orang makan, dan dia duduk di samping Muhammad untuk memastikan bahwa anak itu benar-benar makan.

Setiap pagi, Fatimah memiliki kebiasaan berjalan-jalan di perbukitan di sekitar Makkah. Dan biasanya ia sendirian sebelum keluarga besarnya bangun. Namun kemudian, dia mulai mengajak Muhammad. Dia membangunkannya sebelum fajar merekah dan menggandengnya melewati bebatuan serta gurun.

Muhammad masih lebih banyak membisu, tetapi Fatimah pantang lelah mengajaknya bercakap-cakap. Dia menyebutkan nama berbagai binatang yang terlihat di sekitar mereka dan menceritakan pengalamannya sepanjang hari sebelumnya. Sebagaimana almarhum ayah mertuanya, Fatimah juga merasakan bahwa Muhammad memiliki potensi besar. Maka ia bersemangat untuk bisa mengatasi trauma yang dialami kemenakannya ini.

Pada suatu hari, mereka berdua melewati jembatan yang melintasi seruas sungai kecil di luar Makkah. Karena tidak ada banyak pepohonan di Makkah, jembatan itu dibuat dari jalinan tali serat kurma. Ketika mereka meniti jembatan tali yang berayun-ayun itu, Fatimah memanfaatkan kesempatan untuk menyemangati Muhammad untuk terus maju meski telah berpisah dengan kakeknya.

Fatimah menuntun Muhammad untuk mengamati bagaimana sesuatu yang biasanya dibuang begitu saja ternyata memiliki nilai luar biasa. Dia mengatakan bahwa jembatan tali membutuhkan perawatan teratur karena serat-seratnya yang rapuh lapuk seiring waktu, dan membuat ikatan-ikatan baru dapat menjaga kekuatan jembatan.

Nah, di bawah bimbingan Fatimah inilah, Muhammad mulai bangkit dari keterpurukan. Kelak, Muhammad dikenal sebagai pemuda supel dan ramah yang memiliki banyak kenalan. Dan dia selamanya berterima kasih kepada Fatimah yang telah membangkitkan semangatnya ketika orang lain tidak bisa melakukan. Fatimah wafat berpuluh-puluh tahun kemudian, dan Muhammad memakamkannya sendiri setelah membungkus jenazah sang bibi dengan gamis hijau yang menjadi ciri khasnya. “Beliau hadir menggantikan ibuku setelah aku kehilangan ibuku.” Muhammad memberikan penghormatan terakkhirnya di samping makam Fatimah. “Beliau memercayaiku dan membantuku melewati masa dukaku.”

Pada suatu hari di pasar, Abu Thalib dan Muhammad berpapasan dengan seorang pengembara yang mengenakan pakaian kulit kasar dengan azimat bergemerincing. Pria itu memelototi mereka dan tiba-tiba menjerit. Mata hitamnya yang tajam menusuk Muhammad. Janggutnya yang putih dan berkepang mendadak bergetar.

Pria itu adalah seorang ahli firasah, ahli meramal. Dia mendatangi kota dari tempatnya berkemah di tengah gurun untuk membaca wajah, garis tangan, dan karakteristik fisik lain yang dimiliki oleh anak-anak Makkah, lalu meminta upah pemeriksaan kepada orangtua mereka. Begitu tatapannya jatuh ke sosok Muhammad kecil, ahli firasah itu tercengang. “Bawa anak itu kemari!” serunya dengan suara parau, sementara Abu Thalib menarik Muhammad agar segera menjauh. “Suatu hari nanti, dia akan menjadi pemimpn kerajaan besar!”

Orang-orang di pasar mentertawakan ulah dramatis pria itu dan menganggapnya gila. Namun, di antara gelak tawa mereka, seorang gadis berusia 12 tahun menduga bahwa pria itu tidak sekadar meracau. Gadis itu bernama Khadijah.

Insiden itu membuat Abu Thalib kesal. Dia menarik Muhammad keluar dari pasar sebelum situasi memanas dan melaporkan detail-detail kejadian tersebut kepada istrinya begitu tiba di rumah. Namun, dalam hati Fatimah membenarkan penglihatan pengembara tersebut. Dia menduga ahli firasah itu melihat potensi unik dalam diri Muhammad, yang juga dilihat oleh Abdul Muthalib. 

Lantas dia mendorong suaminya untuk mendidik anak itu agar bisa mengembangkan potensinya. Fatimah meminta Abu Thalib membawa Muhammad dalam perjalanan kafilah menuju Damaskus. Tetapi Abu Thalib menolak mentah-mentah. Dia telah berjanji untuk menjaga keselamatan Muhammad, maka tetap tinggal di Makkah tentu lebih aman. 

Selama dua tahun, Fatimah tanpa bosan mendorong suaminya untuk berhenti mengungkung Muhammad. Akhirnya, ketika Muhammad berusia 10 tahun, Abu Thalib terpaksa mengalah.

Dan pada malam sebelum kafilah bertolak, Fatimah memberi tahu Muhammad bahwa dia akan menemani pamannya dalam perjalanan kali ini. Gugup sekaligus gembira, Muhammad bergegas menyampaikan kabar itu kepada Barakah. Ya, Barakah setelah bebas, menikah dan berumah sendiri bersama suami.

Keesokan hari, pedagang-pedagang dari berbagai wilayah berkumpul, bergabung dengan kafilah Makkah demi keselamatan dan keuntungan status bebas pajak dan biaya memasuki wilayah Byzantium. Para istri mengucapkan selamat jalan kepada suami mereka, membekali mereka dengan penolak bala berupa barang-barang atau benda lainnya.

Terpengaruh oleh kepercayaan monoteisme ibunya, Muhammad tidak tertarik pada penolak bala semacam itu. Maka, Fatimah memberinya hadiah lain untuk memulai perjalanan ini: sebuah kantong air yang terbuat dari kulit kambing.

Jadilah, anak 10 tahun yang berhati lembut itu turut menempuh perjalanan dagang ke Damaskus. Ia pun teringat pada perjalanan kafilah terakhirnya, ketika dia masih bersama ibunya. Abu Thalib melihat air mata menetes di pipi kemenakannya selagi rombongan mereka membelah padang pasir. [] 

Baca juga: Sebuah Momen Haru

Posting Komentar

0 Komentar