Desas-Desus

LAMA AKU menatap layar gawai. Baca satu demi satu update status kawan-kawan. Namun, semuanya serasa lewat saja. Hingga, “Yah, lagi ngapain? Itu lho, baju-baju kotor sudah numpuk,” lantang istriku, yang sontak menyadarkan hari ini jadwalku mencuci. Ya, aku dan istri telah bersepakat, tiga hari sekali jatah mencuci. Dan bersepakat pula, dalam kondisi apa pun, akulah yang berkewajiban mencuci. Tidak istriku, mesin cuci, apalagi jasa binatu.  

Aku bergegas ke kamar mandi. Menuang sedikit air dalam ember lebar yang biasa kugunakan untuk merendam cucian. Satu deterjen ukuran 45 gram, kutuang ke dalamnya. Aduk memutar ke kiri dengan tangan kiri pula. Detik kemudian, baju, celana, kaus, seragam istri, sarung, kain kerudung istri, kaus kaki, dan semua kumasukkan dalam rendaman. Kurang lebih limabelas menit, aku biarkan terendam. 

“Ayah, nggak capek kan mencuci sendiri?” tanya Rahma, setelah melihatku selesai merendam semua yang kotor.

“Ya, nggaklah, Bun!” Tapi dalam hati berteriak beda, bisa jadi ini jawaban pura-pura aku, yang aslinya capek juga. 

Sembari menunggu deterjen merata, menyelimuti semua yang kotor, aku kembali ke ruang tengah. Ternyata sudah banyak unggahan status yang melenggang di ponselku. Seraya menyeruput kopi yang kini tinggal separuh, kubaca sekilas-sekilas semua kabar yang tersiar, karena memang tak ada perbaruan pikiran yang menggugah. Belum ada yang perlu dikomentari, paling banter hanya meng-klik tanda “suka”. 

Limabelas menit kemudian, kedua belah tanganku ini mulai menjamah rendaman. Aku kucek. Nah, momen mengucek inilah, alam khayalku bermain. Saat yang nyaman membayangkan banyak hal. Tapi pagi ini, entah apa dan kenapa, bayanganku tertuju pada sang maharani Madinah.

Ya, setelah Baginda Muhammad menikahi Juwayria, dan membangunkan bilik di sebelah bilik-bilik para istri yang lain di samping Masjid Nabawi. Sehingga, di situ telah berkumpul: Saudah binti Zam’ah, Aisyah binti Abu Bakar, Hafshah binti Umar bin Khattab, Ummu Salamah, Zainab binti Jahsy, dan terakhir Juwayriah binti Harits.

Selagi Juwayriah masih sibuk seusai pernikahan, di Madinah mulai ada bisik-bisik menyangkut Aisyah. Mereka menyoal kebersamaan Aisyah dengan Shafwan yang terpisah dari rombongan Nabi sebelum memasuki kota Madinah.

Semula, baik Aisyah maupun Shafwan, dan rombongan pasukan yang mengepung Bani Musthaliq, termasuk Ummu Salamah yang turut dalam rombongan, bahkan Nabi sendiri, tidak memikirkan akan adanya gosip itu. 

Saat itu, mereka semuanya menganggap wajar. Baginda Muhammad pun menangkap keterangan Aisyah, yang tanpa izin keluar dari sekedupnya, demi seuntai kalungnya itu sebagai hal yang logis. Terlebih Shafwan turut menguatkan keterangan, yang memang saat itu ditugaskan untuk menyisir barang-barang yang dilalui rombongan sepulang dari Bani Musthaliq.

Tetapi Hannah binti Jahsy, yang merasa bahwa Aisyah lebih disukai Nabi ketimbang kakaknya, Zainab binti Jahsy, bersemangat menyebarkan gosip tersebut. Padahal Zainab sendiri tidak mau tahu soal desas-desus yang mulai beredar dari mulut ke mulut itu.

Zainab binti Jahsy sama sekali tak berminat untuk memanfaatkan peluang agar lebih dicintai Nabi. Ia, juga para istri yang lain, lebih percaya akan kesucian Aisyah. 

