ENTAHLAH, jadinya saya malah membayangkan Ummu Salamah itu seperti Sayyidah Khadijah. Cantik, cekatan, dan sangat cerdas.
Setelah Zainab binti Khuzaimah meninggal dunia, Januari 626, Ummu Salamah-lah yang bergabung dengan Saudah, Aisyah, dan Hafshah di pondok-pondok kecil di samping Masjid Nabawi.
Aisyah paham betul bahwa mereka itu menjadi istri Nabi karena rasa simpati, rasa ingin turut meringankan beban derita, dan terutama mengangkat harga diri sebagai wanita terhormat. Sebagai istri-istri dari para mendiang ahli Badar, Uhud, dan, ya, pokoknya para pejuang utama Islam.
Ya, ia melihat suaminya terpukul atas meninggalnya Abu Salamah, sahabat terkemuka yang turut berhijrah ke Habasyah, dan kemudian wafat seusai Perang Uhud. Abu Salamah meninggalkan Ummu Salamah yang mesti menanggung empat anak, bahkan yang bungsu masih menyusui. Maka, kemudian sang Rasul menikahi Ummu Salamah dan merangkul putra-putrinya untuk hidup berkumpul dalam keluarga besar Nabi.
Aisyah sedemikian menghormati Saudah. Aisyah bersaudara akrab dengan Hafshah. Juga sempat berbagi kasih dengan Zainab binti Khuzaimah. Tetapi terhadap Ummu Salamah, yang berusia 34 tahun, terbit perasaan minder dalam diri Aisyah.
Adalah Hindun binti Abu Umayyah bin al-Mughirah, yang kemudian terkenal dengan panggilan Ummu Salamah, mewakili elite bangsawan di kalangan Muhajirin, karena merupakan putri terkemuka Bani Makzhum, salah satu kabilah berpengaruh di Makkah.
Sebagaimana Baginda Muhammad, yang juga merupakan laki-laki bangsawan dari Bani Hasyim, persisnya cucu Abdul Muthalib, pemuka Quraisy dan pemimpin Darun Nadwah, tempat pertemuan Quraisy. Abdul Muthalib dipercaya oleh semua kalangan kabilah Makkah sebagai penguasa Ka’bah.
Sementara Aisyah dan Hafshah, dua putri sahabat utama Nabi, mewakili anggota masyarakat biasa. Walau demikian, Baginda Muhammad tidak pernah memandang derajat seseorang dari latar bangsawan atau pun jelata.
Namun, sekali lagi kehadiran Hindun binti Abu Umayyah menjadi istri Baginda Muhammad langsung mengingatkan saya pada sosok Khadijah binti Khuwailid. Sama-sama janda dengan membawa putra-putri dari mendiang suami sebelumnya. Kedua mereka ini, selain cantik jelita juga sama-sama bisa menjadi sahabat bercurah ide Baginda Muhammad.
Kisah di perjanjian Hudaibiyah menunjukkan betapa Hindun itu cerdas. Pemikirannya matang. Sehingga, tak salah Baginda Muhammad meminta pendapatnya. Dan sejarah membuktikan, pendapat Ummu Salamah telah membawa berkah dan kebaikan untuk kaum Muslimin secara menyeluruh.
Ketika sang Baginda menjalankan usulan istrinya ini, para sahabat pun bergegas memenuhi perintah Nabi Saw. setelah sebelumnya mereka enggan mendengar seruannya.
Ummu Salamah, yang sebelumnya menyimak dengan saksama penuturan suaminya, lantas tersenyum dan menjernihkan hati beliau bahwa para pengikutnya itu hanya cemas dan sedih dengan pakta perjanjian. Mereka berpikir bahwa persyaratan perjanjian Hudaibiyah tidaklah adil bagi umat Islam (persis hal ini, saya juga langsung terngiang pakta gencatan antara Hamas dengan Israel, di mana Zionis Israel kerap mengingkari).
