[002]
KAMIS pagi, 20 Agustus 576, praktis Muhammad telah jadi anak yatim piatu. Ia berdiri membisu selama prosesi pemakaman Aminah. Dia tak mengucapkan sepatah kata pun. Dia menatap tak percaya ketika bungkusan kafan putih itu diturunkan, dengan lembut di ceruk, lalu disegel dengan bata lumpur bakar.
Lantas, rombongan kafilah beringsut membelah gurun menuju kota Makkah. Sementara di kota Makkah, Abdul Muthalib telah mendengar kabar kematian Aminah dari seorang pembawa pesan. Ia segera bersiap-siap menyambut kedatangan sang cucu.
Ketika tiba, Abdul Muthalib dengan hangat memeluk Muhammad. Sontak ia terkenang, pada Senin 21 April 570, menggendong bayi yang kemudian ia namai Muhammad. Dan kini, bayi itu telah tumbuh sehat, tapi yatim piatu.
Abdul Muthalib mengajak sang cucu dan Barakah untuk tinggal di rumahnya, salah satu rumah terbesar di Makkah yang memiliki halaman terbuka.
Memang Muhammad bukan satu-satunya anak kecil yang tinggal di rumah Abdul Muthalib. Kakeknya itu, yang telah berusia 81 tahun, masih memiliki dua anak remaja, Hamzah dan Az-Zubair. Hamzah gemar berburu, di usia 16, terkenal akan kegagahannya menghajar singa. Pun demikian Az-Zubair, kakak Hamzah, berwatak bak batu yang tangguh, menjadi tangan kanan sang ayah.
Namun, Abdul Muthalib mengerahkan tenaganya untuk cucunya ini, yang menyandang nama unik pemberiannya. Dan pada Jumat pagi, dalam pertemuan dewan tetua di dekat Ka’bah, Muhammad duduk di pangkuan Abdul Muthalib di hadapan 20 pemuka yang duduk dalam formasi setengah lingkaran. Selanjutnya hal ini rutin dilakukan, Muhammad mendapat privilese mendampingi Abdul Muthalib dalam pertemuan dengan para tetua Makkah.
Setelah pertemuan pada kali pertama itu, Abdul Muthalib membawa cucunya ke pasar Ukats, pasar luas di kota Makkah yang terdiri lebih dari seratus kios. Muhammad mengedarkan pandangan, mengamati dinamika pasar. Salah satu kios yang menarik perhatiannya: kios itu menjual manusia, bahkan anak-anak seumurannya.
Dengan bingung, Muhammad menanyakan kepada kakeknya, kenapa anak-anak itu dijual seperti hewan ternak. Dan sang kakek menjelaskan bahwa mereka dijual lantaran orangtua mereka terlilit utang. Ada pula anak-anak yang diculik, seperti yang nyaris terjadi pada Muhammad saat sedang menggembalakan kambing di kampung Halimah, Bani Sa’d, dijual sebagai budak. Mengenai perbudakan, Abdul Muthalib menyarankannya untuk meminta penjelasan kepada Barakah.
Setelah makan malam, Muhammad menemui Barakah dan menceritakan apa yang dilihatnya di pasar. Dia menjelaskan bahwa menurut kakeknya, Barakah akan bisa menjelaskan tentang perbudakan. Barakah mendudukkan Muhammad di pangkuannya, dan mulai bercerita.
Barakah dilahirkan di keluarga terpandang di Abyssinia, tepatnya di sebuah kota di kaki Pegunungan Semien. Suatu hari, ketika berusia 8 tahun bersama ibunya bertamasya ke lereng gunung, kelompok pemberontak yang menentang raja meringkusnya, dan membawanya ke Sungai Nil. Di sungai itulah, dia dinaikkan ke kapal tongkang untuk dijual di Mesir. Seorang pedagang budak dari Madyan membelinya dalam lelang dan membawanya ke Askhelon, tempat Abdul Muthalib membelinya di pasar pelabuhan untuk hadiah putranya, Abdullah (ayahanda Muhammad).
