SEBUAH perjalanan dari Bani Musthaliq. Dan Aisya serta Ummu Salama yang kebagian menemani Nabi dalam ekspedisi ini.
Saat itu Aisya berusia 18 tahun, suatu usia kemanjaan yang acapkali menggemaskan pihak lain. Sementara Ummu Salama sudah 35 tahun.
Karena malam telah menjemput, Muhammad memerintahkan rombongan untuk beristirahat. Baru kemudian, pada tengah malam mereka melanjutkan perjalanan.
Namun, saat malam merangkak gelap, Aisya baru sadar bahwa seuntai kalung onik yang dipakaikan ibunya pada hari pernikahannya dengan Nabi jatuh entah di mana. Dan ia tidak mau kehilangan barang miliknya yang paling berharga itu.
Nabi, demi sayangnya pada Aisya, memerintahkan untuk menambah waktu istirahat sampai esok tiba, agar Aisya bisa mencarinya dalam terangnya matahari pagi.
Di antara pasukan banyak yang menggerundel, karena harus menginap di tempat yang sungguh tak menyenangkan itu. Ya, di tempat itu tidak ada air. Tidak ada sumur yang bisa dijangkau. Sementara persediaan air mereka telah menipis.
Mereka berpikir bahwa esok fajar mustahil bisa mendirikan salat subuh. Tetapi di detik-detik terakhir malam itu, turunlah ayat 43 surah An-Nisa yang memerintahkan tayamum sebagai pengganti wudu.
Kita paham, tayamum dilakukan dengan cara menyentuh tanah, atau apa saja yang dianggap mengandung debu, dengan kedua telapak tangan dan menyapukannya secara lembut pada wajah dan kedua tangan.
Sontak, mereka yang sebelumnya memendam kesal langsung meluapkan kegembiraan dan memuji keberkahan keluarga Abu Bakar. Padahal sebelumnya, Abu Bakar sendiri sempat kesal sekaligus malu atas kemanjaan Aisya.
Seusai berjamaah subuh, Aisya mulai mencari-cari kalungnya. Tapi, hingga siang, kalung belum ditemukan. Harapan pun sirna. Dan semua, termasuk Ummu Salama, sudah bersiap-siap di atas unta untuk melanjutkan perjalanan ke Madinah.
Aisya putus asa, dan bersiap pula untuk berangkat tanpa seuntai kalung onik kesayangannya. Namun, begitu unta Aisya bangkit dari tempatnya berlutut semalaman, ternyata harta miliknya yang paling berharga itu tergeletak di bawah unta. Ah, betapa gemasnya.
Kemudian mereka melanjutkan perjalanan hingga tiba di pemberhentian terakhir, beberapa kilometer di luar Madinah. Tetapi kejadian berulang, malam itu, tatkala hendak berangkat ke Madinah, kalung yang melingkari leher Aisya terlepas.
Lagi-lagi Aisya baru sadar, ketika ia dan Ummu Salama telah duduk di atas unta mereka masing-masing. Di dalam sekedup Aisya membuka kerudung, dan tahu bahwa seuntai onik itu tak di tempat.
Aisya, yang sungguh tak mau kehilangan harta pemberian ibunya itu, tanpa meminta izin lebih dulu keluar dari balik tirai untuk mencari kalungnya. Sedang sahabat yang jadi pemandu unta Aisya tidak mengetahui kalau Aisya tak berada di dalam sekedup di atas unta.
Ke sana kemari Aisya pun mencari. Dan cukup lama ia mencarinya. Kemudian, tatkala kalung ditemukan, ketika Aisya kembali ke perkemahan, rombongan pasukan Nabi telah meninggalkan tempat. Ia pun duduk di tempat nyaman untuk bersandar, sembari menabung keyakinan akan dijemput.
Datang kemudian, saat awal fajar, Shafwan bin Mu’athal yang ditugaskan Nabi sebagai petugas penyapu. Ia mengambil barang-barang rombongan pasukan yang tertinggal atau terjatuh di sepanjang perjalanan.
Shafwan terkejut mendapati Aisya terduduk bersandar. “Inna lillahi wa inna ilayhi raji’un. Ini istri Rasulullah Saw!” ucap Shafwan yang tak menyangka Aisya bakal tertinggal dari rombongan.
Lantas Shafwan mempersilakan Aisya naik di untanya. Ia sendiri berjalan sambil menuntun unta tersebut hingga bertemu dengan rombongan Nabi yang tinggal sejengkal memasuki kota Madinah.
Rombongan itu pun terkejut, terutama pemandu unta Aisya yang lekas sadar bahwa sekedup di atas unta yang ia tuntun ternyata kosong. Bersama-sama, rombongan itu menginjakkan kaki di kota.
Sebagaimana biasa, seusai perang, harta rampasan dibagi-bagi. Dan di dalam rampasan itu ada seorang tawanan, Juwayria binti Harits, putri kepala Bani Musthaliq.
Juwayria telah menjadi bagian seorang Anshar dengan harga tawaran yang sangat melambung tinggi untuk pembebasannya. Juwayria berpikir bahwa ayahnya pun tak bisa menebus dirinya.
Juwayria menghadap Nabi untuk turut menyelesaikan masalahnya. Saat itu Baginda Muhammad sedang di pondok Aisya.
Begitu Aisya melihat keelokan rupa Juwayria, nalurinya bergolak. Rasanya Aisya ingin mencegat agar perempuan ini tak jadi menemui suaminya, tapi tak tega juga membayangkan masalah yang tengah menyelimuti Juwayria. Aisya mengantarnya.
Di hadapan Baginda Nabi Muhammad, setengah menangis Juwayria berkata, “Rasulullah, aku putri pemimpin Bani Musthaliq. Kau lihat sendiri saat ini kami kalah perang. Suamiku terbunuh, dan aku jatuh sebagai tawanan Tsabit bin Qais. Ia memang lelaki baik, tak pernah berlaku buruk padaku.
“Namun, begitu kukatakan aku ingin menebus diri, dan ia tahu siapa aku, ia melejitkan harga tebusan. Rupanya ia ingin memeras harta dariku, tetapi aku tak punya. Maka, kupikir lebih baik minta perlindungan padamu. Tolong, bebaskan aku, wahai Rasulullah!”
Terenyuhlah sang Baginda mendengar penuturan perempuan ini. Ia membayangkan seorang putri kepala suku, yang bergelimang kehormatan dan martabat, tiba-tiba jatuh hina laksana budak.
“Aku akan menebusmu dan menikahimu,” kata Baginda Muhammad, yang juga turut disimak Aisya yang duduk di sebelahnya.
Seketika hati Juwayria binti Harits berbunga-bunga. Ia langsung berasa terbang karena akan menjadi istri seorang pemimpin yang gagahnya pantang surut ini. Terlebih lagi ia seorang nabi. Maka, harga diri Juwayria akan jauh melambung daripada sebelumnya.
Tetapi tanpa disadari Juwayria, duduk seorang muda di sebelah Baginda Muhammad yang justru kesal sembari memegang seuntai kalung onik melingkari lehernya.
Ya, seuntai kalung onik, yang sempat dua kali terjatuh setelah memenangi suku yang dihuni Juwayria.
Begitulah!
Ungaran, 10 Oktober 2025
Baca juga: Duta Baginda Nabi

0 Komentar