Hanya saja, awal memasuki bahtera sang Nabi, tebersit perasaan tidak yakin pada diri Hindun. “Wahai Rasulullah, orang sepertiku tidak layak untukmu. Usiaku sudah melewati batas pernikahan, tak mungkin lagi aku mempunyai keturunan. Aku perempuan pencemburu. Aku juga mempunyai anak-anak masih kecil.”
Tetapi, Baginda Rasul bisa meyakinkannya bahwa usia tak menghalangi untuk istiqomah menjadi pribadi yang bermartabat. Terkait rasa cemburu adalah wajar, dan Tuhan akan menyembuhkannya, yang akhirnya memang Ummu Salamah menjadi seorang istri yang semakin matang di bilik cinta Baginda Muhammad.
Sang Baginda menunjukkan bahwa ajaran yang dibawanya sangat menghormati perempuan. “Sesungguhnya kaum perempuan adalah sepadan dengan kaum lelaki.” Sabda beliau.
Dan memang, dalam biduk rumah tangga beliau, kita baca betapa Baginda Muhammad sangat menghormati perempuan, sampai-sampai tangannya pun tak pernah melayang ke muka atau anggota badan lainnya. Sayyidah Aisyah bersaksi, “Rasulullah sama sekali tidak pernah memukul dengan tangannya, baik terhadap perempuan ataupun pelayannya.”
Hal ini berbalik dengan kebiasaan para suami, entah dulu entah sekarang, yang gampang memukuli istri-istri mereka tanpa berpikir dua kali.
Alhasil, Ummu Salamah—yang sebelumnya menikah dengan Abu Salamah (Abdullah) bin Abdul Asad al-Makhzumi, memiliki empat anak, yakni Umar, Salamah, Durrah, dan Zainab, bahkan Zainab ini masih menyusu—menghuni di salah satu bilik-bilik istri Nabi setelah Perang Uhud. Baginda Nabi menikahi Ummu Salamah karena ingin mengobati hatinya setelah ditinggal gugur suaminya akibat luka parah saat Perang Uhud.
Ummu Salamah tinggal bersama Nabi dengan agung dan terhormat. Luka hatinya terobati, dan ia mendapat curahan cinta yang lembut dari seorang suami sejati. Ia pun hidup tenang beserta putra-putri kandungnya bersama beliau.
Sungguh, Ummu Salamah ini cepat beradaptasi dengan kehidupan keluarga Nabi. Ia seakan bisa menggantikan posisi Khadijah. Betapa Ummu Salamah ternyata bisa dan sangat dekat dengan Fathimah yang telah dinikahkan dengan Ali sekembali dari Perang Badar. Kelak, ia pun dekat dengan Hasan dan Husain.
Lebih dari itu, Ummu Salamah segera menjadi juru bicara bagi para perempuan Madinah, termasuk kelak ketika istri-istri Baginda Muhammad tengah gusar, mereka berkumpul di bilik Ummu Salamah.
Para perempuan Madinah itu bertanya, dan Ummu Salamah membawa pertanyaan kepada suaminya. Pun, tatkala istri-istri sang Baginda mendesak Ummu Salamah agar menyampaikan kepada Nabi soal pemberian hadiah para sahabat yang ditepatkan waktu bergilir Nabi hanya di rumah Aisyah.
Para istri memprotes via Ummu Salamah. Tapi jelas bukan soal pengharapan akan hadiah, mereka hanya tak ingin Aisyah diperlakukan istimewa. Lagi-lagi, Ummu Salamah yang jadi penengah para istri, yang jadi juru bicara. Dan Ummu Salamah dengan lembut menyampaikan keberatan mereka kepada sang tercinta, Baginda Muhammad.
Demikian, Ummu Salamah adalah istri Baginda Nabi yang wafat paling akhir, 62 H. []
Ungaran, 13 Oktober 2025
Baca juga: Seuntai Kalung

0 Komentar