Zainab dan Aisyah memang sedang bersaing untuk menjadi istri favorit Nabi. Tetapi Zainab sadar untuk tidak turut menyebarkan bisik-bisik yang jelas akan menyakiti perasaan Aisyah, terkhusus perasaan suaminya. Dan sungguh, Zainab sangat sedih dengan pikiran buruk saudaranya itu yang malahan getol membumbuhi desas-desus keburukan Aisyah. 

Penyebar gosip lainnya, selain Masthah, adalah Hassan bin Tsabit, dan kemudian semakin meluas setelah Abdullah bin Ubay dan orang-orang munafik Madinah turut andil.

Aisyah sendiri belum mengetahui kabar yang mencemarkan dirinya itu. Semenjak tiba dari ekspedisi ke Bani Musthaliq, ia jatuh sakit. Dan selama sebulan, ia lebih suka berbaring istirahat. Tiada seorang pun yang memberi tahu soal desas-desus dirinya.

Hanya saja, Aisyah mulai merasakan ada yang aneh dalam diri suaminya. Nabi biasanya takjub dengan kecemburuan Aisyah, yang saat itu memang tengah mencemburui Juwayriah. Tetapi Aisyah tak mendapati kelembutan Rasulullah. Ia hanya bertanya datar, “Bagaimana keadaanmu?”

Ketika keadaan Aisyah beranjak pulih, ia keluar dari biliknya bersama Ummu Masthah, perawatnya. Tetapi ketika berjalan tanpa sengaja Ummu Masthah tersandung kainnya sendiri dan berseru, “Celakalah Masthah!”

Aisyah heran mendengar Ummu Masthah mencela anaknya sendiri. “Kenapa engkau mengecam anakmu? Padahal engkau sendiri yang hampir jatuh. Kenapa engkau malah mengecam seorang ahli Badar?”

“Duhai Junjunganku, apakah engkau belum mendengar apa yang dikatakannya?”

“Apa yang dikatakannya?” tanya Aisyah.

Mulailah Ummu Masthah menceritakan kabar tentang dirinya bersama Shafwan yang berjalan terpisah dari rombongan. Dan kabar itu tersiar luas dengan segala bumbu kekejian tentang kehormatan seorang istri, soal harga diri Aisyah.

Seketika hati Aisyah terguncang. Sakitnya yang mulai pulih, kembali kambuh. Bahkan lebih parah dari sebelumnya. Sehari semalam ia hanya sanggup menangis di ranjang ditemani Ummu Masthah. Kemudian, ia meminta izin pada suaminya untuk pulang dulu biar dirawat ibunya sendiri.  

Baginda Muhammad mengizinkan istrinya beristirahat di rumah orangtuanya, sembari memendam rasa gelisah. Apakah Aisyah berkhianat? Bagaimana mungkin hal itu terjadi? Ia selama ini menunjukkan diri sebagai perempuan muda yang terhormat, dan berkepribadian tulus. Ia sering cemburu, memang, tapi masih wajar selaku istri yang dikelilingi para madu.

Baginda Muhammad mengundang Ali bin Abu Thalib dan Usamah bin Zaid untuk dimintai pandangan. 

Usamah berkata, “Wahai Rasulullah, pertahankan keluargamu. Tidak ada sesuatu pun yang kulihat darinya selain kebaikan. Sungguh, desas-desus ini hanyalah kabar dusta dan benar-benar keji.”

“Wahai Rasulullah,” sambung Ali, “masih banyak wanita yang bisa menggantikan posisinya di sisimu dan Tuan mampu melakukannya. Tanyakanlah kepada pembantunya, ia akan menyampaikan kabar tentangnya.”

“Demi Dia yang mengutusmu dengan kebenaran, wahai Rasulullah.” berkata Burairah saat dipanggil Muhammad. “Aku tidak melihat pada diri Aisyah sesuatu yang kuanggap sebagai keburukan.”

“Ia hanyalah wanita belia yang tertidur,” lanjut Burairah. “Sehingga lalai menjaga adonan roti untuk keluarganya hingga datang seekor kambing dan memakan adonan tersebut. Artinya, jika itu dianggap sebagai keburukan, maka hanya seperti itulah keburukannya.”  

Kemudian sang Baginda mendatangi rumah Abu Bakar. Beliau ingin mengetahui keadaan Aisyah, sekaligus bertanya langsung padanya soal kabar yang tersiar luas. 

