DARI periode Sirah Nabi Saw. ini, ada tiga hal yang penting untuk digarisbawahi.
Pertama, ketika Rasulullah Saw. mendakwahkan Islam secara terang-terangan kepada suku Quraisy dan bangsa Arab umumnya, beliau mengejutkan mereka dengan sesuatu yang tidak pernah mereka perkirakan. Ini jelas sekali tampak dari reaksi Abu Lahab kepada Muhammad dan kesepakatan para tokoh Quraisy untuk memusuhi dan melawannya.
Periode penting dalam Sirah Nabi Saw. ini mengandung jawaban yang akan membungkam para penulis yang berupaya menggambarkan Islam, beserta syariat dan hukumnya, sebagai buah nasionalisme Arab. Mereka juga mengklaim bahwa Muhammad dengan dakwahnya hanyalah cerminan idealism dan cita-cita bangsa Arab pada zamannya itu.
Seorang peneliti yang mau menelaah Sirah Nabi Saw. dengan jujur tidak akan bersusah payah menyangkal atau mendebat tuduhan dan kalim mereka yang menggelikan itu. Sebab, orang yang melontarkan klaim itu sendiri adalah orang pertama yang menyadari betapa naif dan palsunya kalim tersebut. Bagaimanapun, mereka merasa harus melontarkan tuduhan dan klaim itu untuk menyingkirkan Islam dan pengaruhnya agar tidak menghalangi perkembangan paham yang mereka anut. Bagi mereka, tidak lagi penting apakah tuduhan itu benar atau tidak selama mereka bisa meraih tujuan dan memenuhi kepentingan.
Kedua, bisa saja Allah Swt. tidak memerintahkan Rasul-Nya untuk menyampaikan peringatan keluarga dan sanak kerabatnya secara khusus, karena telah tercakup dalam perintah-Nya, “Maka siarkanlah apa yang diperintahkan kepadamu!”
Kalimat itu bersifat umum mencakup semua orang termasuk anggota keluarga dan sanak kerabat. Tapi, mengapa ada perintah agar Nabi Saw. secara khusus menyeru keluarga dan kerabat?
Perintah bersifat khusus itu sesungguhnya mengandung isyarat tentang tingkatan-tingkatan tanggung jawab kaum Muslim umumnya dan secara khusus para juru dakwah. Tingkatan tanggung jawab yang paling rendah adalah tanggung jawab setiap orang pada dirinya sendiri. Untuk memenuhi tanggung jawab tingkat pertama ini, fase permulaan wahyu berlangsung dalam jangka waktu cukup lama. Tujuannya adalah agar Muhammad Saw. merasa tenang dan mantap bahwa dia memang seorang nabi yang diutus, dan bahwa yang diturunkan kepadanya adalah wahyu dari Allah Swt. Maka, beliau mengawali dengan beriman kepada dirinya sendiri kemudian mempersiapkan diri untuk menerima segala prinsip, sistem, dan hukum yang selanjutnya diwahyukan.
Tingkatan berikutnya adalah tanggung jawab setiap Muslim kepada keluarga dan sanak kerabatnya. Untuk memenuhi tanggung jawab tingkatan ini Allah Swt. memerintahkan Nabi-Nya secara khusus untuk memberi peringatan kepada keluarga dan sanak kerabat dekatnya. Perintah ini disampaikan setelah perintah bersifat umum untuk berdakwah secara terang-terangan. Tanggung jawab tingkatan ini harus dipenuhi oleh setiap Muslim yang punya keluarga dan sanak kerabat. Tidak ada perbedaan antara dakwah Rasulullah Saw. kepada masyarakat umum dan dakwah kepada sanak keluarganya. Beliau mendakwahkan syariat baru yang diturunkan Allah kepada beliau, baik kepada manusia secara umum maupun kepada keluarga dan sanak kerabatnya. Bahkan, beliau merasa wajib “memaksa” keluarganya untuk melaksanakannya. Seperti itu pulalah seharusnya sikap seorang Muslim terhadap keluarga dan sanak keluarganya.
