[004]
MUHAMMAD terpana menatap pemandangan itu dari atas untanya saat rombongan menuruni bukit pasir luas Arabia menyisir Laut Merah. Untuk kali pertama, dia melihat bentangan air sejauh mata memandang, mendengar gemuruh debur ombak yang menenangkan.
Di pesisir Laut Merah, rombongan kafilah dagang itu beristirahat. Unta-unta dibiarkan bersantai atau berjalan-jalan di pasir yang basah. Muhammad duduk di pantai senja, memperhatikan unta-unta meninggalkan pola jejak dengan langkah mereka lalu membuang kotoran di jejak mereka sendiri.
Bertahun-tahun kemudian dia mengatakan, “Kotoran unta adalah bukti keberadaan unta, dan jejak yang tertinggal di pasir membuktikan bahwa binatang itu bisa berjalan, dan mengungkapkan ciri-cirinya—mesk kita tidak melihatnya. Dunia ini teramat luas dan sarat keajaiban, daratan dipenuhi keindahan, dan langit dipenuhi gugusan bintang yang bisa menunjukkan arah, bukankah itu semua bukti keberadaan Yang Mahapandai di balik semuanya?”
Anak kecil di pantai itu baru akan menjadi nabi puluhan tahun kemudian. Namun, dia telah mengasah pikirannya, mampu mengambil intisari berharga tentang sebuah fenomena besar dari kepingan-kepingan informasi kecil yang seolah tak bermakna.
Jika bukti keberadaan dan ciri-ciri unta tetap tertinggal bahkan setelah bintang itu pergi, dengan cara yang sama manusia bisa memahami keberadaan Ilahi yang mengatur alam semesta, kenangnya di kemudian hari.
Sambil menikmati ikan segar bakar untuk kali pertama, Muhammad menatap laut yang semakin gelap dan matahari yang memancarkan sinar terakhirnya mulai tenggelam. Laut yang berombak bagaikan cermin bagi hamparan padang pasir berbukit-bukit di belakangnya. Keduanya membentang luas seakan tanpa tepian.
Esok harinya, kafilah melanjutkan perjalanan. Muhammad menyaksikan kafilah mengular bagaikan aliran sungai, menyesuaikan diri dengan gangguan dan menyambar setiap kesempatan. Kelak, Muhammad akan berkhotbah, “Fondasi keimanan adalah berserah diri dan mengikuti arus, siapa pun yang terlalu kaku akan takluk dan ambruk akibat kekakuan mereka sendiri.”
Nah, dua pekan setelah meninggalkan Makkah, kafilah dagang tiba di pemberhentian besar pertama mereka di Yatsrib. Kesempatan itu pun digunakan untuk mengistirahatkan unta-unta dan menambah perbekalan. Empat tahun telah berlalu sejak kunjungan pertama dan satu-satunya Muhammad ke kota ini. Para kerabatnya dari Bani Najjar menyampaikan kabar duka tentang kematian kakek dan neneknya, Wahb dan Barrah. Dengan demikian, semua anggota keluarga inti Muhammad telah tiada.
Seusai dari Yatsrib, perjalanan lanjut menuju utara. Barulah terasa, mereka melewati berbagai macam masyarakat dan kebudayaan. Dialek, dan jenis bangunan, serta gaya berpakaian. Di Tabuk, misalnya, sebuah kota dibekas Kerajaan Madyan, Muhammad kagum melihat rumah berdinding batu. Juga saat melewati bilik-bilik penguburan Nabatean yang dipahat di tebing batu.
Akhirnya kafilah dagang tiba di ujung utara Arabia dan memasuki wilayah kota kuno Bosra. Sebuah gerbang lengkung besar menyambut mereka, dan untuk kali pertama pula Muhammad melangkah di jalan batu. Pepohonan menaungi jalanan, dan rumput subur tumbuh di sela-sela bangunan.
Kafilah menyusuri jalan raya yang diapit pilar-pilar, dan berhenti untuk beristirahat di sebuah biara yang dibangun menggunakan batu-baru kelabu besar berumur 200 tahun. Biara itu memiliki atap yang melengkung elegan, langit-langit berkubah dan dinding batunya yang mulus berukiran sulur-sulur anggur—sebuah mahakarya arsitektur jika dibandingkan dengan Ka’bah yang terbuat dari susunan sederhana.
Kedatangan kafilah dagang di biara menandai berakhirnya bagian perjalanan di padang pasir. Di situ mereka berkesempatan menikmati kesegaran makanan setempat. Para biarawan akan mendapatkan keuntungan dari menyediakan makanan untuk kafilah-kafilah yang lewat.
Dan selagi rekan-rekan perjalanannya berlomba-lomba menyerbu makanan yang tersedia, Muhammad kecil mencuci tangan terlebih dahulu. Muhammad, anggota termuda rombongan itu, dengan santai berjalan ke ujung antrean, lalu menunggu giliran dengan sabar. Ketika giliran tiba, Muhammad dengan sopan mengucapkan terima kasih kepada biarawan yang menghidangkan makanannya dengan mangkuk kayu.
Bahira, kepala biara saat itu, memperhatikan gerak-gerik Muhammad. Pria tua itu jarang memperhatikan orang-orang kafilah yang kebanyakan brutal. Namun, kedewasaan di luar usia dan tutur kata halus Muhammad membuatnya terkesan.
Bahira bertubuh kurus lantaran kerap berpuasa, berpipi tirus, dan berjanggut putih panjang. Jubah dari kain wol cokelat kasar berlubang yang dikenakannya memancarkan aura kesalehan. Dia berdarah campuran Assyria dan Armenia, telah berkelana selama bertahun-tahun di Asia dan Afrika, sebelum menyepi di biara bagian pinggir padang pasir ini.
Ketika Bahira meminta untuk diperkenalkan kepada si anak, anggota kafilah membawanya menemui Abu Thalib, yang memberitahukan bahwa Muhammad adalah kemenakan yatim piatunya. Abu Thalib mengizinkan Bahira bercakap-cakap dengan Muhammad. Abu Thalib hanya mengawasi ketika mereka berdua—pria tua dan anak kecil duduk di sebatang pohon zaitun tua—itu bercakap-cakap lirih, sehingga ia tak bisa mendengar dengan jelas.
Tetapi Abu Thalib melihat keduanya tampak akrab. Dan ternyata, selain firasah atau pembaca raut wajah, Bahira menjadi orang pertama di luar keluarga yang melihat potensi Muhammad. Kemudian Bahira berpesan kepada Abu Thalib, “Anak ini unik. Jagalah bakatnya baik-baik karena dia akan memberikan pengaruh pada dunia. Dia akan berhadapan dengan banyak musuh, dan akan ada banyak orang yang mencoba membunuhnya.”
Abu Thalib tak percaya, tapi ia tak membantah. Bahira melanjutkan, “Dia akan menggoyahkan fondasi keimanan mereka dan menolak mengikuti tata cara dunia mereka.”
Demikianlah. []
Baca juga: Di Bawah Bimbingan Fathimah

0 Komentar