Senada Dengan Aisyah

BERBEDA dengan kedatangan Ramlah binti Abu Sufyan atau yang akrab disebut Ummu Habibah, Shafiyah binti Huyay tak memperoleh sambutan hangat.

Ramlah yang telah berusia 37 tahun datang ke Madinah dari Abyssinia, bersama rombongan hijrah yang dipimpin Ja’far bin Abu Thalib. Kediaman Ramlah pun telah dipersiapkan di samping Masjid di sisi pondok istri-istri Nabi yang lain. 

Ramlah merupakan sahabat dekat Hindun binti Abu Umayyah, atau kerap dipanggil Ummu Salamah, ketika awal-awal bersama di Abyssinia. Ramlah, yang sebelumnya bersuamikan Ubaidullah bin Jahsy, merupakan ipar Zainab binti Jahsy. 

Artinya, selain Aisyah, para madu itu telah mengenal Ummu Habibah, bahkan ada yang sebagai sahabat karib. 

Nah, berbeda dengan nasib Shafiyah. Para istri Nabi sama sekali tak menduga akan kehadiran Shafiyah yang terpaut sedikit dengan usia Aisyah dan jelas-jelas lebih jelita.

Sampai-sampai Aisyah berusaha meyakinkan diri, bertanya kepada Ummu Salamah, “Apakah madu baru kita itu memang cantik?”

“Ia memang benar-benar cantik,” kata Hindun, “dan Rasulullah sangat mencintainya.”

Belum yakin benar, Aisyah pun mendatangi rumah yang disewa Usamah, tempat tinggal Shafiyah. Karena Shafiyah belum dibikinkan bilik di samping istri-istri yang lain. Rumah Nabi sudah tak mencukupi adanya bilik baru.

Aisyah, dengan bercadar, masuk bersama sekelompok wanita yang tengah mengunjungi pengantin baru. Ia tak dikenali oleh yang lain, dan bebas mengamati Shafiyah dari jarak yang sangat dekat. Ia pun akhirnya mengakui kecantikan Shafiyah, seperti yang diungkapkan Ummu Salamah.

Muhammad yang berada di situ sangat mengenali Aisyah yang menutup diri dengan cadar, “Hai Humayra, bagaimana pendapatmu tentangnya?”

“Kulihat ia seorang Yahudi seperti orang Yahudi lainnya,” tukas Aisyah.

“Jangan berkata begitu,” kata suaminya, “karena ia telah memilih untuk mengikuti ajaranku dan berbuat baik.”

Begitulah. Awal-awal kehadirannya, Shafiyah menjadi bahan ejekan para madu. Terutama yang sedang bersaing ketat merebut simpati sang suami. Ia direndahkan layaknya seorang musuh.

Namun, Baginda Muhammad terlampau pintar dan bijak mengatasi rumah tangganya. Bahkan ketiga istri termudanya ini kemudian saling mendukung. Aisyah yang terpaut dua atau tiga tahun, 20 tahun, dan Hafshah, 25 tahun, bisa bersimpati dan berteman baik dengan Shafiyah, yang 17 tahun. 

Tapi sifat manja dan cemburu dalam diri Aisyah tak kunjung kurang. Saat Nabi datang lebih telat kepadanya, Aisyah langsung menegur, “Ke mana saja engkau sampai telat?”

“Hai mungilku yang cantik,” kata Muhammad, “aku baru saja bersama Ummu Salamah.”

“Katakan pendapatmu! Jika engkau berjalan di antara dua turunan sebuah bukit, yang satu belum disentuh dan belum dimakan tanamannya, sebaliknya yang lain sudah, pada yang mana engkau akan gembalakan hewanmu?”

“Tentu pada yang belum,” jawab Nabi.

“Begitulah,” sahut Aisyah, “aku tidak seperti istri-istrimu yang lain. Mereka semua pernah mempunyai suami sebelummu, kecuali aku sendiri.”

Muhammad terdiam dan kemudian mengulas senyum takjub kepada Aisyah.

Aisyah sendiri sebetulnya sadar, Muhammad tidak bisa ia miliki sendiri. Suaminya ini memiliki banyak istri, dan ia paham latar belakang mereka. Tapi perasaan cemburu acap tiba-tiba menggelayutinya.

Apalagi kalau mengingat, suaminya ini adalah manusia dengan segudang keistimewaan yang tak bakal dimiliki oleh lelaki lain. Tentu akan banyak perempuan yang berebut ingin bersanding di sisinya.

Walaupun dari sisi materi, Muhammad bukan jenis manusia yang suka bermegah-megahan. Malahan bisa dikatakan, ia hidup di bawah standar kata cukup.

Pernah suatu ketika, Abu Sufyan ke Madinah untuk bernegosiasi dengan Muhammad. Sebelum bertemu dengan Nabi, ia terlebih dahulu menemui putrinya.

Abu Sufyan tercengang melihat bilik yang ditempati putrinya, sangat bersahaja. Berbanding terbalik dengan istananya di Makkah. Di rumah yang dihuni Ummu Habibah ini tak ada yang menarik dipandang. Kasurnya berisi kain perca. Ada beberapa bejana, tapi nyaris tiada harga kalau dijual di pasar.

Abu Sufyan bertanya-tanya, inikah rumah pemimpin Madinah itu? Yang katanya seorang utusan langit? Jangan-jangan pondok yang dihuni para madu putrinya juga demikian, hanya deretan gubuk jelek.

Dan memang demikian kenyataannya, Muhammad dan keluarganya hidup dengan sangat prihatin. Aisyah kerap menuturkan, ia tidak pernah merasakan makan kurma sampai kenyang.

Betapa, kesulitan dan kesempitan hidup dirasakan oleh semua istri Nabi, bukan hanya Aisyah atau pun Ummu Habibah.

Karena itulah, pernah para istri Nabi berkumpul dan menemuinya, memohon tambahan nafkah. Mereka mengadu betapa sangat berat kehidupan yang mesti dijalani. Muhammad terdiam, dan kemudian turunlah ayat 28-29 surah Al-Ahzab. 

Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, ‘Kalau kamu sekalian menghendaki kehidupan dunia dan hiasannya, mari, kuberikan suatu pemberian yang menyenangkan dan kuceraikan kamu dengan cara yang baik. Tetapi, bila kamu menghendaki Allah dan Rasul-Nya serta kehidupan akhirat, Allah sungguh telah menyediakan bagi orang-orang yang berbuat baik darimu pahala yang sangat besar.’

Muhammad membacakan ayat-ayat itu di hadapan mereka. Ia mempersilakan untuk memilih: tetap bersamanya dengan keadaan yang sederhana, atau diceraikan dengan baik-baik agar berkesempatan mendapat nafkah atau harta yang lebih banyak.

Saat itu, yang pertama ditanya dan diminta memilih adalah Aisyah. “Engkau harus mempertimbangkan urusan itu tanpa terburu-buru. Kau juga bisa bertanya kepada kedua orangtuamu.” kata Nabi.

Tanpa ragu, tanpa berpikir panjang, Aisyah menukas, “Apakah untuk memilihmu aku harus meminta pandangan kedua orangtuaku, duhai Rasulullah? Sungguh, aku hanya menghendaki Allah dan Rasul-Nya.”

Pun demikian jawaban istri-istri Nabi yang lain, senada dengan Aisyah. 

Ungaran, 22 November 2025  

Baca juga: Shafiyah binti Huyay

Posting Komentar

0 Komentar