Zainab binti Jahsy

BARANGKALI inilah pernikahan Nabi yang paling kontroversial, yaitu pernikahannya dengan Zainab binti Jahsy. 

Sebuah pertalian nikah yang diturunkan langsung oleh Allah dalam firman-Nya, surah Al-Ahzab [33]: 37-40. Sehingga, menjadikan Zainab sangat diperhitungkan oleh Aisya dalam persaingan antarmadu di hadapan Baginda Nabi. 

Namun, dari kisah yang beredar, terus terang saya cukup terganggu dengan penuturan yang menandakan kerendahan moral. Kisah yang mengesankan bahwa Baginda Muhammad terguncang menatap Zainab. Dan Zainap pun seperti sengaja menggoda sang Nabi.

Dikisahkan, suatu hari Baginda Muhammad berkunjung ke rumah sahabat dan sekaligus anak angkatnya, Zaid bin Haritsah. 

Kebetulan Zaid lagi tidak di rumah. Sementara istrinya, Zainab binti Jahsy, yang menemui dengan berpakaian tipis atau seadanya. 

“Dia sedang tidak ada, hai Rasulullah,” kata Zainab, “tapi demi bapak dan ibuku, silakan masuk!”

Saat Zainab berdiri di pintu, ia tampak berseri-seri, sehingga membuat Baginda Muhammad merasa tergoda dan menolak masuk rumah, lalu pergi seraya bergumam, “Mahasuci Allah yang mengalihkan kecenderungan hati.”

Itulah yang tersiar, dan saya tak nyaman, walau didukung oleh sumber-sumber primer, seakan Baginda Muhammad baru kali pertama mengenal dan melihat kecantikan Zainab. Dan Zainab pun digambarkan sengaja mengundang hasrat kejantanan Nabi. Memang, Zainab binti Jahsy ini sedari dini sangat menghormati bahkan tumbuh perasaan cinta pada beliau, tetapi tidak lantas kebablasan menggadaikan kehormatan dirinya. Sehingga, saya menampik penuturan tentang Zainab yang konon sengaja menggoda sang Baginda. 

Tentang pernikahan tersebut, saya lebih cocok dengan merujuk penuturan Muhammad Asad, dalam uraian penjelasan The Message of the Quran. 

Adalah beberapa tahun sebelum Baginda Muhammad diangkat menjadi Nabi, Sayyida Khadija menghadiahkan kepadanya seorang budak muda, Zaid bin Haritsah.

Zaid adalah seorang keturunan Arab Utara suku Bani Kalb, yang sewaktu kecil dijadikan tawanan dalam salah satu dari sekian banyak perang antarsuku. Kemudian ia dijual sebagai budak di Makkah.

Begitu menjadi tuan dari Zaid, Baginda Muhammad memerdekakannya, dan tak lama kemudian mengangkatnya sebagai anak. Sehingga, semenjak itu ia dipanggil Zaid bin Muhammad. 

Dan Zaid pula, pada gilirannya, adalah salah seorang di antara yang pertama masuk ajaran yang diserukan Baginda Muhammad, agama Islam. 

Beberapa tahun kemudian, terdorong oleh Hasrat untuk menghapus prasangka Arab kuno yang menentang pernikahan antara seorang budak atau bahkan seorang yang telah merdeka dengan seorang wanita yang terlahir merdeka, Baginda Muhammad membujuk Zaid untuk menikahi Zainab binti Jahsy.

Zainab binti Jahsy adalah sepupu Baginda Muhammad, putri bibinya, Umaymah binti Abdul Muthalib. Jadi, Umaymah adalah saudara kandung Abdullah, ayahanda Baginda Muhammad. Dan Umaymah menikah dengan Jahsy dari Bani Asad bin Abdul Uzza.

Namun, tanpa disadari oleh sang Baginda, Zainab ini telah mencintainya semenjak dini. Oleh karenanya, Zainab “terpaksa” menyetujui pernikahan yang diajukan dengan rasa keengganan yang besar. Dan dilakukan demi menghormati otoritas sang Nabi. Padahal semula telah menolak keras.

“Aku tidak ingin pernikahan ini. Nasabku jauh lebih terhormat ketimbang dia.” tegas Zainab.

“Saya tahu, tetapi nikahlah dengannya!”

“Apakah harus begitu, wahai Rasulullah?”

“Ya.”

“Baiklah,” ujar Zainab, “kalau begitu aku kawin demi hormatku kepada Rasulullah.”

Dari sisi Zaid, ia pun tidak terlalu menginginkan pernikahan itu. Ia sudah merasa bahagia menikahi budak lainnya yang telah merdeka, yakni Ummu Aiman, ibu dari anaknya, Usamah. 

