Masa Kritis


 “Sebentar! Bunda ada uang receh?”

“Buat apa, Yah?”

“Itu lho, perempatan, ada seorang ibu yang menggendong anak kecil...”

“Pengemis?”

“Begitulah...”

Kami berhenti tepat lampu merah perempatan Pasar Salatiga. Benar saja, ibu itu menadahkan tangan sembari menggendong anak kecil, entah anak atau siapa, aku tak paham. Istriku mengulurkan lembaran uang kepadanya.

“Ayah ingin dekat sama Tuhan?” setengah berbisik dekat telingaku begitu ibu itu menjauhi kami. 

“Gampang Yah.” Sambungnya dan tidak lagi berbisik, karena lampu hijau dan kukebut sepeda motor, “konsisten aja dalam kemiskinan seperti kondisi saat ini.”

Penuh semangat Rahma menerangkan bahwa Tuhan bersama orang-orang miskin. Tuhan hadir di balik orang-orang berkekurangan. Bahkan Baginda Muhammad, katanya, menyebut diri sebagai abul yatama, bapak bagi semua anak yatim. Saban malam beliau merintih pada Tuhan agar dihidupkan sebagai orang miskin, dan selalu bersama orang-orang miskin. Dan memang, keseluruhan hidup nabi kelahiran Kota Mekah itu dihabiskan bersama orang-orang miskin. Malah beliau sendiri berasal dari kalangan tak punya. Lahir sebagai yatim. Belum genap tujuh tahun, beliau menjadi yatim piatu. Nah jadi, serasa istimewa orang-orang miskin di mata nabi agung itu. Sehingga, keseluruhan ajaran sang baginda, sangat menaruh perhatian pada yang kekurangan. 

Demikianlah. Masih di atas jok sepeda motor, aku senyum-senyum mendengar paparan liar istriku. Gambaran masa pemboikotan yang dialami Baginda Nabi pun kembali menyelinap di benakku, seusai Rahma menyudahi cerewetnya. 

Ya, begitu pemboikotan diumumkan, ‘Amr bin Hisyam beserta rombongan tetua Makkah berdiri di depan Ka’bah. ‘Amr bin Hisyam naik tangga dan membuka gulungan perkamen.

Dengan lantang ia membacanya, “Dengan namamu, Tuhan Yang Maha Pencipta, kami memboikot Bani Hasyim. Semua orang dilarang berjual beli, menikah, atau berinteraksi dengan mereka selama perkamen ini tergantung di pintu suci.”

Lantas Bani Hasyim, dan para pengikut, termasuk Muhammad beserta keluarga dikepung dan dikucilkan di wilayah Bani Muthalib, lembah Mina.

Di situ, baik yang jadi pengikut Muhammad maupun para penganut tradisi leluhur, berkumpul. Para pengikut Muhammad berkumpul lantaran kesamaan prinsip tauhid, sementara yang masih berkukuh pada tradisi berada di sana karena fanatisme kekeluargaan, kecuali Abu Lahab yang memilih bergabung dengan para tetua yang memusuhi Muhammad.

Mereka hidup menderita selama tiga tahun. Mereka terpaksa makan kulit pohon dan dedaunan. Jika ada rombongan pedagang dari luar Makkah, dan para sahabat hendak membeli bahan makanan dari mereka, Abu Lahab berteriak lantang, “Hai pedagang, naikkan harga bagi para pengikut Muhammad agar tidak mampu beli apa-apa!”

Benar-benar terjepit kehidupan mereka itu. Namun, Khadija tampil tangguh. Ia berdiri tegar di tengah-tengah mereka. Ia pantang menyerah. Kesabarannya pun begitu dalam. Padahal jelas ia adalah wanita kaya raya. Hartanya melimpah, dan hidupnya sejahtera. 

Hakim bin Hizam, keponakan Khadija yang berpihak kepada bangsawan Quraisy, mendatanginya di kamp pengasingan dengan membawa sekantong gandum untuk dibagikan kepada orang-orang Bani Hasyim. 

Karena si Hakim ini termasuk anggota terkemuka Darun Nadwah, maka ia datang ke padang gersang dengan busana mewah dan diiringi rombongan pelayan. Hakim, selain membantu logistik, ternyata bermaksud membujuk bibinya. Ia kasihan melihat kondisi Khadija. Ia mendesak sang bibi untuk menyelamatkan diri dengan menceraikan Muhammad dan menikah dengan ‘Amr bin Hisyam.

Seketika Khadija murka dan mengusir keponakannya, “Selama napas masih berembus dari bibirku, aku akan tetap mendampingi Muhammad.”

