[xxiv]
MEMASUKI Yatsrib, Baginda Muhammad mengemban dua tugas sekaligus: sebagai rasul dan sebagai pemimpin.
Sebagai rasul, beliau diutus Allah untuk menyelamatkan kemanusiaan. Sebagai pemimpin, beliau bertanggung jawab menangani segala urusan kehidupan berdasarkan ketetapan Allah.
Hal pertama yang dilakukan Nabi di tempat barunya ini adalah mengubah Yatsrib menjadi Madinah. Babak baru pun menyingsing, babak berdirinya sebuah negara Islam yang berpusat di Madinah. Sebuah negara dengan peradaban yang tak pernah dikenal dalam peta sejarah Arab sebelum itu. Sebuah negara dengan sistem, perundang-undangan, tatanan hidup, dan tingkat kecepatan perkembangan yang tiada banding.
Dan guna mewujudkan ide “madinah” ini, beliau membangun sumber daya manusia yang berkualitas khalifah di muka bumi, berkeadilan dan menolak kezaliman, mengenal hak dan menunaikan kewajiban. Manusia yang terus gelisah, tak pernah tenang sebelum bendera tauhid yang mengibarkan semangat keadilan, persamaan, dan kemakmuran hidup menancap.
Beliau pun bekerja keras siang dan malam. Beliau mendidik sahabat, mengajari mereka syariat, dan merintis jalan untuk mereka lanjutkan kelak sepeninggal beliau. Maka, jadilah Madinah sebuah negara ideal di segala bidang: politik, sosial, ekonomi, pembangunan, diplomasi, dan administrasi.
Tentu saja keberhasilan ini tidak semudah membalik telapak tangan. Sebelum dan bersama ini semua, Nabi harus berhadapan dengan habitat rumit dan kompleks. Madinah berbeda sama sekali dengan Makkah.
Di Madinah terdapat lebih dari satu agama dan keyakinan, tipe manusia dan budayanya bermacam-macam, juga berbagai urusan kehidupan lainnya. Ini jelas menuntut sikap dan perlakuan khusus serta watak kepemimpinan tingkat tinggi dan khas. Hanya dengan begitu sebuah negara yang tangguh akan berhasil dibentuk di wilayah yang memiliki dan sumber daya manusia yang minim dan terbatas ini. Sebuah beban yang tidak ringan dan menuntut kerja keras.
Tetapi, justru dari kondisi Madinah yang demikian itu, Rasulullah berhasil merintis dan membentuk sebuah generasi yang tangguh memikul tanggung jawab.
Tak pelak, berkat uluran kaum Anshar Madinah yang telah memfasilitasi Nabi dan para sahabat, Allah Ta’ala pun memuji mereka (baca QS Al-Hasyr: 9, dan At-Taubah: 100). Dan Rasulullah pula, “Tidaklah mencintai kaum Anshar kecuali orang mukmin, dan tidaklah membenci mereka kecuali orang munafik. Siapa mencintai mereka, ia dicintai Allah. Siapa membenci mereka, ia dbenci Allah.”
Sabda beliau yang lain, “Kaum Anshar adalah keluargaku, adalah jantung rahasiaku. Andai tak ada hijrah, pasti aku menjadi orang Anshar. ”
Dengan sepenuh jiwa Nabi pun berdoa untuk mereka, “Ya Allah, kasihilah orang-orang Anshar, putra-putra Anshar, dan segenap keturunan Anshar.”
Benar-benar, betapa kemuliaan kaum Anshar ini. Sejak awal kedatangan Nabi di Madinah, beliau memikirkan masalah tempat tinggal kaum Muhajirin berikut penataannya. Beliau ingin mereka segera mandiri dan betah tinggal di tempat baru ini, tidak merasa terasing dan tertekan.
Maka, bergegaslah kaum Anshar menghadap kepada Rasulullah menyerahkan sejengkal kelebihan tanah mereka sebagai wujud kebenaran cinta dan pembelaan mereka kepada kaum Muhajirin. Bahkan mereka menawarkan seluruh harta milik dan apa pun yang mereka punya.
“Wahai Rasulullah, jika mau, ambillah rumah-rumah kami!” tegas mereka.
Dari situlah, lagi-lagi betapa kemuliaan dan bahkan kecintaan kaum Anshar terhadap Nabi. Lantas, Nabi membagi-bagikan tanah pemberian mereka—juga tanah-tanah kosong yang tak berpemilik—kepada sahabat-sahabat Muhajirin sekaligus menetapkan lokasi dan ukurannya.
Rumah-rumah pun mulai berdiri dan meninggi. Rumah-rumah yang sehat seperti yang diinginkan Nabi, yang cukup sinar matahari dan udara dapat bersikulasi. Beliau melarang tetangga satu sama lain saling menyakiti dan tinggi bangunan rumahnya saling melebihi. Dan beliau juga tidak suka bila ada pembangunan rumah mengganggu kepentingan umum, bahkan untuk tempat tinggal sementara sekalipun.
Nabi mengajak setiap muslim mengerjakan segala sesuatu secara sempurna, termasuk urusan bangunan. “Jika kalian mengerjakan sesuatu, Allah ingin kalian menyempurnakannya,” sabda beliau.
Kemudian bertebaranlah rumah kaum Muhajirin. Ada rumah Utsman ibn Affan di sebelah timur masjid, rumah keluarga al-Khattab di sebelah selatan berhadapan dari arah barat dengan rumah Abbas yang datang ke Madinah setelah penaklukan Makkah. Di sebelah barat masjid, tepat di tengah-tengah, berdiri rumah Abu Bakar, sedangkan di sebelah utara berdiri rumah Abdurrahman ibn Auf.
Begitulah, rumah-rumah kaum pendatang di Madinah, yang bertebaran tapi begitu bersahaja. Bangunan yang tak berlebihan, sehingga tak mengganggu perasaan penduduk pribumi. Isi rumah-rumah mereka juga tak ada yang mewah. Mereka waktu itu benar-benar hendak mencontoh gaya hidup Rasulullah Saw. yang memang tidak suka menghamburkan harta untuk pembangunan rumah mewah.
Walhasil, lebih dari itu semua, akhirnya Yatsrib menjadi kota Nabi, Madinaturrasul al Munawwarah. Dan Rasulullah menyucikan Madinah sebagaimana Allah menyucikan Makkah. “Setiap nabi mempunyai tanah suci, dan tanah suciku adalah Madinah.”
Demikian! []
Baca juga: Tiba di Yatsrib

0 Komentar