NAMANYA Mariyah, dikenal sebagai Mariyah al-Qibthiyah, seorang gadis yang berasal dari Hifn di tepi utara Sungai Nil. Ayahnya orang Mesir asli bernama Syam’un, sedang ibunya penganut Kristen berasal dari Byzantium. Ia bersama adiknya, Sirin, tinggal lama di istana Muqauqis, di Alexandria, Mesir.
Adalah selang tiga minggu dari Hudaibiyah, terbit semangat untuk melanjutkan cita-cita mengejar kemuliaan dan kemenangan Islam. Terpikir oleh Nabi untuk menyebarluaskan Islam ke segenap penjuru.
Kita ketahui, para sahabat masih memendam perasaan tidak puas dengan hasil perjanjian Hudaibiyah. Mereka merasakan ketidakadilan itu, dan bertanya-tanya kenapa mesti berdamai dengan kaum musyrikin, tetapi Baginda Muhammad telah bersepakat dengan pemuka Kaum Quraisy.
Untuk itu, guna menguatkan ketabahan dan keteguhan hati para sahabatnya, beliau hendak mengirim surat-surat dakwah kepada para raja di sekitar Tanah Arab dan yang ada di sekeliling negeri Hijaz. Terutama kepada Raja Hiraklius (Kaisar Romawi Timur), dan Kisra (maharaja Persia).
Beliau menjelaskan bahwa selagi kaum kafir Quraisy terikat perjanjian damai, juga musuh lain yang tak kalah berbahaya, kaum Yahudi di Madinah telah musnah, maka kehadiran surat-surat itu bakal meneguhkan Islam di Tanah Arab. Niscaya Islam akan tersebar luas ke luar dan ke dalam Jazirah Arab.
Para sahabat pun akhirnya mengerti strategi politik sang Baginda yang menyepakati nota perjanjian Hudaibiyah. Mereka dengan bersemangat menyatakan kesediaan untuk mengantar surat-surat tersebut.
Nah, salah satu surat dikirim kepada Muqauqis, Gubernur Mesir. Dan surat diantar oleh sahabat Hathib bin Abi Balta’ah.
Sang gubernur menyambut dengan penuh perhatian dan ramah. Dia membaca surat tersebut. Bunyi suratnya, “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Muhammad Rasul Allah kepada Muqauqis, Pembesar Qibthi. Kesejahteraan semoga atas orang yang mengikuti petunjuk. Sesungguhnya aku berseru kepada engkau dengan seruan Islam, Islamlah engkau agar engkau selamat. Allah akan memberi pahala engkau dua kali lipat. Maka, jika engkau berpaling, sesungguhnya atas engkaulah dosa segenap rakyat Qibthi. Wahai Ahli kitab! Marilah kepada suatu kalimat yang sama antara kami dan engkau semua, yaitu janganlah engkau beribadah melainkan kepada Allah dan janganlah kita mempersekutukan Dia dengan sesuatu. Janganlah sebagian kita menjadikan sebagian yang lain beberapa Tuhan yang selain Allah. Jika kamu berpaling, katakanlah olehmu, ‘Saksikanlah oleh kamu bahwa sesungguhnya kami orang-orang Islam.’”
Seusai membaca, Muqauqis memasukkan ke dalam sebuah bejana yang indah, terbuat dari gading, dan menyerahkannya kepada putri gadisnya. Kemudian bertanya jawablah mereka, gubernur Mesir dengan Hathib. Singkat cerita, Muqauqis mengakui kebenaran Muhammad dan ajarannya, tetapi ia belum dapat mengikutinya. Sesudah itu, ia memanggil juru tulis untuk menuliskan surat balasan kepada Nabi Saw.
“Dengan nama AllahYang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kepada Muhammad bin Abdullah dari Muqauqis pembesar Qibthi. Kesejahteraan semoga atas engkau. Sesungguhnya saya telah membaca surat engkau, dan saya telah mengerti apa yang telah engkau sebutkan di dalamnya dan apa yang engkau serukannya. Saya telah mengerti bahwa nabi masih ada, tetapi saya menyangka bahwa nabi itu akan datang di negeri Syam. Sesungguhnya saya telah menghormati utusan engkau dan saya mengirimkan kepada engkau dua orang gadis, yang bagi keduanya ada kedudukan yang tinggi dalam lingkungan bangsa Qibthi, dan beberapa pakaian. Saya juga mengirimkan hadiah seekor binatang bighal kepada engkau agar engkau mengendarainya. Kesejahteraan semoga tetap atas engkau.”