Tingkatan yang ketiga adalah tanggung jawab seorang alim kepada kampung halaman atau negerinya, dan tanggung jawab penguasa kepada negara dan rakyatnya. Kedua kelompok ini, orang yang berilmu dan penguasa, seakan-akan meneruskan tanggung jawab Rasulullah Saw., karena mereka adalah ahli waris Rasulullah Saw. secara syariat, sebagaimana disebutkan dalam hadis, “Ulama adalah pewaris nabi.” Sementara, pemimpin dan penguasa adalah khalifah, yakni pemimpin yang meneruskan tugas dan tanggung jawab Rasulullah Saw. kepada umat.
Namun, seorang imam dan penguasa di tengah masyarakat Islam haruslah memiliki ilmu. Sebab, tidak ada beda antara tanggung jawab yang diemban Rasulullah Saw. dan tanggung jawab para ulama serta penguasa. Bedanya, Rasulullah Saw. adalah pembawa syariat baru yang diwahyukan Allah kepadanya, sementara mereka adalah pengikut jejak Rasulullah Saw. serta berpegang teguh pada Sunnah dan Sirah-nya dalam setiap tindakan dan ucapan.
Jadi, sebagai mukalaf, Nabi Muhammad Saw. bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Sebagai orang yang punya keluarga dan kerabat, beliau beratnggung jawab pada keluarga dan kerabatnya. Terakhir, sebagai nabi dan utusan Allah, beliau beratnggung jawab pada seluruh umat manusia. Setiap Muslim pun memiliki tanggung jawab yang sama. Sebagai mukalaf, kita harus bertanggung jawab atas diri kita sendiri; begitu pula sebagai kepala keluarga, ulama, dan juga penguasa. Semua posisi itu meniscayakan adanya tanggung jawab.
Ketiga, Rasulullah Saw. mencela kaumnya karena menjadi budak dari kebiasaan leluhur tanpa pernah memikirkan baik dan buruknya bagi mereka. Kemudian, Rasulullah Saw. mengajak mereka untuk memerdekakan akal dan belenggu taklid dan fanatisme pada tradisi yang tidak disadari pemikiran dan logika. Ini mengandung arti bahwa keyakinan terhadap agama ini, seharusnya dibangun di atas logika dan pemikiran rasional. Sementara, tujuan dari agama ini adalah mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Maka, salah satu tanda keimanan yang benar kepada Allah dan segala persoalan keyakinan lainnya adalah jika keimanan itu didasari pemikiran yang bebas, tanpa sedikit pun dipengaruhi oleh taklid.
Dari sini, kita bisa mengetahui bahwa agama datang untuk memerangi fanatisme dan mencegah manusia dari belenggunya. Sebab, dalam semua prinsip dan hukumnya, agama dilandasi akal dan logika yang sehat. Sedangkan fanatisme hanya dilandasi dorongan untuk mengekor tanpa melibatkan pengamatan dan pemikiran sedikit pun.
Islam bukanlah tradisi dan tidak mengandung tradisi. Islam adalah agama yang datang justru untuk membebaskan akal dari cengkeraman tradisi, sebagaimana yang kita lihat pada langkah-langkah pertama dakwah Rasulullah Saw. Sementara, tradisi hanyalah kumpulan perilaku yang dilakukan manusia hanya dengan dorongan taklid, tidak melibatkan akal dan pemikiran.
Prinsip-prinsip Islam adalah garis dan ketentuan yang mengatur gerak zaman, bukan sebaliknya. Sementara tradisi adalah kumpulan “benalu” yang tumbuh sendiri di tengah ladang pemikiran masyarakat. Maka, tradisi adalah racun yang harus dijauhkan dan dibersihkan dari jalan pikiran yang sehat.
Demikianlah…!
Baca juga: Tahapan Dakwah

0 Komentar