Membebaskan

[VII]

SEKIRA kita jujur baca sejarah, kita akan temukan bahwa tujuan utama Baginda Muhammad menyiarkan risalah adalah pembebasan manusia. Atau memerdekakan umat manusia agar mampu menyadari martabat diri secara utuh: beriman dan beramal kebajikan.  

Lagian, setiap kali pemikir kontemporer  merenungkan hal-hal esensial mengenai kesejahteraan hidup, pasti akan terantuk pada kesimpulan bahwa yang diperlukan adalah kebebasan, persaudaraan, dan kesamaan. Dan kemudian, baik naluriah maupun logis, akan menempatkan kebebasan sebagai prasyarat pertama. 

Sungguh, kita umat manusia ini bukanlah objek material yang semata-mata tunduk kepada hukum perkembangan dan kehancuran. Dan juga bukan sejenis binatang yang hanya untuk hidup berdasar naluri, yang hanya menyandarkan pada pertahanan dan perkembangbiakan secara biologis. 

Walau terdapat determinisme semenjak dari materi sampai kehidupan binatang, seperti tanaman lebih bebas daripada materi anorganik. Ia berhasil membebaskan diri dari mekanisme murni materi, dan mengarah oleh dorongan hidupnya sendiri. 

Demikian pula binatang lebih bebas daripada tumbuh-tumbuhan, karena memiliki kemampuan untuk bergerak dan berkesadaran tingkat dini. Sehingga ia mendapatkan kebebasan lebih luas untuk menentukan pilihan, dan menyesuaikan diri dengan lingkungan. 

Bila kita teruskan kepada diri kita, manusia, maka terdapat sarana di atas mereka semua itu untuk hidup. Kita memiliki nalar, di samping naluri yang kebanyakan juga dimiliki oleh binatang-binatang. Tapi binatang-binatang hanya pada tingkat sadar ruang; sedangkan manusia memiliki kesadaran atas waktu, sadar terhadap diri sendiri. 

Dari situ jelaslah, peningkatan kesadaran itu merupakan peningkatan nalar dan, berbarengan dengan ini, cakupan kebebasannya pun semakin besar. Sehingga, evolusi kehidupan itu tak lain adalah mengembangkan kebebasan yang selaras dengan pengembangan kesadaran dan nalar.

Nah, menurut anggapan para pencela Islam, umat Islam itu gagal menghayati kebebasan karena dari sononya memang Islam hanyalah agama dogma yang antikebebasan. Benarkah demikian?

Mari kita telusuri. Adalah tak diragukan lagi bahwa Allah merupakan sumber segala eksistensi, sebab dari segala sebab. Apa pun yang ada, keberadaannya disebabkan oleh kehendak-Nya. Dia adalah pencipta, pemelihara dan sekaligus pemberi petunjuk. 

Bila Dia menghendaki sesuatu, manusia tidak dapat mengelakkannya. Bila Dia menghendaki, Dia pasti akan menjadikan semua manusia dalam keadaan baik sehingga mereka tidak akan memilih jalan yang salah. 

Tetapi ternyata Al-Qur’an justru menyatakan bahwa “Dia tidak menghendaki demikian”, karena Allah Ta’ala tidak menginginkan manusia menjadi baik secara otomatis. Bahwa kesempurnaan suatu eksistensi tidak dapat dijadikan baik secara paksa. Maka, tidak ada paksaan dalam ber-Islam.

Oleh karenanya, kebebasan adalah esensi kebaikan. Jika tanpa kebebasan, barangkali hanya ada kebaikan model malaikat atau berbagai makhluk di bawah tingkatan manusia, seperti kekuatan, keindahan atau kebaikan tumbuh-tumbuhan, binatang atau pada gejala kealaman; semua itu memang wujud kebenaran, tetapi yang dimaui Islam tak berhenti di situ.