Dari sini saya fokus membidik hadiah dua orang gadis Qibthi ini, Mariyah dan Sirin, yang beliau terima pada awal tahun ketujuh Hijrah. Nabi menerima Mariyah dan kemudian menjadikannya istri, sedang Sirin diperistri Hassan bin Tsabit.
Baginda Muhammad menyayangi, dan menjaga Mariyah dengan penuh perhatian. Karena bagaimanapun, meski sudah sebagai istri sang nabi, Mariyah tetap merasa berada di negeri asing di Madinah, dan ini yang bikin sang Baginda menaruh iba. Dan ini pula, yang membuat Mariyah sayang dan makin hormat kepada beliau.
Nabi membuatkan rumah untuk Mariyah di ujung timur Madinah, sebuah rumah mungil yang dikitari perkebunan. Di atasnya terdapat sebuah loteng terbuka, di mana Nabi dan sang istri kerap bersantai kala musim panas.
Selang beberapa bulan kemudian, Mariyah hamil. Sehingga naluri kebapakan beliau bangkit. Karena sebelum-sebelumnya, beliau tak pernah menimang anak kandung selain hanya dari Khadijah yang sembilan tahun silam telah berpulang ke pangkuan-Nya.
Begitu sang bayi lahir, dan ternyata laki-laki, saking bahagia Baginda Muhammad menamainya Ibrahim, demi mengabadikan kenangan kepada penegak monoteisme ribuan tahun silam, Nabi Ibrahim a.s.
Satu ketika beliau menggendong Ibrahim ke rumah Aisyah dan sambil tersenyum bangga beliau berkata, “Lihatlah, sungguh mirip ia dengan aku.”
Aisyah, sebagaimana biasa, tak sanggup menyembunyikan kecemburuannya berkomentar, “Aku tidak melihat ada kemiripannya denganmu.”
Nabi mengetahui dorongan bawah sadar Aisyah, yang memang pencemburu, dan memang begitu naluriah seseorang yang sedemikian sayangnya kepada sang suami: tidak boleh ada yang merebut perhatian selain dirinya. Sang Nabi pun membawa kembali Ibrahim kepada Mariyah.
Namun, kebahagiaan atas kehadiran seorang anak laki-laki belum berpihak kepada Baginda Nabi. Sebab meniti usia satu setengah tahun, Ibrahim meninggal dunia. Sungguh betapa terpukul hati beliau. Apalagi kemudian sebagian masyarakat Madinah, yang masih percaya takhayul, mengaitkan dengan gerhana matahari, yang kebetulan terjadi persis saat berpulangnya Ibrahim.
Walhasil, Baginda Muhammad menaruh iba yang sedemikian dalam kepada Mariyah. Beliau bertambah sayang kepadanya. Sang Nabi melindungi dan memperlakukan Mariyah sebegitu hangat hingga empat tahun kemudian beliau wafat.
Demikian! []
Ungaran, 25 November 2025
Catatan:
- Sebagian pendapat mengemukakan bahwa Mariyah al-Qibthiyah ini seorang hamba sahaya Nabi, bukan istri. Dan perempuan yang berstatus hamba sahaya boleh digauli oleh tuannya, dalam hal ini berarti Mariyah boleh digauli oleh Nabi Muhammad, meski tidak berstatus sebagai istri.
- Namun, saya termasuk yang menolak tafsiran konvensioanl bahwa hubungan seksual dengan budak perempuan yang dimiliki oleh seseorang halal dilakukan tanpa ikatan perkawinan. Saya turut berdiri di barisan pendapat macam Muhammad Asad (dalam The Message of the Quran) bahwa hubungan seks dengan budak-budak perempuan diizinkan hanya atas dasar perkawinan yang sah, dan bahwa dalam hal ini tidak ada perbedaan antara mereka (budak-budak perempuan) dan perempuan-perempuan merdeka. Karena itu, dalam Islam pergundikan dilarang.
- Dengan demikian, saya meyakini posisi Mariyah al-Qibthiyah sebagai hadiah dari Gubernur Mesir kepada Rasulullah Saw, tidak lantas diambil tanpa status perkawinan yang sah. Mariyah al-Qibthiyah tetap berstatus sebagai istri Nabi, yang kemudian melahirkan Ibrahim.

0 Komentar