Maka, tidaklah mengejutkan bahwa pernikahan ini tidak membuahkan kebahagiaan, baik pada Zianab maupun Zaid. 

Beberapa kali Zaid berniat menceraikan istri barunya ini yang secara terang-terangan menunjukkan rasa tidak suka padanya, tetapi setiap saat mereka selalu dibujuk Baginda Rasul untuk bersabar dan tidak berpisah.

Namun, pada akhirnya, pernikahan Zaid dan Zainab, yang didukung oleh Nabi sendiri, dan yang didorong dengan amat keras olehnya, adalah sebuah kegagalan total, dan hanya dapat berakhir dengan perceraian, tahun 627. 

Tidak lama setelah itu, semenjak turun ayat 37-40 dari surah Al-Ahzab, Baginda Muhammad menikahi Zainab untuk memulihkan apa yang dia anggap sebagai tanggung jawab moral atas ketidakbahagiaan Zainab dahulu. 

Alhasil, Zainab hidup bahagia, sangat Bahagia malahan. Keagungan yang ia rindukan tergenggam sudah. Bahwa akhirnya bisa menjadi istri seorang nabi, apalagi suaminya ini merupakan kebanggaan Bani Abdul Muthalib.

Dan lagi, pernikahan Zainab yang ini adalah berkat perintah langsung dari Tuhan. Sehingga, dengan bangga ia mengatakan kepada madu-madu yang lain, “Kalian semua dikawinkan oleh bapak-bapakmu. Sedangkan aku dikawinkan langsung oleh Allah Swt.”

Berarti sungguh, Baginda Muhammad tak merekayasa pernikahan dirinya dengan Zainab. Lagi pula, ayat-ayat tentang Zaid dan Zainab ini susah diungkapkannya. Di lubuk hatinya, tebersit rasa takut bahwa ia telah menikahi menantunya. Tetapi Tuhan tak menghendaki hal itu dirahasiakan. 

Sampai-sampai Sayyida Aisya bersaksi atas ayat-ayat tersebut, “Andaikan Rasulullah cenderung menyembunyikan apa yang diwahyukan kepada beliau, tentunya ayat ini sudah disembunyikan olehnya.” 

Tetapi beliau tak menyembunyikannya. Sehingga, dengan sendirinya pula, peristiwa pernikahan Zainab binti Jahsy yang diabadikan langsung oleh Allah, telah menyanggah anggapan bahwa Al-Quran digubah oleh Baginda Muhammad. 

Berikutnya, terlepas dari keinginan sang Baginda untuk menebus ketidakbahagiaan Zainab di masa lalu, maksud Ilahi menjadikannya menikahi mantan istri anak angkatnya adalah untuk menunjukkan bahwa hubungan adopsi tidak menyebabkan pembatasan pernikahan sebagaimana yang disebabkan oleh hubungan orangtua-anak kandung.

Nah, saat itu Zainab sebenarnya tidak muda lagi, umurnya hampir 35 tahun—sepantaran Ummu Salama—tapi termasuk awet muda, juga lebih jelita. Terlebih kemudian ia hidup tenang dan teramat bahagia di sisi Baginda Muhammad. 

Dan, Sayyida Aisya cukup hati-hati dengannya. Malahan ia mengakui, “Tak seorang pun di antara istri-istri Nabi yang mengungguliku, kecuali Zainab binti Jahsy.”

Zainab sangat saleh, sering berpuasa, banyak salat malam, dan sangat dermawan. Ia seorang pengrajin kulit yang sangat terampil, dan semua hasil jerihnya ini, ia serahkan untuk menyantuni fakir miskin.

Lagi-lagi Aisya mengakui, “Belum pernah kulihat seorang wanita yang lebih baik dalam hal agama daripada Zainab. Ia juga paling takwa, paling jujur dalam tutur kata, paling kuat menjalin silaturahim, paling dipercaya, paling amanah, dan paling banyak sedekah.”

Bahkan sebelumnya, lantaran sebagai ahli sedekah, sehingga mengundang decak kagum Baginda Nabi, beliau pun bersabda di depan para istri, “Yang paling cepat di antara kalian bertemu denganku adalah yang paling panjang tangannya.”

Lalu, istri-istri beliau mengukur tangan masing-masing dan saling membandingkan tangan siapa yang paling panjang. Dan, setelah sang Baginda wafat, kemudian disusul Zainab beberapa tahun kemudian, baru disadari kalau yang dimaksud “panjang tangan” adalah banyak bersedekah. Zainab binti Jahsy adalah istri Baginda Nabi yang berpulang menyusul sang suami paling awal, yakni pada awal kekhalifahan Umar bin Khattab.  

Demikian. 

Ungaran, 13 Oktober 2025

Posting Komentar

0 Komentar