[III]
MEMBANGUN masjid menjadi yang pertama-tama digarap Nabi. Sebelum jadi, beliau mendirikan shalat di tempat mana saja yang memungkinkan. “Bumi ini dibuat sebagai masjid dan suci,” sabda beliau.
Ya, setiba di Madinah, Nabi tinggal sementara di rumah Abu Ayyub al-Anshari. Beliau mulai menyusun langkah untuk menata Madinah sesuai dengan model yang diridhai Allah, yang siap menjadi ibukota pengembangan risalah Islam. Dan masjid merupakan bangunan pertamanya.
Nabi ingin masjid yang dibangun di tempat untanya menderum setelah beliau turun di rumah Abu Ayyub. Dan, tempat yang diidamkan itu ternyata sebuah tempat penjemuran kurma milik dua anak muda yatim, Sahl dan Suhail, putra ‘Amr dari Bani Najjar yang masih paman Nabi. Keduanya diasuh As’ad ibn Zurarah. Ia memagari penjemuran itu dengan membangun tembok, dan mengfungsikannya sebagai tempat shalat sebelum kedatangan Rasulullah Saw. Di tempat inilah ia dan rekan-rekannya melaksanakan shalat lima waktu dan shalat jumat.
Nabi lalu mengutus seseorang untuk memanggil pemuka-pemuka Bani Najjar. Begitu tiba, beliau bertanya kepada mereka, “Wahai Bani Najjar, tentukan berapa harga tembok kalian ini?”
Tahu Nabi menginginkan tanah mereka, mereka pun menjawab tegas, “Tidak, demi Allah kami tidak minta apa pun. Ini untuk Allah.”
Kemudian Nabi memanggil Sahl dan Suhail dan menawar tanah berukuran sepuluh ribu hasta persegi itu. Rupanya beliau tidak ingin tanah itu dihibahkan. Meski keduanya ngotot menolak, tetapi beliau terus mendesak. Sampai akhirnya transaksi jadi dengan harga sepuluh dinar emas dan dibayarkan Nabi dari uang Abu Bakar.
Pembangunan pun dimulai. Untuk menumbuhkan semangat, Nabi sendiri yang memulai, lalu dengan serentak diikuti kaum muslim. Mereka bekerja dengann giat, banting tulang peras keringat. Nabi memerintahkan agar semua yang merepotkan disingkirkan. Kuburan kaum musyrik digali. Reruntuhan diratakan. Batang-batang kurma dijejer arah kiblat. Air yang menggenang dikuras dan tanahnya diratakan supaya layak bangun.
Fondasi digali sedalam tiga hasta lalu dipakai batu gunung. Tembok dibangun dengan batu bata dan tanah liat setinggi enam kaki atau lebih. Setiap tembok memiliki lebar satu hasta. Kelak, setelah masjid diperpanjang oleh Nabi, tembok diperlebar menjadi satu setengah hasta. Ini bukan hanya untuk menjaga agar tembok tidak roboh, melainkan juga agar terlindung dari udara panas yang menyengat di siang hari. Kedua sisi masjid dibuat dari batu. Panjang tembok dari titik depan ke titik belakang sekitar seratus hasta. Begitu pula ke arah samping, sehingga masjid berbentuk persegi empat.
Tak seorang pun yang berleha-leha. Semua bekerja penuh semangat. Mengolah tanah liat dan mengangkut batu bata yang panjangnya bisa mencapai satu setengah hasta, lebar setengah, dan tebal seperempat. Nabi pun bekerja bermandikan keringat sambil memberi petunjuk. Seperti yang lain, beliau mengangkut batu hingga dadanya melepuh. Sesuatu yang membuat kaum muslim makin giat bekerja, penuh gairah, sambil bersenandung bersama beliau.
Adalah Qais ibn Thalq, begitu melihat tanah liat yang diolah tidak masak, ia langsung mengambil sekop dan mengaduknya dengan sempurna. Nabi memuji dan menyerahkan urusan mengolah tanah kepadanya. “Dekatkan tanah-tanah itu padanya, ia lebih piawai!” titah beliau.
Mungkin, sebagian sahabat bermaksud meledek Ammar ibn Yasir. Mereka memikulkan dua-dua batu bata di atas pundaknya. Lalu ia mengadu kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, mereka hendak membunuhku. Mereka memikulkan padaku lebih banyak daripada yang mereka pikul.”
Merasa iba kepada si rambut keriting itu, Nabi mengibaskan debu dan pakaiannya sambil berkata, “Tidak, hai Putra Sumayyah, bukan mereka yang akan membunuhmu, melainkan kaum pemberontak. Di mataku, Ammar itu kekar, yang lain mendapat satu pahala, kau dua.”
Membekas sabda Nabi di relung jiwa Ammar. Takut terulang lagi, ia tak henti mengucap, “Aku berlindung kepada Allah dari fitnah.”
Begitulah, kelak Ammar terbunuh dalam Perang Shiffin, persis sebagaimana isyarah Nabi.
Pagar masjid dibuat dari batang-batang kurma. Begitu pula pilar penyangga atap yang dirajut dari pelepah kurma, penangkal panas, tetapi tidak bocor oleh hujan. Bagian tengah masjid dibiarkan terbuka tanpa atap.
Nabi membangun dinding masjid tiga tahap. Pertama dengan satu bata-satu bata, kedua ditambah menjadi satu setengah batu bata, ketiga ditambah lagi menjadi dua batu bata lalu di atasnya disilangkan satu bata. Pembangunan ini memakan waktu lebih kurang tujuh bulan.
Dengan demikian, tak ada biaya yang dikeluarkan untuk pembangunan masjid selain pembebasan tanah. Selebihnya adalah kerja keras dan jerih payah para sahabat.
Nabi selalu mengedepankan kesederhanaan dalam segala hal. Sama sekali tak terpikir olehnya membangun masjid dengan megah. Yang jauh lebih penting baginya adalah bagaimana membangun kualitas manusia sehingga bisa melaksanakan tugas kemanusiaannya dan hidup terhormat. Berbeda dengan bangsa-bangsa di sekitar Jazirah yang menjunjung tinggi pembangunan fisik dan kemegahan; sesuatu yang menurut beliau justru akan menuai kehinaan. Terbukti kemudian kota mereka sekarat dan mati lantaran kualitas manusianya rapuh dan terkikis habis. Sementara, Islam dengan peradabannya yang matang berdiri kukuh melampaui jarak waktu, dan terus hidup dalam jiwa segenap kaum muslim, meskipun dari aspek bangunan fisik sudah lantak.
Di sisi masjid ini, yang kemudian kita kenal sebagai Masjid Nabawi, berjejer bilik-bilik istri Nabi dalam bentuk sangat sederhana. Di situlah Rasulullah tinggal selama sepuluh tahun di Madinah. Sebuah rumah yang mutlak paling sederhana dalam segala seginya.
Demikian. []
Baca juga: Kota Madinah

0 Komentar