Seketika itu juga, Muhammad melompat turun dari pangkuan Barakah dan berlari menghampiri Abdul Muthalib, “Kakek, bagaimana cara membebaskan budak?”
Sang kakek paham maksud cucunya. Ia berkata, “Karena secara hukum kaulah yang memiliki Barakah, maka untuk membebaskannya, kau mesti membuat pernyataan pembebasan di depan umum, di Ka’bah.”
Keesokan harinya, Muhammad menarik Barakah ke Ka’bah. Didampingi kakeknya, Muhammad berdiri di tangga Ka’bah dan menyatakan, “Ini Barakah. Aku Muhammad putra Abdullah, dengan dukungan kakekku, menyatakan bahwa sejak saat ini hingga selamanya Barakah telah bebas selayaknya angin.”
Sontak beberapa orang mencibir, melihat tingkah Muhammad yang menurut mereka tak lazim. Mereka membatin, “Tahu apa anak kecil ini, yang baru 6 tahun, tapi sok-sokan membebaskan budaknya!” Namun, mereka tak bereaksi vulgar, karena enggan dengan Abdul Muthalib, yang nota bene tokoh utama bangsa Quraisy.
Sebaliknya, kebahagiaan Barakah membuncah. Dengan bercucuran air mata, dia memeluk Muhammad. Namun demikian, dia yang telah berusia 22 tahun ini tetap memilih tinggal di rumah Abdul Muthalib untuk bisa turut mengasuh Muhammad. Dia bersikukuh untuk terus berada di sisi Muhammad, meski bukan lagi sebagai budak.
Begitulah Muhammad kecil, yang sudah menunjukkan fokus perhatian pada persoalan humanisasi. Dan Abdul Muthalib semakin bangga pada cucunya ini. Sehingga, suatu kali seusai pertemuan dewan, Abdul Muthalib menggandeng cucunya menuruni tangga Ka’bah. Orang-orang memperhatikannya penuh keheranan, selain beberapa tetua terpilih dan para pendeta, tidak seorang pun diizinkan memasuki bangunan suci itu, apalagi seorang bocah yatim piatu.
Di dalam Ka’bah, Muhammad melihat ruangan persegi berisi patung-patung berukiran kasar yang dipaku ke dinding. Kemudian, Muhammad melihat sebuah lukisan besar, di tengah dinding utara bangunan suci itu. Sebuah bingkai kayu persegi, menampilkan gambar seorang wanita berkerudung yang tengah memeluk anak lelaki kecilnya.
“Ini lukisan dari Byzantium tentang Maryam bersama Isa, sang putra.” Jelas Abdul Muthalib begitu melihat cucunya tampak takjub menatap lukisan tersebut.
Ya,Muhammad menatap ibu dan anak itu, yang digambarkan saling menempelkan pipi. Sang ibu tampak sedih, sedang si anak berusaha menghiburnya, menyentuh dagunya dengan lembut.
Barangkali lukisan itu memantik ingatan Muhammad akan peristiwa dirinya bersama Aminah di Yatsrib, tiga minggu sebelumnya. Dan sebelum mereka keluar, Muhammad menoleh dan menatap kembali lukisan itu.
Demikianlah. Dan waktu terus berjalan. Tak terasa, dua tahun berlalu, dan kini Abdul Muthalib genap 83 tahun, ketika sakit menghampiri. Muhammad, bagaimanapun, tak mampu menahan air matanya. Dia berbaring di samping kakeknya. Dia merasakan sang kakek tengah di ujung usia.
Saat yang demikian, Abdul Muthalib mengangkat dagu Muhammad agar dia bisa menatap matanya, “O, Muhammad, namamu akan abadi, dan kau akan menjadi suri teladan!” Lantas sang kakek memejamkan mata untuk selamanya.
Benar-benar, sebuah momen haru bagi Muhammad, yang sedemikian apik dilukiskan Mohamad Jebara.
Dan sebelum mengembuskan nafas terakhir, Abdul Muthalib telah mengisyaratkan kepada Abu Thalib, agar setelahnya pengasuhan Muhammad jatuh ke dirinya. []
Baca juga: Begitu Agung

0 Komentar