Membebaskan (2)

[VIII]

SAYA termasuk yang telanjur meyakini bahwa pahlawan yang paling besar di antara semua pahlawan adalah Baginda Muhammad. Beliau adalah nabi, negarawan, legislator, penegak moral, pembaharu, ahli politik dan ekonomi—pendek kata semua gelar terkumpul dalam satu pribadi.

Beliau, selain menampilkan nilai-nilai manusiawi, juga secara eksplisit mengajukan rencana untuk membebaskan manusia dari segala macam belenggu, baik dari dalam maupun dari luar. Hampir tak seutas tali pun yang mengekang kebebasan manusia terlepas dari perhatian beliau. 

Beliau menekankan ajaran keesaan Tuhan, yang ciptaan-Nya merupakan tanda-tanda nyata akan keberadaan-Nya, walau esensi-Nya tak tampak oleh indra mata. Beliau mengatakan dewa-dewa itu tidak ada, mereka hanyalah ciptaan angan-angan manusia. Sementara Tuhan Allah yang tidak tampak, justru yang benar-benar ada. 

Tuhan merupakan cahaya dari kehidupan seluruh makhluk-Nya. Dialah tujuan hidup, sekaligus sumber dari kehidupan ini. Dia memiliki sifat-sifat paling luhur, yang dengan cara tertentu juga menetapkan nilai-nilai eksistensi manusia. 

Dia tidak meminta pengorbanan dalam wujud binatang ataupun manusia untuk meredam kemurkaan-Nya. Dia tidak menuntut apa pun selain daripada rasionalitas dan kebenaran. Tidak ada sesuatu pun yang berdiri sebagai perantara antara Tuhan dengan manusia. Bahkan Dia lebih dekat kepada manusia daripada urat leher manusia itu sendiri. Sehingga, tak diperlukan suatu perantara apa pun. Setiap pribadi langsung bertanggung jawab di hadapan-Nya, dan, dalam kaitannya dengan aturan moral, semua orang sama di hadapan-Nya.

Alhasil, Baginda Muhammad berhasil membebaskan manusia dari perasaan takut kepada dewa-dewa, atau makhluk khayal lainnya. Termasuk kita tak perlu takut kepada gejala-gejala kealaman, sebab alam ini pun dicipta agar tunduk kepada-Nya. Manusia hanya boleh takut terhadap berbagai konsekuensi dari setiap pelanggaran terhadap hukum-hukum alam dan moral, dan hukum-hukum ini hakikatnya bersumber pada kehendak Allah.

Dan sejatinya, Allah sendiri bukanlah sesuatu yang harus ditakuti. Dia adalah Tuhan yang penuh cinta kasih dan, sebagaimana dikatakan Baginda Nabi, Dia lebih mencintai makhluk-makhluk-Nya daripada perasaan cinta seorang ibu kepada anak-anaknya.

Sekiranya sikap kita terhadap kehidupan ini berakar dari kepercayaan yang diusung sang Baginda, bila perasaan takut kepada dewa-dewa atau apa pun yang sebenarnya tidak ada dan kepada kekuatan-kekuatan alam bisa dihilangkan dari kesadaran, niscaya kekuatan besar dalam diri kita bisa diaktualisasikan, kebijaksanaan serta keberanian pun muncul. 

Tersebut dalam psikologi, perasaan takut berada di lapisan paling bawah di antara berbagai pengalaman penderitaan umat manusia. Rasa takut dan benci yang beraneka macam telah menghantui berbagai aktivitas kehidupan manusia, menyebabkan mereka berpaling dari kehidupan.

Sebaliknya orang yang benar-benar percaya akan adanya Allah Yang Mahakuasa dan Maha Pemurah akan terhindar dari segala macam perasaan takut. Orang semacam ini akan menghadapi persoalan hidup, baik dalam situasi yang menyenangkan atau tidak, dengan penuh ketenangan dan ketabahan. Terbit perasaan, ia sama sekali tak merasa sedang menghadapi alam yang buas atau tidak bersahabat. Dia hanya menggantungkan kepada Allah semata.