Sungguh, sungguh mulia Bunda Khadija. Kekayaan atau kesejahteraan sebelumnya tak menyurutkan kesetiaannya kepada Muhammad. Ia segera bisa menyesuaikan diri dengan kondisi padang gersang pengisolasian.

Betapa Khadija yang seumur hidup bergelimang kenyamanan dan kemewahan, tapi kemudian turut ditahan di tengah padang pasir dan harus tidur di tenda darurat. 

Khadija tak berkeluh kesah, mengorbankan kenyamanannya sendiri membantu para pengikut Muhammad dan orang-orang Bani Hasyim lain yang belum mengikuti ajaran suaminya. Sang Maharani Makkah ini merendahkan diri sebagai pelayan kaum miskin. Ia membagikan apa pun yang dimilikinya.

Bersama sang suami, ia menghabiskan waktu untuk meninjau pengasingan sambil bergandeng tangan. Acap pula bertiga bersama putri bungsu mereka, Fathima, yang saat itu berusia 12 tahun. Ali bin Abu Thalib kerap melihat keluarga angkatnya itu serasa tak sedang berhadapan dengan persoalan besar.

Sementara itu, para tetua Makkah tak menyangka bahwa pemboikotan akan berlangsung lama. Mereka mengira Bani Hasyim akan menyerahkan Muhammad secepatnya. Tapi nyatanya, Bani Hasyim, terutama pemimpinnya, Abu Thalib, benar-benar melindungi Muhammad. 

“Masih soal kemiskinan ya!” Rahma mengagetkan dengan menepuk-nepuk pundakku.

Enggak sih!”

“Terus?”

“Ayah itu kepikiran Abu Thalib.”

Haiyyah, sok gaya….”

“Serius, Bun.”

“Kok tiba-tiba mikir itu. Lha emang beliau kenapa?”

Gantian aku yang memberi kuliah gratis kepadanya. Aku jelaskan bahwa saat pemboikotan yang dialami Bani Hasyim, Abu Thalib melindungi dan mendukung Muhammad bukan sepenuhnya dilandasi keyakinan kepada ajaran yang dibawa sang ponakan. Melainkan lebih karena fanatisme keluarga.

Abu Thalib adalah kepala Bani Hasyim, dan Muhammad yang tak lain sebagai keponakannya adalah bagian dari Bani Hasyim. Seruan Muhammad membuat Abu Thalib menyukainya, karena merupakan seruan yang dikomandoi oleh seseorang dari Bani Hasyim. Besar harapan, suatu ketika akan mengembalikan kekuatan dan otoritas Bani Hasyim di tengah-tengah suku Quraisy. 

“Berarti sama dong dengan Abu Jahal!”

“Maksud Bunda?”

“Iya kan Abu Jahal memandang agama Islam itu sebagai tipuan Nabi untuk mengembalikan status Bani Hasyim.”

“Masih belum jelas!”

“Kan bisa kita baca dari ungkapan Abu Jahal sendiri, ‘Kami bersaing dengan Bani Hasyim dalam memperebutkan kemuliaan. Mereka memberi makan, lalu kami juga memberi makan. Mereka memberi dan memberi, kami pun juga begitu. Tapi kemudian ada yang mendaku nabi dari kalangan mereka, demi Tuhan, kami tidak akan pernah mengimaninya.’”

Aku mengangguk-angguk, walau tak sepenuhnya sepakat. Tapi memang mirip karena sebegitunya para tetua Makkah. Dengan tekad untuk semakin menekan, tetua-tetua yang duduk di dewan Darun Nadwah itu mengeluarkan ultimatum kepada siapa saja yang membantu Bani Hasyim. 

Namun, seiring ultimatum, para sahabat yang dari luar Bani Hasyim diam-diam menyelundupkan bahan makanan. Abu Bakar kerap membayar banyak penggembala untuk menggembalakan ternaknya dekat kamp pengasingan, dan melemparkan bungkusan-bungkusan makanan.

Khadija yang berada di dalam pun, sekali lagi tak tinggal diam. Ia turut mendanai jaringan penyelundupan makanan bawah tanah itu. Kekayaannya banyak berkurang. Artinya, masa itu benar-benar merupakan masa kritis bagi umat yang bersikukuh mengikuti kebenaran yang dibawa Baginda Muhammad.

“Bun, Bun, akhirnya pemboikotan itu dicabut!”

“Apaan sih Ayah! Ingat, kita lagi di jalan nih!”

Ungaran, 1 Oktober 2025

Baca juga: Pemboikotan

Posting Komentar

0 Komentar