Menempuh Jalan yang Sulit

BARANGKALI akan ada yang bertanya, “Mengapa Baginda Nabi dan para sahabat harus menderita akibat penyiksaan, padahal mereka adalah pihak yang benar? Mengapa Allah seakan berlepas dari mereka, padahal mereka adalah tantara-Nya, dan di tengah mereka ada Rasul-Nya, dan mereka mengajak orang untuk memeluk agama-Nya serta berjihad di jalan-Nya?

Nah, Dr. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy mengetengahkan hal ini. Adalah penting diketahui bahwa karakteristik pertama manusia di dunia ini adalah sebagai mukalaf. Artinya, dia dituntut Allah untuk menanggung beban dan kesulitan. Sementara, perintah dakwah Islam dan jihad untuk menegakkan kalimat Allah merupakan beban (taklif) yang paling berat.

Beban merupakan salah satu konsekuensi terpenting penghambaan manusia kepada Allah, karena penghambaan akan kehilangan makna jika tak disertai taklif. Jadi, penghambaan meniscayakan taklif, dan taklif mengharuskan manusia memikul beban kesulitan dan perjuangan melawan nafsu.

Maka, kewajiban seorang hamba di dunia ini adalah mewujudkan, pertama, berpegang teguh pada Islam dan membangun masyarakat Islam yang baik. Kedua, menempuh jalan yang sulit, menghadapi segala bahaya, serta mengorbankan nyawa dan harta demi mewujudkan yang pertama.

Artinya, Allah Swt. menugasi kita untuk meyakini tujuan, juga menugasi kita untuk menempuh jalan yang sulit dan panjang dengan segala rintangan da bahayanya untuk mencapai tujuan tersebut.

Seandainya Allah berkehendak, tentu sangat mudah bagi-Nya mewujudkan komunitas Islam yang adil, Makmur, dan sejahtera setelah mereka menyatakan beriman kepada-Nya. 

Namun, jalan yang mudah, lempang, dan tanpa hambatan tidak menunjukkan sedikit pun penghambaan orang yang hendak menuju Allah Swt. Tidak membuktikan bahwa ia telah menjual hidup dan harta benda kepada-Nya sejak menyatakan beriman. Juga tidak membuktikan bahwa hawa nafsunya sudah tunduk patuh mengikuti ajaran Rasulullah Saw.

Oleh karenanya, tanpa beban kesulitan, pastilah orang munafik dapat melakukan kerja yang sama kerasnya seperti yang dilakukan kaum mukmin, sehingga satu sama lain tidak bisa dibedakan.

Dengan demikian, semua perjuangan itu merupakan konsekuensi dari tiga hal. Pertama, karakter penghambaan manusia kepada Allah Swt. yang bersifat wajib (baca Adz-Dzariyat: 56). 

Kedua, karakter taklif yang bersumber dari karakter penghambaan. Setiap orang, laki-laki maupun perempuan, yang sudah baligh, dibebani oleh Allah Swt. untuk menerapkan syariat Islam pada dirinya, dan mewujudkan aturan Islam di tengah masyarakatnya dengan menanggung berbagai kesulitan dan intimidasi.

Ketiga, pembuktian kebenaran ucapan orang yang jujur dan kebohongan para pendusta. Seandainya manusia dibiarkan mengaku-aku Islam dan mencintai Allah hanya dengan ucapan, tentu sama saja antara orang jujur dan orang yang berdusta. Hanya saja, ujian dan cobaan merupakan timbangan yang membedakan antara yang benar dan bohong.

Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang yang berjihad di antaramu, dan belum nyata orang yang sabar.” (Ali Imran: 42)

Sunnatullah tersebut tidak akan berubah sepanjang masa dan berlaku bagi semua manusia, termasuk para nabi, dan orang-orang pilihan. Oleh karena itu, Baginda Rasul Muhammad pun mengalami intimidasi dari kaum Qurasiy.

Maka, sudah sepatutnya seorang muslim menyingkirkan sikap putus asa kala menghadapi ujian atau cobaan. Sebaliknya ia mesti melihat bahwa kesulitan sebagai sesuatu yang sesuai dengan karakteristik agama ini. Artinya, ia harus bersuka cita menyambut kabar gembira kemenangan setiap kali mengalami cobaan.

Jadi, intimidasi atau jalan sulit yang dialami Baginda Nabi dan para sahabat bukan pertanda Allah Swt. jauh dari beliau-beliau itu.

Kemudian, kemenangan Islam yang dijanjikan Allah pun pasti terwujud. Hanya saja, sejarah menunjukkan, ternyata baru terwujud pada era sahabat. Seperti penaklukan Romawi dan Persia, penyerahan Baitul Maqdis, dan seterusnya. Andaikan penaklukan itu tidak terikat oleh sunnatullah, mestinya terjadi pada era Baginda Nabi, karena jelas-jelas beliau adalah nabi-Nya, beliau memiliki kedudukan istimewa di hadapan Allah Swt.

Pendeknya, konsekuensi menghamba kepada Allah Swt., mengikuti syariat yang diajarkan Baginda Rasul, adalah berela menempuh jalan yang sulit sebagai kemenangan.

Demikian!  

Baca juga: Dakwah Terang-Terangan

Posting Komentar

0 Komentar