Namun fakta juga menunjukkan, bukan hanya dewa yang ada dalam khayalan manusia dan perasaan takut pada kekuatan alam yang menyebabkan manusia bertekuk lutut. Melainkan penyembahan kepada sesama pun malahan yang kerap mengambil peranan lebih besar dalam penghancuran martabat manusia. 

Para penguasa sejak dulu telah dipertuan sedemikian rupa. Mereka disembah bak penjelmaan dewa. Mereka memperbudak sesama dan menganggap rakyat seakan-akan binatang ternak atau sekadar alat produksi. Terbayang, berjuta-juta manusia bersusah payah membangun piramida-piramida yang menjulang mencakar langit sebagai makam penguasa dan keluarga. Berjuta itu kemudian dibunuh dan dikubur bersama, begitu proyek selesai, seolah sudah tidak bisa diproduksi lagi. 

Di luar kisah para nabi, Al-Qur’an berulang kali berkisah tentang Fir’aun dan Nabi Musa. Seakan manusia sesudah mereka hingga akhir zaman nanti berpotensi, entah sebagai Fir’aun atau pun Nabi Musa. Dan seorang nabi senantiasa berperan sebagai tokoh pembebas. Juga peringatan, para penguasa niscaya menjadi tiranis ketika telah menganggap diri sebagai Tuhan, telah menempati kedudukan Tuhan. Mereka tidak lagi memerintah berdasar hukum keadilan sosial.

Baginda Muhammad menyadarkan para sahabat bahwa raja otokratislah yang merupakan perampas kebebasan manusia paling besar. Beliau mengangankan tatanan ideal, yang saat ini kita alami sebagai republik, yang mengembangkan demokrasi di mana rakyat memilih orang terbaik untuk mengurus kepentingan-kepentingan negara. 

Dalam riwayat di Shahih Bukhari, Baginda Nabi kerapkali gemetar menahan emosi pada saat berkhotbah tentang para penguasa yang otokratis, tak bermoral, tiranis dan disembah seperti Tuhan. Secara kategoris tampak beliau mengatakan, “Kaisar-kaisar itu tidak perlu ada.” 

Tak seorang penguasa pun layak diakui kecuali yang mengakui bahwa di atasnya ada Allah, yang menjalankan tugas dan memerintah kerajaan sebagai tugas dan amanat suci-Nya. Dan penguasa yang demikian tidak dibenarkan mengambil barang-barang kebutuhan rakyat lebih dari batas minimum. Dia harus memberi contoh kehidupan sederhana dan jujur. 

Dan cara itulah yang dipraktikkan Baginda Nabi sebagai pemimpin tertinggi di Madinah, yang kemudian diteruskan oleh para khalifah pertama yang menggantikan beliau. 

Baginda Muhammad menata tatanan Islam sebagai tatanan sejahtera dan penuh kesejahteraan, utamanya pada kesamaan sikap sebagai orang tua terhadap para warganya. Beliau membangun sistem di mana tatanan merupakan suatu bentuk usaha bersama. 

Ketika khalifah Umar bin Khattab memegang kepemimpinan, dia meneruskan laku kepemimpinan Nabi, bahwa pemimpin harus bertindak sebagai pengaman yang ditugaskan untuk menyelamatkan hak milik orang-orang yatim. Kewajiban seorang pemimpin adalah menjaga agar tak seorang pun menderita kelaparan di bawah kepemimpinannya. Dia diwajibkan memaksa orang kaya untuk menyumbangkan sedikit kekayaannya kepada kesejahteraan si miskin. Dia juga diwajibkan untuk menjaga agar semua orang diperlakukan sama di hadapan hukum, dan dalam hal ini semua hak istimewa bagi kalangan tertentu dihapus. Dia berkewajiban pula untuk menjaga agar tidak ada penindasan bagi si lemah oleh si kuat. 

Khotbah khalifah pertama, Abu Bakar, dengan tegas menyatakan bahwa ia tidak mengubah orang kuat menjadi lemah sehingga tidak lagi memiliki apa-apa, dan juga tidak akan mengubah orang lemah menjadi kuat sehingga memiliki segala hak. 

Demikian gambaran pembebasan di bidang politik yang dilaksanakan pada masa-masa pertama sejarah Islam. []

Baca juga: Membebaskan (1)

Posting Komentar

0 Komentar