Baginda Muhammad duduk berhadapan dengan Aisyah yang diapit kedua orangtuanya, “Wahai Aisyah, sungguh aku telah mendengar kabar dirimu bahwa kau begini dan begitu.”

“Jika kau memang bersih dari tuduhan itu,” lanjut Rasulullah, “niscaya Allah akan menyatakannya dan membebaskanmu dari dosa itu. Tetapi jika kau mengakui telah melakukan dosa itu, segeralah bertobat dan meminta ampunan kepada Allah. Sesungguhnya jika seorang hamba mengakui kesalahannya dan bertobat, niscaya Allah akan menerima tobatnya.”

Aisyah mengusap air matanya. Ia berkata kepada Abu Bakar, “Jawablah untuk Rasulullah. Katakanlah sesuatu sebagai jawaban atas ucapan beliau, wahai Ayah.”

“Demi Allah, aku tidak tahu apa yang mesti kukatakan kepada Rasulullah.” jawab Abu Bakar.

Zainab, ibunda Aisyah, mengangguk-angguk atas jawaban suaminya. Ia senada dengan Abu Bakar, tak kuasa berkata kepada Nabi.

Aisyah berusaha tegar di tengah mereka bertiga, terutama di depan suaminya.

“Kalian telah mendengar gosip yang telah tersebar luas ini,” ucap Aisyah, “sehingga kabar itu melekat di dada kalian. Seandainya kukatakan kepada kalian bahwa aku bersih dari urusan ini, dan sungguh Allah mengetahui bahwa aku memang bersih, kalian tidak akan menerima dan percaya.”

Aisyah melanjutkan, “Dan jika aku mengakui perkara yang Allah tahu bahwa aku bersih darinya, kalian akan menerima pengakuan itu. Demi Allah, tidak ada perumpamaan yang lebih baik bagiku dalam keadaan sekarang, kecuali seperti ungkapan Yusuf, ‘Maka kesabaran yang indah itulah kesabaranku. Hanya Allah yang dimintai pertolongan atas apa yang kalian ceritakan’.”

Setelah berkata demikian, Aisyah berpaling dan berbaring di atas kasurnya. Sang Baginda Muhammad belum beranjak dari tempat duduknya. Demikian pula Abu Bakar dan Zainab alias Ummu Ruman.

Hingga berikutnya, tiba-tiba dari kening Baginda Rasul mengalir keringat seperti butiran mutiara. Aisyah dan kedua orangtuanya tahu bagaimana perangai Baginda Nabi yang tengah dikuasai Jibril. Abu Bakar dan Ummu Ruman pun cemas, jangan-jangan wahyu ini akan menelanjangi putri mereka. Bahwa desas-desus yang beredar luas itu dibenarkan oleh firman Tuhan.

Hampir saja mereka bergegas keluar rumah kalau saja Aisyah tidak buru-buru bangkit dari kasur dan memegangi tangan mereka agar tetap bertahan di tempat. Aisyah sama sekali tidak gelisah, malahan sangat berharap akan turun wahyu yang membersihkan namanya.

Begitu Jibril berlalu, berseri-serilah rona muka sang Baginda seraya berkata, “Duhai Aisyah, bergembiralah karena Allah telah membebaskanmu, telah membersihkanmu.”

Berbinar pula wajah Abu Bakar dan istrinya. Mereka sangat lega. Kemudian Ummu Ruman meminta Aisyah, “Bangun dan berterimakasihlah kepada Rasulullah!”

“Tidak!” tegas Aisyah, “Aku hanya akan berterimakasih kepada Allah, dan tidak memuji seorang pun selain Dia. Dialah Allah yang menurunkan ayat yang membebaskanku.” 

“Yah, sudah hampir setengah jam lho!” suara istriku yang sontak membuyarkan lamunan.

Dan, “Degg....” hatiku berdetak kencang. “Jangan lupa nanti sore telepon aku ke nomor 0xxxx! Dan ingat, jangan sampai ketahuan Pardi!” tulisan tangan yang tertera jelas di atas kertas lipatan yang nyaris remuk tak jelas dalam saku istriku, di seragam mengajarnya.

Ungaran, 12 Oktober 2025

Baca juga: Seuntai Kalung Onik dan Masa Kritis

Posting Komentar

0 Komentar