Baginda Muhammad menuntun suatu konsep, pertama, Allah secara esensial adalah bebas, dan hanya Dialah yang memiliki kebebasan mutlak. Dia mencipta apa yang dikehendaki-Nya dan melakukan sesuatu yang dikehendaki-Nya pula. 

Kedua, roh [yang ditiupkan kepada] manusia adalah roh Allah sendiri. Karena itu jika Allah bebas, berarti sifat kebebasan esensial-Nya pun dimiliki oleh manusia. Ketiga, tatkala kemudian manusia ditetapkan sebagai khalifah (pengemban amanat) Allah di muka bumi, berarti pula umat manusia ini mendapat pelimpahan kebebasan-Nya. 

Dari situlah, pelaksanaan kebebasan Adam itu justru dalam ketidaktaatannya [terhadap larangan Allah]. Walaupun ketidaktaatan itu di luar kehendaknya, tetapi ia merupakan bukti atas adanya kebebasan itu sendiri. Sehingga, kita tangkap pula sekiranya sikap membangkang anak-anak yang beranjak dewasa itu merupakan tanda nyata akan datangnya usia matang.

Kemudian keempat, masuk ke tujuan hidup, yakni meneladani sifat Tuhan, menjadi hamba-Nya. Kita mampu menyeberang dari determinisme eksternal masuk ke dalam determinisme kemandirian (self-determinism) yang tiada lain merupakan padanan dari kata kebebasan. Bahwa kemanusiaannya identik dengan kebebasannya. Manusia dikatakan manusiawi hanya apabila sampai batas tertentu dia bertindak secara bebas. Bahkan seandainya dia secara bebas mengambil pilihan salah, dia dikatakan lebih manusiawi ketimbang dia melakukan yang benar karena dipaksa.

Al-Qur’an menyatakan, “Kami telah menunjukkan kepada manusia dua jalan,” ini berarti bahwa tersedia pilihan untuk mendapatkan rahmat atau kutukan. Dan Allah telah menetapkan tatanan moralnya. Bahwa pahala atau siksa timbul dari perbuatan-perbuatan yang baik atau buruk, dengan aturan moral yang ditetapkan Allah.

Walhasil, kebebasan merupakan esensi manusia karena dengan itu ia meningkatkan diri ke tingkat ketuhanan dan di situ pulalah terletak martabat tertinggi manusia. Al-Qur’an telah menetapkan manusia sebagai penguasa alam; maka mustahil bisa menguasai alam jika masih diperbudak oleh kekuatan alam. Mustahil makhluk yang memiliki roh Allah tidak memiliki kebebasan sama sekali. 

Namun demikian, kebebasan itu sendiri bukan tujuan. Nabi dari negeri Madinah itu mengajarkan bahwa kita mendapat kebebasan agar bebas menundukkan kehendak kita kepada kehendak Allah. Dan hanya dengan mengikuti roh Allah-lah yang dapat menjadikan kita bebas secara murni. 

Robert Green Ingersell, negarawan berkebangsaan Amerika, mengatakan, “Cahaya apa pun adalah untuk mata, udara apa pun adalah untuk tenggorokan, cinta apa pun adalah untuk hati, sedang kebebasan adalah untuk jiwa manusia. Tanpa kebebasan, otak tak ubahnya seperti rumah tahanan di bawah tanah, di mana pikiran-pikiran yang kalut mati berhamburan karena terjepit pintu-pintu yang tidak berengsel.”

Dan tugas suci agama adalah memberikan kebebasan kepada umat manusia. Bebas dari belenggu alam, belenggu sesama manusia, sehingga bisa bebas untuk bertuhankan Allah (kualitas Abdullah, hamba Allah) dan sekaligus memberadabkan dunia (kualitas khalifatullah, pengemban amanat Allah). 

Sungguh, beliau—dan seyogianya kita turut serta—berkewajiban “melenyapkan beban dan belenggu yang mengekang kebebasan umat” (Al-A’raf: 157).

Demikian! []

Posting Komentar

0 Komentar